Titik Kritis Halal Produk Impor, Apa Dampaknya bagi End Product?

Bak buah simalakama, penundaan wajib sertifikasi halal bagi produk impor berpotensi menghambat proses sertifikasi halal BPJPH untuk produk retail (yang dijual langsung ke konsumen), sementara regulasi wajib halal terus berjalan. Hal ini membuat janji sertifikasi halal yang mudah dan cepat sulit terlaksana, termasuk bagi LPH LPPOM yang melakukan sertifikasi. Mengapa demikian? 

Pemerintah memutuskan untuk memundurkan batas akhir kewajiban sertifikasi halal bagi produk impor hingga 17 Oktober 2026. Ketentuan ini tertera dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal pada Pasal 160. Langkah ini memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat serta pelaku usaha. 

International Halal Partner LPH LPPOM, Asya Fathya N.Z., menyebutkan bahwa penundaan kewajiban sertifikasi halal bagi produk impor memiliki dampak yang kompleks. “Di satu sisi, penundaan ini memberikan waktu bagi pelaku usaha luar negeri untuk memenuhi standar halal yang ditetapkan di Indonesia. Namun, di sisi lain, penundaan ini juga menjadi peluang bagi konsumen dalam negeri untuk memilih produk lokal yang kehalalannya sudah jelas dan mudah didapat,” ungkapnya. 

Sementara itu, lanjut Asya, dari aspek persaingan bisnis, pelaku usaha dalam negeri yang tidak menggunakan bahan baku impor dapat menjadikan ini sebagai competitive advantage. Hal ini karena produk lokal terebut berpeluang lebih cepat atau telah lebih dulu mendapatkan sertifikasi halal. 

Lain halnya bagi pelaku usaha yang menggunakan bahan baku impor. Bak buah simalakama, penundaan ini berpotensi menghambat proses sertifikasi halal end product, sedangkan regulasi wajib halal terus berjalan.  

Seperti yang telah diketahui bersama, wajib sertifikasi halal bagi industri makanan dan minuman telah berlaku sejak 17 Oktober 2024 lalu. Meski belum ada tindakan tegas dari pemerintah pasca pemberlakukan regulasi tersebut, namun ketiadaan sertifikat halal pada end product memberikan risiko tinggi terhadap eksistensi bisnis.  

“Sumber bahan baku dari luar negeri sering kali memiliki standar halal yang berbeda atau bahkan tidak ada pemantauan terkait kehalalannya. Jika bahan baku yang belum jelas status halalnya digunakan oleh pelaku usaha dalam negeri, maka hal itu akan memengaruhi kehalalan produk akhirnya,” jelas Asya yang sudah berkerja di LPH LPPOM sebagai International Halal partneship sejak 2020. 

Dalam audit halal, istilah “titik kritis” menjadi sangat penting. “Titik kritis adalah poin atau aktivitas dalam proses produksi yang dapat memengaruhi status kehalalan suatu produk. Contohnya, penggunaan bahan baku yang jelas kehalalannya atau memastikan fasilitas produksi bebas dari kontaminasi bahan haram atau Najis,” papar Asya. 

Adapun titik kritis kehalalan produk impor, menurut Asya, adalah memastikan tidak adanya kontaminasi silang antara produk halal dan nonhalal, terutama di fasilitas produksi yang menangani kedua jenis produk ini. Hal ini membutuhkan identifikasi bahan, fasilitas, dan aktivitas yang dapat memengaruhi kehalalan. 

Untuk memastikan kehalalan suatu produk, terang Asya, auditor LPH LPPOM memeriksa lima kriteria dalam Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), yaitu: 1) komitmen dan tanggung jawab; 2) bahan; 3) proses produk halal; 4) produk; serta 5) pemantauan dan evaluasi. Seluruhnya harus mampu dipenuhi oleh pelaku usaha. 

Terkait dengan proses verifikasi produk impor tidak jauh berbeda dengan produk lokal. Auditor LPH LPPOM akan melakukan observasi fisik di fasilitas produksi, gudang, dan laboratorium; verifikasi dokumen dan rekaman SJPH; simulasi traceability bahan baku; wawancara untuk klarifikasi; serta kalkulasi mass balance untuk memastikan proporsi bahan halal. 

“Dalam prosesnya, LPPOM memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk memperbaiki dan menyelaraskan prosesnya dengan kriteria yang ditetapkan jika ditemukan kesenjangan antara implementasi di lapangan dan kriteria yang dipersyaratkan. Prinsipnya adalah continuous improvement,” tambah Asya. 

Meski begitu, kesadaran konsumen memainkan peran penting dalam memastikan produk yang mereka konsumsi halal. Asya menekankan pentingnya langkah proaktif, seperti memeriksa logo halal pada kemasan produk. “Pastikan logo halal sesuai dengan standar Indonesia, dan jika ragu, lakukan pengecekan di website LPPOM (www.halalmui.org) atau BPJPH (https://bpjph.halal.go.id/). Kehalalan bukan hanya soal keyakinan, tetapi juga kesehatan dan keberkahan,” tegasnya. 

Untuk memudahkan pelaku usaha dalam sertifikasi halal produknya, LPPOM membuka ruang diskusi melalui layanan Customer Care pada Call Center 14056 atau WhatsApp 0811-1148-696. Selain itu, pelaku usaha juga dapat mendalami alur dan proses sertifikasi halal dengan mengikuti kelas Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) yang diselenggarakan secara rutin setiap minggunya https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/. (YN)