Search
Search

Tiga Mitos Sertifikasi Halal

Meski Indonesia merupakan negara mayoritas Islam, proses sertifikasi halal ini kadang dirasa asing dan sulit. Ada praduga, perusahaan bersertifikat halal harus memiliki karyawan yang benar-benar alim, dan auditor akan melihat ketaatan karyawan dalam beribadah. Bagi manajemen perusahaan yang non-Muslim, mereka khawatir bahwa perbedaan identitas agama di kolom KTP, ketidaktahuan akan isi Al-Qur’an dan Hadis, serta serentetan aturan Islam, akan membuat perusahaannya tidak lolos sertifikasi halal. Artikel ini diharapkan dapat menjawab keraguan tersebut.

Semua Bahan Harus Memiliki Sertifikat Halal

Ini adalah mitos laten yang beredar di perusahaan yang belum pernah mendaftar sertifikasi halal. Mereka mengeluhkan kesulitan mencari aneka bahan, dari gula aren, hingga sayur dan buah, yang tidak memiliki sertifikat halal. Padahal, ada banyak sekali bahan yang tidak kritis dari segi kehalalan.

Contohnya saja garam yang hanya berasal dari air laut yang diuapkan atau penambangan mineral. Contoh lain adalah minyak zaitun extra virgin, yang hanya berasal dari zaitun yang di ekstrak dengan ditekan dingin (cold-pressed), tanpa bahan tambahan lain. Itulah sebabnya, LPPOM MUI menjadi lembaga sertifikasi halal pertama di dunia yang mengeluarkan daftar bahan baku tidak kritis, yang lazim disebut halal positive list.

Daftar ini sangat luas, mencakup berbagai jenis gas, logam, bahan fermentasi (seperti tempe) hingga berbagai jenis bahan kimia dan turunan tumbuhan. Daftar ini memudahkan perusahaan dan auditor untuk fokus hanya pada materi yang kritis, yang baik perlu sertifikat halal (seperti daging dan turunannya) atau yang cukup memiliki dokumen pendukung lain seperti diagram alir produksi. Dokumen pendukung selain sertifikat halal dapat digunakan untuk mengklarifikasi apakah adanya bahan yang kritis dan haram sedang digunakan, seperti agen refinasi untuk produksi minyak, yang umumnya menggunakan karbon aktif dan dapat berasal dari tulang hewan.

Fasilitas Produksi Khusus untuk Produk Halal

Ini adalah asumsi lain yang salah. Sebuah perusahaan sebenarnya dapat menggunakan fasilitas yang sama untuk menghasilkan halal dan produk non-halal. Contohnya seperti memproduksi cokelat praline isi almond (bersertifikat halal) dan isi rum (tidak bersertifikat) menggunakan cetakan yang sama.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk produksi halal tersebut. Pertama, merek produknya harus berbeda. Hal ini supaya masyarakat tidak rancu dan salah ambil saat belanja. Kedua, bahan untuk produk yang tidak disertifikasi halal dilarang berasal dari daging babi dan turunannya. Hal ini karena daging babi dan turunannya dianggap najis berat. Akibatnya, fasilitas yang kontak dengan daging babi dan turunannya harus dibersihkan secara syariah. Salah satu caranya adalah dengan dicuci air sebanyak 6x dan 1x pencucian dengan campuran air dan tanah liat atau bahan pembersih lain. Bayangkan biaya dan waktu untuk setiap pencucian sehabis menggunakan bahan babi. Belum lagi, setiap siklus produksi dengan bahan babi/turunannya berisiko meninggalkan residu (meski sudah dicuci) dan semakin lama, peluangnya semakin besar.

Jika saja terjadi kontaminasi, besar sekali kerugian produsen terkait citra buruk di masyarakat.  Terkait ini, syarat ketiga mewajibkan perusahaan kedepannya tidak akan menggunakan fasilitas produksi dengan bahan yang mengandung babi/turunannya. Selain itu, harus ada pembersihan yang cukup sehingga tidak ada kontaminasi silang dari produk non-sertifikasi. Terakhir, bahan pembersih tidak boleh berasal dari bahan najis.

Biaya Tinggi, Prosesnya Rumit

Asumsi ini kebanyakan dimiliki dari perusahaan Indonesia dan beberapa perusahaan luar negeri. Penilaian ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pengalaman dengan sistem sertifikasi lain dan ketidaktahuan. Pengalaman penulis terlibat sertifikasi ISO menunjukkan bahwa sebenarnya biaya lebih murah dan dilengkapi dengan beberapa keuntungan seperti proses online dan adanya layanan pelanggan yang bisa dihubungi via WhatsApp dan hotline. Pembayaran juga mudah karena perusahaan dapat mengisi kartu kredit, mirip dengan membeli barang online di marketplace. Sertifikat ini termasuk yang diakui di dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dari besarnya animo perusahaan luar negeri yang menggunakan sertifikasi halal MUI. (RR)

Sumber foto: fiforlife.co.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *