Oleh KH. Cholil Nafis, Lc., Ph.D

Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah

Dosen UIN Syarif Hidayatullah

Ibadah puasa bulan Ramadan tahun ini di tengah wabah COVID-19 memang amat berbeda daripada tahun-tahun sebelumnya. Hikmah puasa sebagai bulan kesabaran menemukan makna yang tepat menghadapi situasi dan kondisi saat ini.

Puasa kali ini mendapat dua pahala besar buah kesabaran. Pertama, kita sabar menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Kedua, sabar menghadapi cobaan mewabahnya COVID-19.

Puasa di bulan Ramadhan adalah ibadah yang sangat istimewa, karena puasa adalah ibadah hamba Allah Swt. yang khusus untuk Sang Pencipta. Rasululllah saw. bersabada: “Seluruh amalan anak keturunan Adam adalah untuknya kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.”

Puasa menjadi hal khusus kepada Allah karena keintiman seorang hamba dengan Sang Penyayang, juga hanya ibadah puasa satu-satunya ibadah yang meninggalkan yang halal dan nikmat demi mendekatkan diri kepada Allah Swt. Balasan ibadah puasa spesial dari Allah dapat berlipat-ganda lebih dari sepuluh kali lipat dan di dalamnya terdapat bonus Lailatul Qadar yang pahalanya melebihi pahala beribadah seribu bulan.

Dalam sebuah riwayat, Nabi Adam as. melakukan ibadah puasa putih, yaitu tanggal 13, 14 dan 15. Disebut puasa putih karena pada tanggal tersebut tampak malam yang putih terang dengan sinar bulan. Nabi Daud as. melakukan ibadah puasa setengah tahun dengan cara puasa sehari dan berbuka sehari dalam setahun. Nabi Musa as. melakukan puasa selama 40 hari termasuk puasa Asyura (tanggal 10 Muharram). Siti Maryam saat mengandung Nabi Isa as. melakukan puasa dengan cara tidak bicara kepada siapapun kecuali dengan cara isyarah selama tiga hari.

Demikian juga Nabi Muhammad saw. melakukan puasa Asyura dan Tasyu (tanggal 9 dan 10 Muharram) sebelum Allah Swt. mewajibkan puasa Ramadhan sebulan penuh. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah puasa adalah ibadah seluruh umat manusia, sedangkan ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah penyempurna dari ibadah puasa umat terdahulu.

Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah/2: 183). Ayat tesebut menjelaskan bahwa tujuan puasa adalah untuk meraih takwa, karena adakalanya orang berpuasa bukan karena Allah Swt. tetapi untuk tujuan duniawi, seperti kesaktian, diet untuk kesehatan, perdukunan dan tujuan lainnya.

Takwa dapat diraih melalui sikap dalam menjalani puasa, karena puasa tidak cukup hanya dengan menahan makan, minum dan seks tetapi juga sikap dan perilaku yang baik. Rasulullah saw. bersabada: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan keji dan perbuatannya, maka Allah tidak mempunyai keperluan apapun kepada hamba-Nya untuk meninggalkan makan dan minumnya” (HR. Bukhari).

Bahkan sikap berpuasa harus ditunjukkan saat seseorang mendapat ancaman dan makian dari orang lain, maka hendaknya ia menahan diri dan tetap berkata: “Saya sedang menjalankan ibadah puasa”. Ketakwaan hamba Allah Swt. dapat dilihat dari tiga sikap utama.

Pertama, sikap dermawan, baik dalam kondisi lapang atau dalam kondisi sengsara. Kedermawanan adalah sifat senang berbagi kepada orang lain yang memerlukan uluran bantuannya, baik berupa harta, ilmu atau tenaga. Meskipun kedermawanan acapkali dipersepsi adalah berbagi harta, tetapi berbagi harta zakat bukan kedermawanan karena zakat adalah kewajiban.

Kedua, mampu menahan amarah. Kemampuan menahan amarah, bukan berarti tidak pernah marah. Menahan amarah menjadi ciri sikap takwa. Sebab seseorang makin terlihat waras dan bijak jika mampu mangendalikan emosinya. Bahkan dalam sebuah studi ilmiah dijelaskan bahwa keberhasilan seseorang dalam mengarungi kehidupan dapat ditentukan dari kemampuannya untuk mengendalikan emosi dan amarahnya.

Ketiga, sifat pemaaf. Memaafkan berbeda dengan melupakan. Madame Swetchine (penulis Rusia, 1782- 1857) mengingatkan, “Sangat jarang kita memaafkan dan sangat sering kita melupakan”. Tindakan memaafkan bukan merupakan bagian mekanisme psikis alamiah, tetapi “perintah” atas nama Ilahi.

Memaafkan merupakan proses panjang, menyakitkan sekaligus membebaskan. Oleh karena itu, ia melibatkan totalitas kedirian kita sebagai manusia. Ia harus mulai dari keputusan untuk tidak berbalas dendam. Puasa adalah kebutuhan umat manusia untuk senantiasa dirinya tetap menjadi manusia secara fisik dan rohani sekaligus untuk menjalin keintiman sang hamba dengan Sang Maha Pencipta, sehingga manusia meraih takwa dalam beriman dan ber-Islam.

Mudah-mudahan umat Islam dapat menjalankan ibadah puasa dengan sempurna dan meraih takwa. (*) Sumber foto: Republika.co.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.