Search
Search

UMK Halal, Lokomotif Ekonomi Nasional di Masa Pagebluk

  • Home
  • Berita
  • UMK Halal, Lokomotif Ekonomi Nasional di Masa Pagebluk

Oleh: Muti Arintawati (Direktur Utama LPPOM MUI)

Usaha Mikro dan Kecil (UMK) merupakan kelompok yang menempati urutan terbesar dari jumlah usaha dan industri yang ada di Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah di 2021 menunjukkan jumlahnya yang mencapai 64,2 juta dengan kontribusi 61,07 persen Produk Domestik Bruto. Besarnya kontribusi UMK menunjukkan besarnya potensi memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia pasca pandemi melanda.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) mengatur bahwa kelompok usaha ini tidak lepas dari kewajiban bersertifikat halal. UMK bahkan mendapatkan fasilitas pembiayaan sertifikasi halal gratis, sesuai Pasal 81, ayat 1 PP No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Proses pemeriksaan/pengujian kehalalan UMK dapat melalui jalur Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) seperti mekanisme sertifikasi halal secara umum maupun melalui mekanisme pernyataan pelaku usaha dengan pendampingan proses produk halal (PPH) bagi yang memenuhi persyaratan. Hal ini diatur dalam Pasal 79 PP No. 39/2021 dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.

Jumlah pelaku UMK yang tinggi dan sokongan regulasi halal yang kuat merupakan perpaduan harmonis yang mampu mendorong produk halal menghela ekonomi Indonesia menghadapi pertumbuhan stagnan di masa Pagebluk. Meski begitu, ada sejumlah tantangan yang harus diatasi sebelum harapan ini terwujud.

Tantangan Pemerintah

Informasi kewajiban sertifikasi halal belum merata dipahami oleh pelaku UMK. Apalagi fasilitasi gratis sering membuat pelaku UMK ikut dengan komitmen sekadarnya, bahkan tidak sedikit yang menolak ikut meski sudah didaftarkan. Sertifikat menjadi hanya sekadar kertas pajangan tanpa dilandasi tanggung jawab menjaga kehalalan produk selama empat tahun masa berlakunya sertifikat halal. Pemerintah beserta seluruh pemangku kepentingan ditantang untuk melakukan sosialisasi dan edukasi lebih gencar agar menjangkau seluruh pelaku UMK.

Tantangan berikutnya adalah persiapan halal supply chain. Produk halal hanya dapat dihasilkan jika tersedia bahan halal dan fasilitas produksi yang bebas dari cemaran bahan haram dan najis. Kehalalan bahan yang dihasilkan di hulu akan menentukan kehalalan produk yang dihasilkan UMK, yang umumnya terdapat dihilir. Setidaknya ada empat hal yang perlu menjadi prioritas agar UMK dapat dengan mudah menghasilkan produk halal.

Pertama, prioritas sertifikasi halal bahan-bahan terkategori kritis yang luas digunakan di kalangan UMK, seperti produk hewan sembelihan. Namun, jumlah rumah/tempat potong hewan/unggas (RPH/TPH/RPU/TPU) yang sudah bersertifikat halal masih rendah, hanya 14,5% dari total 1.329 RPH/TPH di seluruh Indonesia (kajian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah dan Pusat Kajian Sains Halal IPB University di Desember 2021). Data RPU/TPU tersertifikasi halal kemungkin besar lebih rendah lagi karena pemotongan ungah hanya memerlukan luas yang kecil, dari lingkungan perumahan sampai pasar.

Rendahnya hasil sembelihan hewan yang belum bersertifikat halal tentunya menyulitkan ketertelusuran kehalalan bahan yang digunakan UMK. Ini memerlukan audit ke tempat penyembelihan sehingga memperpanjang proses sertifikasi dan juga menambah biaya. Kerjasama dengan pemerintah daerah dan Kementerian Pertanian sangat penting untuk menggerakkan sertifikasi halal fasilitas pemotongan hewan di tiap daerah.

Ada juga produk hulu lain seperti gula, minyak, terigu, saus, tepung, dan perisa yang sangat luas digunakan UMK. Namun, bahan ini umumnya dihasilkan industri-industri besar dan saat ini sudah banyak yang disertifikasi selama 33 tahun LPPOM MUI berkiprah, sehingga UMK relatif mudah memperoleh bahan halal.

Tantangan kedua terkait pengawasan rantai distribusi daging. Hal ini sangat penting mengingat masih banyaknya kasus oplosan daging sapi dengan daging celeng, terutama menjelang Ramadhan. Distribusi daging oplosan umumnya tidak masuk ke jalur distribusi resmi, tapi masuk langsung ke pelaku usaha UMK seperti pedagang kaki lima, warung, dan katering. Pengawasan seharunya lebih baik dengan penegakan hukum yang tegas, untuk mengurungkan niat pelaku pengoplosan.

Ketiga, pengaturan penjualan produk bahan tambahan yang dikemas ulang. Umumnya, kemasan ini tidak lagi mencantumkan nama produk dan produsen bahan baku asal pada kemasannya. Produk semacam ini muncul kaarena kemasan standar umunya terlalu banyak volumenya dan relative mahal, sehingga pedagang eceran atau distributor mengemas ulang dalam kemasan-kemasan kecil. Dokumen sertifikat halal jarang disediakan pedagang atau distributor karena pembelian UMK hanya dalam jumlah kecil. Perlu breakthrough untuk memecahkan masalah ini, sehingga proses audit tidak terhambat.

Keempat, mendorong sertifikasi jasa pengolahan produk berbahan hewani, khususnya fasilitas penggilingan daging. Pada umumnya pemilik fasilitas hanya memberi jasa penggilingan daging, sedangkan daging dibawa sendiri oleh masing-masing pelanggan tanpa ada usaha penyedia jasa gilingan untuk memastikan kehalalan daging tersebut. Tidak ada jaminan daging haram tidak akan menyusup diantara daging-daging yang digiling di satu fasilitas yang sama? Berapa banyak UMK pengguna jasa penggilingan daging yang akan tercemar produknya jika titik kritis di sini tidak dipastikan kehalalannya? Perlu penyuluhan dan gerakan sertifikasi jasa penggilingan daging untuk memenuhi kebutuhan daging giling halal. Pemerintah daerah kabupaten/kota bisa punya peran besar mewujudkan hal ini.

Tantangan di Sisi Pemeriksa Halal

Dalam proses sertifikasi halal UMK, pemeriksaan dilakukan oleh auditor LPH atau pendamping PPH untuk jalur self-declare. Pada hakekatnya keduanya memiliki tugas yang sama yaitu melakukan audit. Dalam terminologi MUI, auditor adalah wakil dan saksi ulama. Auditor menjadi wakil dan saksi ulama untuk memastikan bahwa semua bahan yang digunakan dalam produksi halal telah memenuhi persyaratan kehalalan, fasilitas produksi yang digunakan bebas dari cemaran bahan haram dan najis serta memastikan bahwa pelaku usaha memahami kewajibannya dan mengetahui cara untuk menjaga kesinambungan produksi halal setelah sertifikat halal diperoleh.

Kesalahan yang dilakukan oleh auditor dalam memahami fakta dan data yang ditemukan akan menghasilkan kesimpulan hasil audit yang salah, sehingga Komisi Fatwa MUI akan menetapkan fatwa berdasarkan data yang salah. Tentunya, hal ini akan menghasilkan sertifikat halal yang tidak valid. Efek domino yang merugikan konsumen muslim harus dipertanggungjawabkan dihadapann hukum dan di akhirat kelak.

Oleh karena itu, LPH dan Lembaga Pendamping PPH memiliki tantangan besar untuk memberikan jaminan bahwa auditor dan pendamping PPH di bawah lembaganya memiliki kompetensi yang cukup. Kompetensi yang harus dimiliki setidaknya mencakup pengetahuan tentang fatwa-fatwa halal yang mendasari standar sertifikasi halal, pengetahuan tentang titik kritis keharaman bahan dan cara membuktikan kehalalannya, keterampilan mengumpulkan data dan informasi serta yang tidak kalah penting adalah attitude untuk mengutamakan kebenaran dan kejujuran dalam melakukan pekerjaannya.

Lembaga harus memiliki program yang secara terus-menerus dapat memastikan bahwa auditor dan pendamping PPH memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dan dapat terus memeliharanya. Kompetensi auditor menjadi syarat yang tidak dapat ditawar lagi. Validitas hasil audit harus didasari kemampuan auditor menganalisa data dan fakta tidak bisa hanya berdasarkan asumsi dan prasangka baik.

UMK Tak Perlu Khawatir tentang Biaya Sertifikasi Halal

Selama ini fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal UMK sudah berjalan, di mana sumber dana dapat berasal dari kementerian dan instasi pemerinah di berbagai tingkatan, juga sumber-sumber dana dari pihak swasta maupun organisasi masyarakat.

Pada 2020 BPJPH bekerjasama dengan LPPOM MUI untuk sertifikasi 3.251 UMK, dan pada 2021 BPJPH meluncurkan program sertifikasi halal gratis SEHATI 2021 bekerjasama dengan tiga Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yaitu LPPOM MUI, Sucofindo dan Surveyor Indonesia mensertifikasi 2.563 UMK.

Selain kerjasama dengan LPH, pada 2021 BPJPH juga meluncurkan program sertifikasi UMK melalui self-declare dengan target 15.000 UMK. Untuk mendukung hal ini, BPJPH menyiapkan 2.795 pendamping PPH bagi UMK yang sudah dan sedang dilatih. Mereka adalah peserta yang sudah dan sedang mengikuti pelatihan pendamping PPH yang dilaksanakan oleh BPJPH bekerja sama dengan ormas keagamaan dan perguruan tinggi.

Menilik data jumlah UMK yang telah bersertifikat halal melalui program fasilitasi BPJPH dalam dua tahun terakhir ditambah jumlah UMK di luar program fasilitasi BPJH yang tercatat di LPPOM MUI sebanyak 4.807 di tahun 2020 dan 6.663 di tahun 2021, maka target yang harus dikejar untuk memenuhi batas akhir penahapan di 2024 untuk produk makanan minuman masih jauh.

Dengan dimulainya program sertifikasi gratis untuk UMK tentunya diharapkan dapat mempercepat proses sertifikasi UMK. Hambatan biaya yang selama ini dianggap menjadi kendala utama dalam sertifikasi halal UMK dapat tertanggulangi. Namun, percepatan sertifikasi halal UMK tidak hanya ditentukan faktor biaya.

Kesungguhan pelaku usaha dan penyediaan infrastruktur halal oleh pemerintah akan menjadi faktor penentu utama kesuksesan proses sertifikasi halal. Jika seluruh tantangan ini dapat dilalui dengan baik, maka umat Islam mendapatkan keteteraman dari melimpahnya produk halal. Selain itu, pelaku UMK halal dapat menjadi lokomotif ekonomi Indonesia, bahkan berpotensi menguasai industri halal global. (*)

*Tulisan ini telah dirilis dalam Koran Kontan pada Sabtu, 15 Januari 2021.

Artikel Terbaru Lainnya

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *