Kemenkes memberikan perhatian khusus terhadap konsumsi gula di masyarakat, karena berisiko menimbulkan berbagai macam penyakit. Namun, kehalalan gula juga menjadi perspektif yang tak kalah penting. Dalam hal ini, LPPOM menaruh perhatian khusus terhadap sertifikasi halal bahan baku seperti gula untuk memudahkan proses sertifikasi halal BPJPH bagi produk akhir.
Kasus kerusakan ginjal dan diabetes mudah menyerang anak-anak dan remaja dan mengakibtkan efek samping yang cepat mengundang perhatian masyarakat. Salah satu penyebabnya diduga berasal dari konsumsi makanan dan minuman tinggi gula, baik dalam bentuk kemasan maupun makanan cepat saji.
Situs resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia (RI) menunjukkan bahwa konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebihan menjadi penyebab utama meningkatnya penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes dan obesitas. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi obesitas pada penduduk usia 18 tahun ke atas meningkat dari 15,4% pada 2013 menjadi 21,8% pada 2018.
Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat prevalensi diabetes pada anak meningkat cepat, yaitu 70 kali lipat dari tahun 2010 hingga 2023. IDAI melaporkan terdapat 1.645 anak di Indonesia yang menderita diabetes, dengan prevalensi sebesar 2 kasus per 100.000 anak. Dari jumlah tersebut, 60% adalah anak perempuan, dan sebagian besar berusia 10-14 tahun.
Batas Aman Konsumsi Gula Harian
International Halal Partner LPPOM, Pertiwi Putri Utami, S.Gz., menyoroti pentingnya memperhatikan batas konsumsi gula. “Menurut WHO, konsumsi gula tambahan sebaiknya tidak lebih dari 10% dari total energi harian. Kelebihan konsumsi gula dalam jangka panjang dapat menyebabkan obesitas, diabetes, penyakit jantung, dan stroke,” ungkapnya.
Untuk dewasa, dengan kebutuhan energi 2.000 kalori per hari, batas maksimal konsumsi gula sebanyak 50 gram atau sekitar 4 sendok makan. Sementara untuk anak-anak, rata-rata maksimal 2-3 sendok makan per hari, tergantung usia. Batas ini juga menjadi dasar Kemenkes RI.
“Sebagai gambaran, mayoritas satu sachet minuman kemasan mengandung gula di angka 15 sampai 25 gram, bahkan ada yang sampai 38 gram. Jadi bisa dibayangkan, satu kali konsumsi dalam sehari itu sudah mengambil lebih dari setengah batas konsumsi gula per hari. Padahal, ini belum ditambah dengan konsumsi beberapa masakan lainnya yang kemungkinan besar juga menggunakan gula, minimal sebagai penyedap rasa. Tak heran, kenaikan gula dalam darah terjadi cepat dan mudah menyebabkan timbulnya penyakit,”
Oleh karenanya, Pertiwi mengajak masyarakat untuk mengontrol konsumsi gula dan menerapkan gaya hidup sehat untuk melindungi generasi muda dari ancaman penyakit serta menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan produktif. Hal ini dimulai dengan bersikap bijak dan cermat dalam memilih produk.
Khusus terkait konsumsi gula, Pertiwi menekankan untuk memperhatikan tiga hal berikut saat memilih produk. Pertama, periksa informasi gizi dan kandungan gula di label kemasan. Kedua, pahami komposisi karena ada berbagai nama lain gula, seperti sukrosa, fruktosa, atau sirup jagung. Terakhir, gunakan gula dalam batas wajar dan hindari konsumsi berlebihan.
Proses Pembuatan dan Titik Kritis Gula
Selain dari aspek kesehatan, hal lain yang juga harus diperhatikan dari gula terkait aspek kehalalan. Untuk memahami hal ini, Pertiwi memberi penjelasan bahwa gula adalah kelompok karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis dalam industri pangan. “Gula sukrosa, yang paling sering digunakan, secara komersial diperoleh dari bahan nabati seperti tebu atau gula bit,” jelasnya.
Proses pembuatan gula terdiri dari lima tahapan utama, diantaranya:
- Pemanenan: tebu dipanen dan digiling untuk menghasilkan cairan nira.
- Pemasakan dan penyaringan: nira dipisahkan dari kotoran.
- Pengentalan dan kristalisasi: nira dipekatkan hingga menghasilkan kristal gula.
- Pemurnian: proses ini menggunakan karbon aktif atau resin penukar ion untuk menghilangkan sisa kotoran.
- Pengeringan: menghasilkan gula kristal kering yang siap digunakan.
“Namun, gula kristal ini belum sepenuhnya murni. Pemurnian lanjutan biasanya diperlukan untuk memastikan tidak ada sisa kotoran pada permukaan kristal gula,” terang Pertiwi, yang juga seorang auditor halal. Adapun titik kritis kehalalan gula, lanjutnya, terletak pada proses pemurnian, khususnya bahan penolong yang digunakan seperti karbon aktif dan resin penukar ion.
Karbon aktif umumnya berasal dari tanaman, arang, atau bahan hewani seperti tulang. Sementara resin penukar ion terkadang menggunakan gelatin yang juga dapat berasal dari hewan. Seluruh bahan yang berasal dari hewani perlu dipastian bersumber dari hewan halal yang disembelih sesuai syariat Islam.
Oleh karena itu, pengawasan terhadap kehalalan bahan-bahan tersebut sangat penting untuk memastikan produk gula yang dikonsumsi sesuai dengan standar halal. Kehalalan harus diverifikasi melalui pihak ketiga, yakni Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan dibuktikan dengan adanya sertifikat halal produk.
Dalam hal ini, LPH LPPOM terus berupaya agar seluruh produk di hulu atau bahan baku, seperti gula, memiliki sertifikat halal. Dengan telah tersertifikasi halalnya bahan baku tersebut, maka berbagai produk akhir juga dapat lebih mudah disertifikasi halal.
Untuk memudahkan hal tersebut, LPPOM membuka ruang diskusi melalui layanan Customer Care pada Call Center 14056 atau WhatsApp 0811-1148-696. Selain itu, pelaku usaha juga dapat mendalami alur dan proses sertifikasi halal dengan mengikuti kelas Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) yang diselenggarakan secara rutin pada minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/. (YN)