Dalam upaya memperkuat sinergi antar-pemangku kepentingan dalam menjamin produk kosmetik yang tidak hanya halal, tetapi juga aman dan berkualitas (thayyib), LPH LPPOM menggandeng berbagai pihak seperti BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Bea Cukai, BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), serta PERKOSMI (Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia) untuk membangun pemahaman bersama mengenai regulasi dan standar halal di sektor ini.
Melalui seminar bertajuk “Solusi Terpadu: Sinergi Regulator untuk Revolusi Industri Kecantikan”, LPH LPPOM mengajak pelaku usaha industri kosmetik untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan terhadap regulasi halal, serta berperan aktif dalam mewujudkan industri kecantikan yang berdaya saing dan sesuai dengan prinsip halal. Halal Audit Quality Board of LPH LPPOM, Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih Hilwan, M.Si., menyampaikan hal ini dalam seminar yang diselenggarakan LPH LPPOM dalam perhelatan pameran Cosmobeaute 2025 bekerja sama dengan PT. Pamerindo Indonesia pada 9 Oktober 2025 di Hall 7, ICE BSD City, Tangerang Selatan.
Kosmetik merupakan salah satu produk yang banyak digunakan oleh masyarakat, baik pria maupun wanita. Di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, isu kehalalan produk kosmetik menjadi sangat krusial. Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa, telah mengeluarkan sejumlah fatwa terkait kehalalan kosmetik, termasuk Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 tentang Kehalalan Kosmetik, yang menjadi salah satu rujukan utama dalam penetapan standar halal di sektor ini.
Namun dalam implementasinya, pelaku usaha sering dihadapkan pada tantangan administratif dan teknis, terutama dalam proses sertifikasi halal. Salah satu kendala yang paling umum adalah kesulitan dalam menelusuri asal-usul bahan baku, khususnya yang diperoleh dari luar negeri. Proses ini membutuhkan dokumentasi yang lengkap dan transparan, agar status kehalalan bahan dapat diverifikasi secara menyeluruh.
“Banyak bahan kosmetik berasal dari supplier luar negeri, yang hanya mencantumkan nama dagang tanpa detail asal bahan. Sehingga, memastikan kelengkapan dokumen pendukung menjadi tantangan besar bagi pelaku usaha,” ujar Mulyorini.
Sementara itu, Dr. M. Fariza Y. Irawady, S.E., M.M. selaku Tenaga Ahli BPJPH Bidang Komunikasi dan Kehumasan menyampaikan bahwa kosmetik menjadi salah satu produk yang wajib memiliki sertifikat halal jika ingin tetap diedarkan dan diperjualbelikan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang mengatur bahwa seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, termasuk produk kosmetik.
Pihaknya juga menambahkan bahwa kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi produsen dalam negeri, tetapi juga bagi produk impor, sehingga diperlukan kerja sama yang erat antara regulator, pelaku usaha, dan lembaga sertifikasi untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi tersebut.
“Lebih dari sekadar memenuhi kewajiban, sertifikat halal juga berfungsi sebagai jaminan kepercayaan konsumen terhadap keamanan dan kebersihan suatu produk. Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya produk yang tidak hanya halal secara syariat, sertifikasi halal juga meningkatkan daya saing produk di pasar domestik maupun global.
Dr. Fariza menekankan bahwa pelaku usaha yang proaktif dalam memastikan kehalalan produknya akan lebih siap menghadapi tantangan pasar sekaligus meraih peluang di segmen konsumen Muslim yang terus berkembang pesat.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengawasan Kosmetik BPOM, I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Dewa, S.Si., Apt., MPPM, menyampaikan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam pengawasan industri kosmetik. Menurutnya, pengawasan tidak dapat dilakukan secara sektoral, tetapi membutuhkan pendekatan pentahelix yang melibatkan lima unsur: akademisi, pelaku usaha, pemerintah, masyarakat, dan media.
“Tujuannya bukan hanya untuk melindungi konsumen dari produk berisiko, tetapi juga menciptakan iklim industri yang sehat dan adil. Dengan meningkatnya pelanggaran di tengah pesatnya pertumbuhan industri, sinergi semua pihak menjadi kunci menjaga kualitas dan keamanan produk di pasaran,” tegas Bagus.
Sebagai bentuk konkret dukungan terhadap pelaku industri, khususnya UMKM, BPOM juga memberikan berbagai kemudahan. Mulai dari relaksasi regulasi, edukasi, hingga penguatan kerja sama dengan instansi lain seperti Bea Cukai, BPJPH, dan LPPOM.
“Melalui pengawasan berbasis risiko dan regulasi yang adaptif, Badan POM berkomitmen mendorong industri kosmetik Indonesia tumbuh lebih inovatif, aman, dan kompetitif, baik di pasar lokal maupun global,” pungkasnya.
Kepala Seksi Perizinan dan Fasilitas III Kanwil Bea Cukai Banten, Mukmin Setyo Sudarmo, menyoroti peningkatan risiko masuknya produk kosmetik ilegal ke pasar Indonesia. Meski kosmetik bukan obat, pengawasannya tetap di bawah BPOM, sementara Bea Cukai mengawasi di perbatasan serta memungut bea masuk dan pajak. Pemerintah berkomitmen melindungi industri dalam negeri dari produk berbahaya, tidak aman, atau merusak persaingan.
Mukmin mengimbau masyarakat dan pelaku usaha agar lebih cermat saat membawa atau mengimpor kosmetik dari luar negeri, dengan memperhatikan penggunaan untuk pribadi, jumlah yang wajar, dan batas nilai (USD 500 untuk penumpang, USD 3 untuk kiriman). “Penggunaan aplikasi All Indonesian Customs juga dianjurkan guna memastikan kepatuhan dan menjamin produk yang beredar aman serta sesuai standar,” ucap Mukmin.
Menurut Riva Dwitya Akhmad, Ketua Bidang Teknis Ilmiah & Halal Task Force PERKOSMI, bahan baku dan kemasan kosmetik yang digunakan hampir seluruhnya berasal dari luar negeri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku usaha, terutama dalam memenuhi kewajiban sertifikasi halal. Salah satu kendala utama adalah memastikan kehalalan bahan hingga ke seluruh rantai pasok (supply chain), mengingat kompleksitas dan kurangnya transparansi informasi dari pemasok luar negeri.
“Kami terus melakukan sosialisasi secara berkelanjutan kepada seluruh anggota PERKOSMI, agar mereka semakin paham dan mampu memenuhi kewajiban sertifikasi halal ini dengan baik,” jelas Riva. Pihaknya menambahkan bahwa edukasi dan pendampingan menjadi kunci agar pelaku usaha dapat menjalankan proses sertifikasi dengan lebih efektif dan mematuhi standar yang ditetapkan.
Dengan upaya ini, diharapkan pelaku industri kosmetik di Indonesia tidak hanya mampu menjamin produk yang halal, tetapi juga meningkatkan daya saing di pasar domestik maupun global, sekaligus membangun kepercayaan konsumen yang semakin sadar akan pentingnya produk halal dan berkualitas.
Sebagai bagian dari upaya meningkatkan literasi halal di kalangan pelaku usaha, LPPOM menghadirkan program edukatif “Halal On 30” — sesi pembelajaran singkat berdurasi 30 menit yang membantu memahami alur sertifikasi halal dengan mudah. Program ini dapat diakses secara daring melalui bit.ly/HalalOn30, menjadi langkah cepat bagi Anda untuk mengenal standar halal BPJPH.
Kini, LPPOM juga memperkuat layanan bagi industri kosmetik melalui Laboratorium LPPOM MUI, yang menyediakan pengujian terpadu — mulai dari aspek kehalalan hingga keamanan produk. Laboratorium yang telah terakreditasi SNI ISO/IEC 17025:2017 oleh KAN ini siap membantu industri dalam memenuhi standar mutu dan keamanan. Layanannya mencakup uji halal, keamanan pangan, hingga pengujian cemaran seperti 1,4-dioxane untuk kosmetik, serta berbagai uji lainnya yang relevan bagi industri farmasi dan pangan.
Tertarik memastikan produk kosmetik Anda benar-benar halal, aman, dan thayyib Kunjungi https://e-halallab.com untuk informasi lengkap mengenai layanan pengujian, atau ikuti update terbaru kami di Instagram @lab.lppommui. Bersama LPPOM, wujudkan produk kosmetik yang tidak hanya mempercantik, tetapi juga membawa kebaikan dan keberkahan. (ZUL)