Tren ethical labels membuka era baru bagi industri kosmetik global. Kini, keindahan tak hanya diukur dari hasil di cermin, tetapi juga dari nilai, etika, dan tanggung jawab di balik produk. Dalam arus keberlanjutan ini, kosmetik halal dan label halal tampil sebagai standar etika baru yang memadukan nilai spiritual dan kepedulian lingkungan mewujudkan makna sejati dari kecantikan yang berintegritas. Kepemilikan sertifikat halal BPJPH melalui pemeriksaan halal LPPOM menjadi salah satu kunci untuk menjadi ethical labels.
Industri kosmetik global sedang bergerak menuju arah baru lebih hijau, transparan, dan beretika. Pergeseran ini terlihat jelas dalam ajang The Sustainable Cosmetics Summit yang digelar pada 11 November 2025 di Regal Hotel, Hong Kong. Acara bergengsi ini menjadi panggung diskusi bagi para pakar dunia yang membahas tentang green ingredients, sustainability schemes, dan green packaging solutions sebagai masa depan industri kecantikan yang bertanggung jawab.
Salah satu pembicara utama, Amarjit Sahota, pendiri Ecovia Intelligence, menekankan bahwa kosmetik tidak lagi sekadar soal keindahan, tetapi juga etika dan keberlanjutan. “Kami telah memantau industri produk etis dan berkelanjutan selama hampir 25 tahun,” ujarnya. Ecovia Intelligence perusahaan riset dan konsultasi yang berbasis di London telah banyak berkontribusi dalam mendorong perkembangan industri berbasis etika seperti kosmetik alami, makanan organik, produk fair trade, dan kemasan ramah lingkungan.
Tumbuhnya Tren Ethical Labels di Dunia Kosmetik
Dalam presentasinya, Amarjit menyampaikan faktor-faktor utama di balik maraknya label etis (ethical labels) pada produk kosmetik. Pertama, growing consumer concerns, yaitu meningkatnya kepedulian konsumen terhadap keamanan, etika, dan keberlanjutan produk kosmetik.
“Kini, konsumen ingin tahu bukan hanya hasil akhirnya, tetapi juga bagaimana produk itu dibuat apakah ramah lingkungan, tidak mengandung bahan berbahaya, dan tidak melibatkan praktik yang tidak etis,” terangnya.
Kedua, reducing environmental impacts, yakni upaya industri kosmetik untuk menekan dampak negatif terhadap lingkungan. Mulai dari penggunaan bahan alami hingga kemasan daur ulang, produsen kini berfokus pada jejak ekologis yang lebih kecil.
Ketiga, CSR & sustainability reporting, yang mencerminkan meningkatnya tuntutan agar perusahaan kosmetik melaporkan tanggung jawab sosial dan keberlanjutan secara transparan. Praktik ini menegaskan komitmen perusahaan terhadap etika dan lingkungan.
Keempat, supply chain pressure, yaitu tekanan dari rantai pasok global agar setiap pihak dari pemasok bahan baku hingga pengecer menerapkan prinsip keberlanjutan. Semua faktor ini membentuk ekosistem yang mendukung penerapan ethical labels sebagai simbol kepercayaan dan integritas.
Label Halal: Pilar Etis dalam Kosmetik Modern
Di antara berbagai ethical labels yang berkembang, label halal menempati posisi istimewa. Label ini tidak hanya merepresentasikan kepatuhan terhadap nilai religius, tetapi juga mengandung makna etis yang universal, yakni kejujuran, keamanan, dan keberlanjutan.
Label halal menunjukkan bahwa suatu produk diproduksi sesuai dengan prinsip dan ketentuan Islam mulai dari bahan, proses pembuatan, hingga distribusi. Label ini sangat penting bagi sekitar 1,9 miliar konsumen Muslim di seluruh dunia, yang menaruh perhatian besar pada kehalalan produk kosmetik yang mereka gunakan. Dengan adanya sertifikasi halal, konsumen mendapatkan jaminan bahwa produk tersebut tidak hanya aman bagi tubuh, tetapi juga selaras dengan nilai moral dan lingkungan.
Amarjit Sahota juga menyoroti langkah progresif pemerintah Indonesia yang menjadi pelopor dalam penerapan sertifikat halal via BPJPH menjadi wajib. “Indonesia adalah negara pertama yang menerapkan kewajiban sertifikasi halal bagi seluruh produk yang beredar. Ini menunjukkan bagaimana pemerintah (BPJPH) dapat berperan besar dalam memperkuat kredibilitas ethical labels dan melindungi hak konsumen,” ujarnya. Hal ini
Indonesia sebagai Pelopor Regulasi Kosmetik Halal
Kebijakan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024, yang mewajibkan sertifikat halal BPJPH bagi seluruh produk yang beredar, kecuali bagi produk yang haram. Regulasi ini diberlakukan secara bertahap, khususnya produk kosmetik akan berlaku penuh pada Oktober 2026. Dengan kebijakan ini, Indonesia bukan hanya menegakkan nilai religius, tetapi juga menetapkan standar etika dan keberlanjutan dalam industri kosmetik.
Peran LPPOM sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) juga tidak kalah penting. Sebagai salah satu lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan halal terkait proses sertifikasi halal BPJPH di Indonesia, LPPOM memastikan setiap bahan dan proses produksi memenuhi standar halal.
Untuk membantu para pelaku usaha memahami prosedur tersebut, LPPOM meluncurkan program edukatif “Halal On 30”, yakni sesi pembelajaran daring selama 30 menit yang menjelaskan langkah-langkah memperoleh sertifikat halal BPJPH secara mudah dan praktis. Program ini dapat diakses melalui bit.ly/HalalOn30, menjadi solusi efektif bagi industri kosmetik yang ingin memastikan produknya halal tanpa mengabaikan nilai keberlanjutan.
“Meningkatnya jumlah sustainability schemes dan ethical labels di pasar global memang menggembirakan, namun juga membawa tantangan baru. Terlalu banyak label justru dapat memunculkan label fatigue kejenuhan konsumen akibat kebingungan membedakan mana label yang benar-benar kredibel. Oleh karena itu, menjaga kepercayaan konsumen menjadi hal yang sangat penting,” ungakp Amarjit.
Dalam konteks ini, legislasi dan pengawasan berperan vital untuk memastikan klaim keberlanjutan dan kehalalan tetap transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Indonesia, melalui kebijakan wajib sertifikasi halal dan dukungan lembaga seperti BPJPH dan LPH LPPOM, telah menunjukkan bagaimana label halal dapat menjadi bagian integral dari sistem ethical labeling global menggabungkan nilai spiritual, etika, dan keberlanjutan dalam satu kesatuan yang harmonis. (YN)