Oleh : Prof. Dr. KH. Asrorun Ni’am Sholeh, Lc., M.A. (Ketua MUI Bidang Fatwa)
Dalam menjalani kehidupan, hubungan sosial dengan orang lain menjadi satu hal yang tidak dapat dihindari. Berbagai orang dengan latar berlakang agama dan suku yang berbeda akan ditemui. Toleransi menjadi kunci dalam menjaga adab hubungan antarumat beragama.LPPOM MUI mendukung hubungan yang toleransi sesuai aturan agama.
Manusia diciptakan bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan berbeda warna kulit. Seluruh perbedaan ini adalah realitas/sunnatullah dan harus disikapi dengan baik. Hal-hal yang diperoleh secara given atau ‘dari sananya’ tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk menaikkan atau merendahkan derajat seseorang.
Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (Q.S. Al-Hujurat: 13). Taqwa ini sejalan dengan upaya untuk mengejar hidayah. Hal ini dapat diusahakan oleh tiap-tiap manusia.
Perbedaan dalam beragama juga merupakan realitas yang ada di masyarakat. Sikap toleransi tanpa harus mengakui kebenaran ajaran agama lain juga menjadi hal penting. Islam memberikan tuntunan tentang menyikapi perbedaan agar mampu bersikap di pertengahan, yaitu tidak terlalu ekstrem dan tidak pula terlalu liberal. Toleransi menjadi salah ketika dikaitkan dengan ajaran agama lain karena dapat menimbulkan multitafsir.
Terdapat dua dimensi dalam umat beragama. Pertama, dimensi terkait dogma/ajaran. Pada dimensi ini, manusia harus saling menghormati dan memberikan kebebasan, serta tidak memaksa/menghalangi orang lain untuk beragama.
Kedua, dimensi terkait rasionalitas/muamalah. Dimensi ini dapat dilakukan dengan selain muslim. Adapun kewajiban umat muslim terbatas pada poin-poin yang dapat terukur, seperti (jika dalam contoh jual-beli) barangnya halal, jujur, tidak mengurangi timbangan, penjual-pembeli ridha dengan harga serta barang.
Ada beberapa contoh untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terkait toleransi di masyarakat.
Mengucap Salam
Terdapat salam memiliki dimensi muamalah, seperti “Halo…”, “Selamat pagi…”, atau “Apa kabar?”. Salam seperti ini boleh untuk diucapkan/dilakukan.
Ada pula salam dengan dimensi ibadah, seperti “Namo Buddhaya” atau “Kepada hyang widhi”. Salam yang diyakini oleh agama lain sebagai bagian dari ibadahnya maka menjadi bagian yang perlu dihindari untuk diucapkan/dilakukan oleh umat muslim.
Adanya pro-kontra dari hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI pada 28-31 Mei 2024 di Bangka Belitung mengenai salam lintas agama menjelaskan bahwa pemahaman umat mengenai toleransi ini belum mendalam dan belum memahami substansi dari salam tersebut.
Pemimpin Hadir dalam Perayaan Acara Agama Lain
Umumnya, perayaan keagamaan memiliki aspek ritual dan aspek sosial. Pada aspek ritual (aktivitas inti beribadah) tentu tidak perlu hadir. Sedangkan pada aspek muamalah, seperti ramah-tamah, umat muslim dapat hadir jika diundang/diperlukan kehadirannya.
Menghadiri Undangan Pernikahan di Tempat Ibadah Agama Lain
Pernikahan juga terdapat dua dimensi, yaitu ritual dan sosial. Pada dimensi sosial, seperti resepsi, maka boleh hadir. Meski begitu, muslim tetap perlu selektif pada sesi jamuan makan, karena sebagai muslim harus memastikan bahwa minuman dan makanan yang dikonsumsi harus terjamin kehalalannya.
Berwisata ke Tempat Ibadah Agama Selain Islam
Untuk aspek muamalah, seperti menikmati arsitektur dan budaya, hal ini diperbolehkan. Namun, jika untuk menuju ke lokasi tersebut harus melakukan ritual tertentu yang melanggar hukum Islam, seperti berdoa dengan kepercayaan lain, memberikan sajian (sesajen), atau membuka aurat, maka itu tidak diperbolehkan.
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk bersikap toleransi kepada sesama manusia. Namun, hal ini bukan menjadi alasan seorang muslim untuk melanggar syariat atau aturan Islam. Mari bijak dalam bersikap dan bertindak. Semoga Allah berkahi setiap langkah kita. (Disarikan dari Kajian Jumat LPPOM/DIL)
Sumber : Jurnal Halal Edisi 169 https://halalmui.org/jurnal-halal/169/