Lahirnya Omnibus Law pada RUU Cipta Kerja beberapa waktu lalu menimbulkan banyak pro dan kontra. Pada awalnya, RUU ini lahir dari niat baik Pemerintah untuk memberikan kesejahteraan yang lebih baik kepada masyarakatnya. Namun bila ditelisik lebih dalam, banyak pihak yang menyayangkan kebijakan yang diambil dalam RUU Ciptaker.
Terkaitnya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), misalnya. Ada pasal yang dinilai menghapus kewenangan tunggal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menetapkan fatwa produk halal.
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Drs. KH. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si, angkat suara. Ia mengkhawatirkan RUU Ciptaker yang pada awalnya bertujuan memberikan kesejahteraan, justru berujung sebaliknya. Hal ini karena ada prosedur dan substansi yang tidak dilakukan dengan baik.
“Secara prosedural, dalam konteks sertifikasi halal, seharusnya MUI diajak duduk bersama. Lebih dari 30 tahun MUI menjalankan sertifikasi halal, tapi mengapa ketika lahir Omnibus Law ini justru tidak diundang sama sekali. Padahal ini terkait tugas utama dalam hal penetapan halal,” ungkapnya dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Indonesia Halal Watch (IHW) di AONE Hotel, Jakarta pada Rabu (19/2).
(Baca juga : Benarkah RUU Ciptaker Ancam Peran Ulama dan Abaikan Kepentingan Umat?)
Secara substansi, lanjut Aiyub, Omnibus Law diindikasikan mengabaikan unsur-unsur syariah. Salah satunya, dimungkinkan UMKM melakukan self declaration atas kehalalan produknya. Perlu ditekankan, seharusnya Omnibus Law mengacu pada tiga prinsip dasar UU JPH.
Pertama, perlindungan keyakinan konsumen muslim. Hal ini merupakan amanat dasar dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Indonesia. Ini merupakan pijakan utamanya. Bila dibaca secara utuh, UU JPH bermuara pada keyakinan dan keimanan, ini tidak boleh diabaikan.
Kedua, kepastian hukum. Yang dimaksud hukum di sini bukan hanya kepastian hukum positif, melainkan juga kepastian hukum agama, yakni fatwa yang ditetapkan. Apabila keputusan fatwa dimungkinkan ditetapkan oleh banyak lembaga fatwa. Konsekuensinya adalah ketidakpastian hukum.
Ketiga, motif ekonomi. MUI menggarisbawahi, kesejahteraan atau investasi jangan sampai mengabaikan substansi ajaran agama. Apabila diabaikan, menurut Aiyub, prinsip yang pertama justru tidak akan didapatkan. (YS, YN)
(Video Lengkap : MUI: Omnibus Law, Abaikan Unsur-Unsur Syariah)