Oleh: Ir. Hendra Utama, MM
Auditor Senior LPPOM MUI
Dalam proses sertifikasi halal di Indonesia, secara internal perusahaan harus memastikan penerapan Sistem Jaminan Halal (SJH). Ada 11 kriteria yang harus dipenuhi dan tiga diantaranya menyangkut hal substansial, yakni bahan, fasilitas produksi, dan produk. Kriteria lainnya berkaitan dengan penerapan prosedur yang akan menjamin tiga kriteria substantif tadi akan selalu dipenuhi, selama berlakunya sertifikat halal.
Per definisi, yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang dihasilkan dari bahan-bahan dan diproduksi di fasilitas yang memenuhi kriteria halal. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses sertifikasi halal adalah seluruh bahan yang digunakan atau bahan yang kontak langsung dengan produk, untuk menghasilkan produk halal tersebut.
Bahan-bahan tersebut berupa bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, bahan kemasan primer, bahan pelumas/lubrikan/grease yang kontak langsung dengan produk/fasilitas yang bersentuhan langsung dengan produk, bahan pembersih/deterjen yang juga kontak langsung dengan produk/fasilitas yang kontak langsung dengan produk dan media validasi/verifikasi proses pencucian yang juga juga kontak langsung dengan produk/fasilitas yang bersentuhan langsung dengan produk.
Secara umum, sertifikasi halal adalah proses identifikasi hal-hal kritis keharaman yang mungkin saja memengaruhi status kehalalan dan memastikan hal-hal kritis tadi sudah memenuhi kriteria halal. Jika hasil identifikasi memastikan bahwa hal-hal kritis tidak memenuhi kriteria halal, maka suatu produk tidak akan pernah mendapat sertifikat halal—sampai pada suatu titik perusahaan pemilik produk bisa memenuhinya.
Dari sisi asal-usul, terdapat empat kategori bahan: berbasis hewani, nabati, mikrobial, dan mineral/tambang/sintesa kimiawi. Walaupun dari sisi kategori tertulis begitu, dari sisi proses identifikasi titik kritis keharaman, mungkin saja di luar kategori bahan berbasis hewani, terdapat kemungkinan penggunaan bahan hewani atau bahan yang tergolong haram/najis pada tiga kategori lainnya. Kehadiran bahan haram/najis bisa di dalam bahan tambahan, atau bahan penolong, atau bahan lainnya.
Oleh karena itu, pada level tertentu dari sisi perusahaan, ada personal yang harus mempunyai pengetahuan bahan yang berkaitan dengan aspek kehalalan. Sehingga dengan basis pengetahuan tersebut mamdpu memenuhi kriteria bahan halal. Penilaian pemenuhan kriteria bahan halal didasarkan pada ketersediaan dokumen pendukung yang cukup dan sahih untuk bahan tersebut.
Bahan-bahan tertentu harus didukung oleh sertifikat halal dari lembaga sertifikat halal yang terekognisi, misalnya: bahan berbasis hewani (yang menghendaki penyembelihan sesuai syariah), bahan kompleks: misalnya flavor dan fragrans, atau bahan yang sulit tertelusuri asal-usul bahannya kalau tidak dilakukan audit dalam proses sertifikasi halal, misalnya: produk samping (by product) industri keju berbentuk laktosa, sweet whey protein, atau casein—yang biasanya sumber bahan bakunya bisa jadi berasal dari banyak pabrik keju yang belum tentu semuanya berstatus halal.
Namun untuk bahan-bahan kritis lainnya, perusahaan masih bisa memenuhi dokumen pendukung bahan dengan menggunakan bentuk dokumen lain, misalnya: bagan alir proses, spesifikasi produk, atau kuesioner yang dikeluarkan oleh produsen; sepanjang berdasarkan dokumen tersebut bisa tertelusuri asal-usul bahannya.
Walaupun pada akhirnya, keputusan terpenuhi atau tidak sebuah kriteria tetap berdasarkan penilaian auditor halal. Paling tidak, perusahaan sudah memahami persyaratan dan memberikan dokumen yang tepat untuk setiap bahan. Selain dua kategori bahan tadi dari sisi pemenuhan dokumen halal, ada kategori bahan ketiga yakni bahan tidak kritis. Untuk bahan tidak kritis tidak perlu ketersediaan dokumen pendukung. (*)