Search
Search

5 Faktor Penentu Terpenuhinya Wajib Sertifikasi Halal Industri Pangan

Tak terasa sudah hampir tiga tahun pentahapan wajib sertifikasi halal untuk industri pangan sudah berjalan, yang dimulai sejak 17 Oktober 2019. Tidak sampai 30 bulan lagi—17 Oktober 2024—maka akan datang kewajiban seluruh pelaku unit usaha pangan harus tersertifikasi halal. Bagaimana peluang dan tantangan pemenuhan target seluruh unit usaha pangan sudah tersertifikasi halal pada tahun 2024 tersebut? Apa saja yang menjadi faktor penentu agar terpenuhinya target tersebut?

Kalau melihat pelaku usaha yang sudah terdaftar di BPJPH dalam rentang waktu antara 17 Oktober 2019 dan 4 Juni 2022 berdasarkan skala usaha adalah sebagai berikut: skala mikro 33.296 pendaftaran, skala kecil 5.802 pendaftaran, skala menengah 3.935 pendaftaran, dan skala besar 5.471 pendaftaran.

Sementara berdasarkan data pelaku usaha yang dikeluarkan Kemenkop UKM pada tahun 2019 per skala usaha adalah skala mikro 63.955.369, skala kecil 193.959, skala menengah 44.728, dan skala besar 5.550. Berdasarkan proporsi maka unit usaha dengan skala mikro 99,62%, skala kecil 0,30%, skala menengah 0,06% dan skala besar 0,01%.

Kalau membandingkan data pelaku usaha yang terdaftar sertifikasi halal dan data pelaku usaha secara keseluruhan (bisa jadi data ini terkoreksi karena kondisi perekonomian selama masa pandemi), maka unit usaha dengan skala besar adalah yang paling mungkin memenuhi target walaupun masih dua tahun lagi. Namun untuk kategori skala usaha yang lainnya terutama skala mikro dan kecil yang proporsinya lebih dari 99%, memang harus ada upaya yang keras dan masif untuk memastikan bahwa seluruhnya sudah tersertifikasi halal untuk pelaku usaha pangan.

Berdasarkan data GAPMMI jumlah pelaku usaha pangan yang menjadi anggota di di asosiasi tersebut ada sebanyak 1,6 juta unit usaha. Biasanya pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi mempunyai tingkat kesadaran yang lebih tinggi dalam mengikuti proses sertifikasi halal karena menyadari manfaat dan konsekuensi dengan atau tanpa sertifikat halal.

Faktanya, pelaku usaha pangan di luar keanggotaan GAPMMI lebih banyak lagi. Karena keanggotaan di GAPMMI mempunyai hak dan kewajiban termasuk iuran keanggotaan yang tentu tidak semua “mau” dan “mampu” memenuhi persyaratan tersebut.

Oleh karena itu, kalau berdasarkan fakta tersebut, paling tidak, untuk mencapai kondisi yang ditargetkan harus ada mekanisme yang terlaksana secara masif untuk mempercepat seluruh pelaku usaha pangan dapat tersertifikasi halal. Kalau kita berhitung mundur, masa yang tersisa sekitar dua tahun lagi sementara pelaku usaha yang belum tersertifikasi halal masih jauh dari target.

Berikut faktor-faktor yang sangat menentukan mulus tidaknya pemenuhan target semua pelaku usaha industri pangan telah tersertifikasi halal.

1. Lama Proses Sertifikasi Halal vs. Pertumbuhan Perusahaan Tersertifikasi Halal

Proses sertifikasi halal terdiri dari empat tahapan: prasertifikasi, registrasi, pemeriksaan (audit) ke PPH, dan pasca pemeriksaan (rapat komisi fatwa dan penerbitan sertifikat).

Tahapan pra-sertifikasi adalah proses persiapan yang harus dihadapi oleh pelaku usaha. Di tahap ini perusahaan biasanya mengikuti program pelatihan atau sosialisasi tentang sertifikasi halal dan menyiapkan dokumen persyaratan berupa dokumen bahan dan dokumen sistem jaminan produk halal. Perusahaan yang mampu memahami prosedur dan persyaratan sertifikasi halal dengan baik biasanya mampu menyelesaikan proses sertifikasi halal lebih cepat.

Tahapan registrasi adalah perusahaan mendaftarkan produknya ke BPJPH dengan melampirkan dokumen yang dipersyaratkan. Jika dinilai sudah terpenuhi maka BPJPH akan mengeluarkan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) sebagai syarat untuk melanjutkan pemilihan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dengan melampirkan semua dokumen yang dipersyaratkan dan diiringi dengan proses pemeriksaan oleh LPH.

Namun kecepatan proses sertifikasi halal sangat ditentukan oleh kombinasi komitmen keduanya dalam menjalankan peran sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing. Proaktif dan inisiatif keduanya dalam merespon setiap isu yang muncul sesuai dengan peran masing-masing akan berujung pada proses pemeriksaan halal yang lebih cepat. Semakin cepat pemeriksaan halal, dengan sumber daya yang sama, maka jumlah perusahaan yang diperiksa tentu akan lebih banyak lagi.

Ketika perusahaan sudah dinilai sudah cukup oleh LPH dalam pemenuhan persyaratan maka tahap selanjutnya adalah akan dibuatkan laporan hasil audit untuk disampaikan di sidang komisi fatwa. Walaupun biasanya tidak banyak laporan yang tertolak ketika proses penetapan fatwa, namun tetap saja ada peluang menjadi “pending matters” ketika ada informasi-informasi yang dinilai belum lengkap oleh komisi fatwa. Oleh karena itu ketelitian dalam menyiapkan laporan oleh LPH akan menentukan juga proses penetapan fatwanya.

Jika setiap tahapan proses terkendala, maka proses pengeluaran sertifikat halal oleh BPJPH juga akan tertunda dan tingkat pertumbuhan perusahaan tersertifikasi akan tersendat pula.

2. Kesadaran Perusahaan untuk Mengikuti Proses Sertifikasi Halal

Kesadaran seseorang akan suatu hal muncul karena adanya keyakinan orang tersebut akan manfaat atau pentingnya tentang hal tersebut atau jika tidak dilakukan mengandung ancaman terhadap dirinya, termasuk soal sertifikasi halal.

Urgensi manfaat dan tingkat kepentingan bisa muncul kalau pengetahuan tentang sertifikasi halal tersebut memadai—termasuk konsekuensi kalau tanpa sertifikat halal bagi pelaku usaha, tips dan trik agar proses sertifikasi halal lancar, dan hal-hal lain yang relevan seperti meningkatnya nilai produk di mata konsumen dan kemungkinan untuk bersaing di tingkat global. Oleh karena itu, program-program yang memacu tingkat kesadaran pelaku usaha perlu diintensifkan.

Tetapi di situ pula seninya: untuk mendatangkan pelaku usaha terutama dengan skala mikro dan kecil agar hadir dalam program sosialisasi, pelatihan, atau workshop bukan perkara mudah.

Bagi pelaku usaha kategori ini, waktu adalah barang mewah karena pemilik usaha biasanya juga merangkap yang menjalankan usahanya. Tanpa kehadiran pemilik maka jalannya usaha akan terhenti. Jadi walaupun mereka diberikan akses gratis untuk mengikuti program tersebut, kadang-kadang mereka tetap keberatan. Kalaupun mau, mereka meminta pula kompensasi atas kehilangan pendapatan selama acara berlangsung atau paling tidak mendapatkan uang saku atau pengganti biaya transportasi.

Contoh kasus: juru sembelih ayam yang biasa menunaikan tugas mereka di pasar-pasar tradisional jika diajak mengikuti pelatihan juru sembelih halal. Respons yang muncul adalah, “Apa Bapak/Ibu mau mengganti pendapatan saya hingga ratusan ribu per hari selama acara berlangsung?”

Benar kata-kata para ahli perilaku konsumen, sebuah transaksi terjadi jika konsumen dengan suka rela mengorbankan semua sumber daya untuk mewujudkan transaksi terjadi; tidak saja harga yang dibayarkan untuk produk. Untuk kasus sosialisasi, pelatihan, atau workshop yang berkaitan dengan sertifikasi halal kalaupun itu dianalogikan sebuah transaksi, dengan harga nol rupiah pun, mereka pun tetap enggan, karena ada hal lain yang mereka korbankan yakni pendapatan usaha di hari itu.

Jadi ada resistensi dan memang harus ada upaya untuk menyiasati solusinya. Padahal dalam rantai pasok produk halal, seorang juru sembelih halal adalah sangat menentukan. Ketika seorang juru sembelih gagal memenuhi persyaratan sebagai juru sembelih halal maka hewan halal yang dia sembelih maka berstatus non-halal dan seluruh bagian dari hewan tersebut menjadi tidak halal.

Bayangkan seorang tukang mie ayam membeli ayam dari pedagang yang mempekerjakan juru sembelih seperti itu, maka mie ayamnya menjadi tidak halal. Atau, pelaku usaha lain yang menggunakan daging ayam sebagai salah satu bahannya seperti nugget, bakso, sosis, sate ayam, lemper, bubur ayam, atau restoran berbahan baku ayam; pun produknya menjadi tidak halal juga.

Dalam proses sertifikasi halal, jika misalnya ada bahan yang berasal dari hewan halal yang belum pernah disertifikasi dan itu merupakan bahan dari sebuah perusahaan yang sedang disertifikasi halal, maka biasanya kedua unit usaha tersebut secara paralel akan menjalani proses sertifikasi halal supaya perusahaan yang menggunakan bahan dari turunan hewan tersebut tidak berhenti karena bahannya tidak jelas status kehalalannya. Jika juru sembelih halalnya tidak kompeten maka tentu kedua unit usaha tersebut bisa gagal mendapatkan sertifikat halal.

Bayangkan apa yang akan terjadi jika banyak juru sembelih halal seperti itu dan akibat ikutannya terhadap semua unit usaha yang menggunakan bahan daging dari mereka. Jelas akan terjadi bottleneck dalam upaya mengejar seluruh unit usaha pangan harus tersertifikasi sampai dapat ditemukan solusi atas persoalan tersebut.

3. Biaya Sertifikasi Halal vs. Kemampuan Perusahaan

Biaya sertifikasi halal untuk pelaku usaha mikro dan kecil adalah sebesar 650.000 Rupiah untuk masa berlaku 4 tahun. Jika dihitung pengeluaran pelaku usaha mikro dan kecil untuk sertifikasi halal adalah 162.500 per tahun. Jika dihitung per bulan besaran pengeluaran yang harus ditanggung tidak sampai 15.000 Rupiah.

Masalahnya tidak semua unit usaha itu mampu dan mau mengeluarkan uang sebesar nominal tersebut di depan, untuk empat tahun berikutnya. Oleh karena itu kementerian/lembaga atau BUMN/BUMD atau LPH seperti LPPOM MUI biasanya menanggung biaya sertifikasi halal mereka dalam jumlah terbatas. Karena jumlah kuota sertifikasi halal gratis itu terbatas maka konsekuensinya perlu diperbanyak pula pemangku kepentingan yang harus bersedia untuk menalangi biaya sertifikasi halal mereka.

Walaupun begitu, biasanya proses rekruitmen atau seleksi atau kurasi untuk pelaku usaha ini juga memerlukan waktu dari mulai menyiapkan mereka melalui program sosialisasi, melakukan pendampingan dalam hal pemenuhan dokumen persyaratan dan harus mau “sedikit ribet” dalam menerapkan budaya administrasi bisnis (baca: pencatatan) yang tidak semua pelaku semua “mau” melakukannya.

Bayangkan kalau pelaku usaha tersebut bergerak di bidang katering atau restoran yang menggunakan bahan hingga puluhan bahkan ratusan. Tidak semua bahannya kritis seperti beras, sayur atau buah. Namun tetap harus dicatat sebagai bagian dari daftar bahan penyusun produk atau menu di samping bahan-bahan lain seperti daging, ikan, tepung, penyedap rasa, aneka perencah (seasoning), rempah-rempah, bahan-bahan minuman dan makanan penutup mulut yang totalnya kadang-kadang mencapai ratusan jumlahnya.

Memang tidak semua pelaku harus mengikuti program sertifikasi halal reguler, ada program “self-declare” untuk produk tidak kritis. Namun tetap saja memerlukan waktu dalam program pendampingan PPH termasuk pemastian bahwa memang bahwa produk tersebut memang tidak kritis.

Dalam prosesnya ketika melaksanakan program “self declare” ini, tetap saja harus ada dokumen yang harus disiapkan walaupun sebagian besar lebih banyak dikerjakan oleh pendamping program “self-declare”. Lagi-lagi, tidak semua pelaku usaha menerapkan budaya pencatatan (walaupun dalam bentuk administrasi sederhana sekalipun). Administrasi yang rapi penting karena untuk program “self-declare” sekalipun muaranya harus tetap ada laporan sebagai bahan pertimbangan proses penetapan fatwa dalam rapat komisi fatwa.

4. Akselerasi Proses Serifikasi Halal untuk Produk Kritis Hewani dan Turunannya

Di sepanjang rantai pasok industri pangan, demi kesuksesan untuk mencapai target semua pelaku usaha tersertifikasi halal, maka sertifikasi halal produk kritis turunan hewan di industri hulu sangat menentukan. Produk kritis yang berasal dari hewan memang harus menjadi prioritas dalam upaya mengakselerasi pencapaian target tersebut.

Isu sertifikasi halal produk hewani dan turunannya berkelindan dengan isu-isu yang ada di dalam industri tersebut. Perlu dicatat bahwa jumlah pelaku usaha rumah potong hewan baik ruminansia dan unggas yang telah tersertifikasi halal masih terbatas.

Apalagi tempat pemotongan hewan yang dilakukan secara perorangan seperti tempat pemotongan ayam di pasar-pasar tradisional atau tempat pemotongan kambing di unit-unit usaha pengolahan daging kambing (seperti sate kambing, gulai kambing, atau bisnis aqiqahan). Memang perlu strategi dan rencana yang matang untuk membuat sebuah program terpadu untuk mengakselerasi unit-unit usaha seperti ini untuk tersertifikasi halal dan harus pula dilakukan secara masif.

Pekerjaan rumah terbesarnya seperti yang disinggung sebelumnya memang membimbing juru sembelih supaya kompeten sebagai juru sembelih halal. Karena proses sertifikasi halal untuk rumah/tempat pemotongan hewan sangat tergantung kompetensi juru sembelihnya, di samping proses produksinya terjaga dari kontaminasi bahan haram/najis.

Isu lain adalah fasilitas-fasilitas yang terkait dengan produk hewani dan turunannya, termasuk di dalamnya fasilitas-fasilitas seperti penggilingan daging (yang tersedia di pasar-pasar) dan logistik serta retailer terkait penyimpanan dan transportasi yang rawan terkontaminasi bahan haram/najis. Juga, bebas dari ulah-ulah pelaku nakal yang menyalahgunakan daging celeng yang diklaim sebagai daging halal dengan melumur dengan darah sapi atau mengoplosnya dengan daging sapi.

5. Sinkronisasi dan Orkestrasi Pemangku Kepentingan Halal

Untuk membuat mulusnya program akselerasi ini maka semua pemangku kepentingan harus bersama-sama terorkrestasi di bawah pimpinan BPJPH untuk mencapai target ini yakni dengan memberdayakan 21 Kementerian/ Lembaga, 11 LPH, 131 lembaga pendamping PPH, dan 34 satgas halal provinsi. (HU)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.