Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), Indonesia wajib menerapkan sertifikat halal bagi seluruh produk yang beredar di Indonesia. Masa penahapan yang terdekat berlaku pada 17 Oktober 2024 untuk produk makanan dan minuman.
Hal ini disampaikan oleh Corporate Secretary Manager LPPOM MUI, Raafqi Ranasasmita, kepada sekitar 500 mahasiswa dalam kegiatan Studium Generale WMK x Entrepreneur Camp Program Mahasiswa Wirausaha dan Startup School IPB 2023 yang diselenggarakan pada 5 November 2023, di Kampus IPB Dramaga, Bogor. Dalam pemaparan, beliau juga didampingi Yunita Nurrohmani selaku Corporate Communication LPPOM MUI.
“Bukan hanya makanan dan minuman sebagai end product yang wajib bersertifikat halal. Seluruh bahan yang terlibat juga wajib tersertifikasi halal, seperti bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong. Jasa penyembelihan dan hasil sembelihan juga termasuk wajib sertifikasi halal,” jelas Raafqi.
Tahapan lainnya yang juga mulai masuk masa transisi adalah produk kosmetika, obat-obatan, dan barang gunaan yang akan diberlakukan pada tahun 2026 hingga yang terlama tahun 2034. Sementara itu, bagi pelaku usaha yang tidak menerapkan aturan tersebut akan dikenakan sanksi administratif, berupa peringatan tertulis, denda administratif, pencabutan sertifikat halal, dan/atau penarikan barang dari peredaran. Hal ini tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 Pasal 149.
Selain dari aspek regulasi, Raafqi juga menekankan terkait tiga manfaat utama dalam menerapkan sertifikasi halal. Pertama, sertifikasi halal memberikan ketenangan batin kepada konsumen muslim. Dalam Islam, konsumsi makanan yang haram merupakan penghalang terijabahnya doa.
Dalam sebuah hadist disebutkan, “Kemudian beliau (Rasulullah) menyebutkan ada seseorang yang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berseru ‘Ya Rabbi ya Rabbi’ (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku’), padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.” (HR: Muslim, Tirmizi dan Ahmad).
Kedua, manfaat sistematis. Perusahaan yang sudah melakukan sertifikasi halal telah menciptakan ekosistem halal dalam keseluruhan proses produksinya. Dari aspek sumber daya manusianya, setiap karyawan yang terlibat telah memiliki pengetahuan yang sama dan keahlian yang setara terkait dengan implementasi sistem jaminan halal. Sementara dari aspek produksinya, perusahaan telah memiliki stadarisasi kegiatan dan pencatatan bahan. Dengan begitu, seluruh proses produksi dapat ditelusur dengan baik.
“Ketiga, kehalalan produk merupakan tanggung jawab produsen dan menjadi hak konsumen. Berdasarkan Laporan Survey Top Halal Indhex 2022, sejumlah 68 persen konsumen menyatakan bersedia membayar lebih mahal sebuah produk yang sudah bersertifikasi halal. Selain itu, sebanyak 28% responden menyatakan harga, kualitas, dan halal menjadi aspek utama dalam memilih sebuah produk,” terang Raafqi.
Terkait dengan statistik halal, selama tahun 2022 sejumlah 15.273 perusahaan melakukan sertifikasi halal melalui LPPOM MUI dengan sejumlah 297.803 produk. Angka ini naik 48 persen dari tahun sebelumnya. Sejumlah 9.582 pelaku usaha diantaranya merupakan peserta fasilitasi sertifikasi halal, baik itu berupa fasilitas gratis maupun subsidi. Umumnya masuk dalam kategori Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
Hal ini membuktikan bahwa peluang UMK dalam mendapatkan fasilitasi sertifikasi halal masih terbuka lebar. Tentunya, tak tertutup kemungkinan bagi para mahasiswa yang baru saja merintis usaha untuk memiliki sertifikasi halal melalui beragam jalan. Salah satunya melalui jalur reguler dengan fasilitasi dari pemerintah atau bantuan lainnya. Simak berbagai informasi terkini terkait sertifikasi halal melalui website www.halalmui.org atau media sosial LPPOM MUI / @lppom_mui. (YN)