Regulasi dan implementasi Jaminan Produk Halal (JPH) membutuhkan kolaborasi dan sinergitas berbagai pemangku kepentingan, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Dr. Mastuki, M.Ag dalam webinar “Obat Halal, Darurat Sampai Kapan?” yang diselenggarakan pada 24 Maret 2021.
(Baca juga: Kondisi dan Tantangan Industri Farmasi dalam Sertifikasi Halal)
“Dalam hal sertifikasi halal, BPJPH berperan dan bertanggung jawab sebagai regulator. Karena itu, kebijakan sertifikasi halal untuk mempercepat ketersediaan obat halal di masyarakat perlu dibicarakan dengan berbagai pakar untuk dilihat dari berbagai sudut pandang,” ujar Mastuki.
Ia menambahkan bahwa dalam pelaksanaan sertifikasi halal dan jaminan produk halal terdapat pasal-pasal yang berkaitan serta menyentuh penyelenggaraan proses sertifikasi halal secara keseluruhan. Sejak 2014, ada enam produk regulasi yang sudah dikeluarkan berkaitan dengan jaminan produk halal, yaitu:
- Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH.
- Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
- Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 464 Tahun 2020 tentang Jenis Produk yang wajib Bersertifikat Halal.
Berbagai regulasi tersebut rupanya telah menjadi perhatian masyarakat. Ada sekitar enam isu penting yang perlu menjadi perhatian. Pertama, terkait dengan kewajiban bersertifikat halal bagi UMK yang memenuhi syarat tertentu didasarkan atas pernyataan pelaku UMK (self declare). Dalam hal ini, BPJPH akan menetapkan standarnya.
Mastuki juga mengklaim bahwa pihaknya akan memastikan pelaku usaha mendapatkan pendampingan dari ormas, lembaga keagamaan Islam, dan pemerintah (BPJPH). Namun, masih menjadi pertanyaan besar, dapatkan sistem self declare ini efektif dan benar-benar menjamin kehalalan produk?
Poin selanjutnya, pengangkatan auditor halal oleh LPH dengan syarat memiliki sertifikat pelatihan dan/atau sertifikat kompetensi yang dilaksanakan langsung oleh BPJPH dan lembaga pelatihan terakreditasi. Sementara itu, berkaitan dengan wewenang MUI, kerjasama BPJPH dengan MUI dalam fatwa penetapan kehalalan produk diharapkan dapat dilakukan di tingkat provinsi, bahkan sampai tingkat kabupaten dan kota.
Terkait dengan pendirian LPH, Mastuki menyampaikan bahwa akreditasi atas LPH dikeluarkan oleh BPJPH dan dilaksanakan oleh tim akreditasi yang ditunjuk Menteri Agama. Dalam hal ini, LPPOM MUI sebagai LPH yang kredibel dan profesional telah lebih dulu memperoleh Sertifikat Akreditasi SNI ISO/IEC 17065: 2012 dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Standar ini tidak hanya diakui di Indonesia, namun juga diakui oleh Badan Akreditasi Uni Emirat Arab atau ESMA.
Waktu pengurusan sertifikat halal juga telah ditetapkan, yakni selama 21 hari sejak pengajuan permohonan ke BPJPH, audit di LPH, penetapan halal di Komisi Fatwa MUI, sampai sertifikat halal dari BPJPH terbit.
“Waktu 21 hari tentu tidak mudah, karena akan berimplikasi pada penataan yang drastis. Itu harus mengikuti perkembangan serta semua pelaksana sertifikasi halal, yakni BPJPH, LPH, dan MUI. Semua pihak berkejaran dengan waktu yang ditetapkan langsung di UU Ciptaker,” tukas Mastuki.
Pemerintah juga menyoroti pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku UMK. Mastuki menekankan bahwa pengurusan sertifikasi halal bagi pelaku UMK tidak dikenakan biaya karena mendapat subsidi dari negara melalui APBN/D atau fasilitasi pihak lain. Nyatanya, masih banyak pelaku usaha UMK yang mempertanyakan biaya nol rupiah untuk sertifikasi halal. Akankah hal ini terwujud? (YN)
Simak Webinar Halal Series LPPOM MUI: Obat Halal, Darurat Sampai Kapan? disini