Khamar diharamkan karena mengandung alkohol yang berasal dari industri khamar serta dapat memabukkan. Begitu juga minuman sake dari Jepang yang dibuat dari ubi jalar juga haram dikonsumsi. Kemudian para ahli biologi menyebutkan, tapai ketan dan tapai singkong yang menjadi makanan tradisional kegemaran masyarakat umum ternyata juga mengandung alkohol. Bahkan banyak orang yang sengaja ‘menyeruput’ air tapai itu. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum memakan tapai tersebut? (HalalMUI)

Pertama-tama perlu dipahami, menurut para ulama di Komisi Fatwa MUI, alkohol itu ada yang diharamkan dan ada pula yang tidak haram. Selanjutnya, khamar yang dibuat dan diproses dari anggur, secara asholah, maupun dari yang selain anggur, seperti tuak, minuman tradisional di Sumatra, atau sake di Jepang, secara eksplisit dan tegas diharamkan dalam Islam. Dalam proses pembuatannya, mulai dari awal pengolahan, fermentasi sampai produk jadi, memang dengan sengaja dimaksudkan untuk menghasilkan minuman yang memabukkan, atau khamar. Ringkas dan tegasnya, itu merupakan usaha atau industri untuk membuat khamar. Menurut kaidah fiqhiyyah, baik dikonsumsi dalam jumlah banyak maupun sedikit, khamar tetap dinyatakan haram. Tidak ada keraguan, tidak pula ada tawar-menawar.

Sebagian ulama, seperti Imam Syafi’i berpendapat khamar itu haram dan najis, berdasarkan pada nash ayat yang menyebutnya “Rijsun”, artinya najis secara materi. Ini merupakan pendapat para ulama di Komisi Fatwa MUI, untuk kemudahan dalam implementasinya bagi masyarakat dan kontrol, sehingga dapat dihindari secara total.

Ada pula yang berpendapat khamar itu haram namun tidak najis. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah. Alasannya dari nash ayat itu juga: “Rijsun min ‘amalish-syaithon”. Maknanya najis dengan pengertian sebagai perbuatan setan, artinya perbuatan yang keji. Pendapatnya ini dilandaskan pula pada riwayat yang menyebutkan ketika turun ayat Al-Qur’an yang mengharamkan khamar secara mutlak (maksud QS. 5: 90-91), Nabi saw memerintahkan para sahabat yang memiliki khamar agar membuang khamar yang dimilikinya, tapi tidak memerintahkan mencuci wadah atau bejana tempat khamar itu semula disimpan. (HalalMUI)

Berikutnya, Imam Abu Hanifah juga berpendapat khamar itu pasti mengandung alkohol dan haram; namun alkohol belum tentu khamar. Sebagai contoh, buah durian yang telah masak mengandung alkohol, sehingga ada orang yang tidak kuat lalu menjadi mabuk karena memakannya. Demikian pula buah-buahan yang matang dan dibuat jus, itu mengandung alkohol. Namun para ulama tidak ada yang mengharamkan durian atau jus buah. Termasuk dalam kategori ini adalah tapai. Ia mengandung alkohol, tetapi bukan khamar. Pada kenyataannya juga, tidak ada orang yang mabuk atau sengaja mabuk dengan memakan tapai. Imam Abu Hanifah menyebut makanan/minuman yang mengandung alkohol ini sebagai Nabidz, bukan khamar.

Berkenaan dengan Nabidz ini, Imam Abu Hanifah berpendapat pula, apabila Nabidz dapat menyebabkan mabuk, maka menjadi haram. Namun, apabila tidak menyebabkan mabuk, maka tetap halal.

(HalalMUI)

Artikel Terbaru Lainnya

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.