Dalam perdagangan global, jaminan kehalalan produk sudah menjadi keniscayaan. Hal ini diungkapkan H. Zainut Tauhid Sa’adi, M.Si., Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, dalam Acara Silaturahmi LPPOM MUI dan Perusahaan Bersertifikat Halal MUI (disingkat ASSALAM) yang dilangsungkan pada Senin, 29 Juni 2020.
“Potensi halal dunia sangat besar. Banyak negara dunia telah menerapkan standar halal terhadap produksi produk mereka, baik sektor barang maupun jasa. Indonesia harus mengambil potensi pasar halal dunia tersebut, yaitu mengambil porsi ekspor produk halal,” jelas Zainut.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar dunia, seharusnya Indonesia dapat menjadi penyuplai barang dan jasa halal dunia, minimal untuk kebutuhan domestik. Tentunya hal ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat sebagai konsumen. Ini menjadi tantangan bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan regulasi, Indonesia semakin berbenah soal penyelenggaraan jaminan produk halal yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Ini membuktikan bahwa negara hadir dalam menjamin kehalalan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat muslim melalui sertifikasi halal.
“Mutu sudah tidak asing dalam dunia global. Dengan label halal, mutu produk sudah terjamin aman dan ramah lingkungan. Sementara bagi pelaku usaha, label halal menjadi keunggulan produk,” ujar Zainut.
Produk yang telah memperoleh sertifikat halal, lanjutnya, bisa dibilang berada lebih atas dari produk lainnya. Dengan mengantongi sertifikat halal, artinya suatu produk sudah sesuai dengan kriteria sistem jaminan halal yang dipersyaratkan oleh LPPOM MUI. Bahkan lebih jauh lagi, telah memenuhi standar Uni Emirate Arab (UEA). Sehingga selama berlakunya sertifikat halal, produk tersebut terbebas dari kontaminasi bahan non halal dan najis.
Hal lain yang juga perlu disoroti adalah kemampuan Indonesia telah teruji dalam memadukan nilai keagamaan yang dikorelasikan dengan nilai kemanusiaan yang universal. Kesiapan Indonesia unuk menjadi pelopor dan pemain utama dalam industri halal juga didukung oleh institusi keulamaan yang memiliki otoritas dalam penetapan fatwa halal, sebagaimana yang telah dilakukan selama ini oleh MUI yang didalamnya tergabung dari berbagai ormas.
“Pada masa ini, kita terbiasa mendengar produk atau jasa tertentu bermutu sesuai standar ISO. Namun pada masa depan, seiring dengan perubahan tatanan global dan menuju keseimbangan baru, maka resistensi terhadap citra halal akan semakin berkurang, khususnya Indonesia akan semakin layak menjadi pelopor dan pusat dari setiap isu halal,” ungkap Zainut.
Tantangan selanjutnya adalah membangun ekosistem halal. Ini berkorelasi dengan sektor keuangan syariah yang mendukung industri halal. Perkembangan eknomi syariah tidak hanya bertumpu pada muatan industri halal semata, melainkan memerlukan upaya pengembangan yang lebih holistik, yakni pengembangan halal value chain.
Penguatan riset dan teknologi dalam pengembangan produk halal dan edukasi masyarakat terkait sadar halal juga sangat diperlukan. Industri halal Indonesia beserta seluruh regulasi yang ada sesungguhnya akan memberikan ketenangan batin bagi masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan perkembangan industri halal yang signifikan untuk megukuhkan struktur ekonomi bangsa Indonesia. (YN)