Oleh : Khaswar Syamsu, Kepala Pusat Sains Halal (Halal Science Center) IPB University dan Muti Arintawati, Direktur Utama LPPOM
UMK merupakan salah satu pilar yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Bagaimana sertifikasi halal berperan dalam pengembangan usaha UMK?
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMK) saat ini mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 61,07% atau senilai 8.573,89 triliun rupiah. Kontribusi UMK terhadap perekonomian Indonesia dalam kemampuan menyerap tenaga kerja mencapai 97% dari total tenaga kerja yang ada serta dapat menghimpun sampai 60,4% dari total investasi.
Ini menunjukkan besarnya potensi yang bisa digali untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia, terutama setelah deraan pandemi COVID-19. Di sisi lain, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang mewajibkan sertifikat halal bagi seluruh produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Produk dari skala UMK tidak dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal.
Sayangnya, sertifikasi halal bagi UMK tak selalu mulus. Ada sejumlah tantangan dalam mewujudkan UMK sebagai ujung tombak perbaikan dan pengembangan ekonomi Indonesia. Utamanya terkait dengan jaminan pasokan bahan halal, kapasitas sumber daya manusia (SDM) penjamin halal, dan aspek pembiayaan untuk sertifikasi halal.
Jaminan Ketersediaan Pasokan Bahan Halal
Produk halal hanya dapat dihasilkan dari bahan bahan (bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong) yang halal dan diproses pada fasilitas produksi yang bebas dari cemaran bahan haram dan najis. Karena itu, sertifikasi halal perlu memprioritaskan bahan-bahan kategori kritis di hulu yang digunakan oleh UMK di hilir, seperti produk sembelihan (daging maupun turunannya).
Berdasarkan kajian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah dan Pusat Sains Halal IPB University (2021), jumlah Rumah Pemotongan Hewan (RPH)/Rumah Pemotongan Unggas (RPU) yang sudah bersertifikat halal masih rendah, yaitu kurang dari 15% dari total 1329 RPH/ RPU di seluruh Indonesia. Padahal, RPH/U merupakan mata rantai pertama dalam rantai pasok halal.
Angka tersebut akan lebih rendah lagi bila juga mengikutkan data Tempat Pemotongan Hewan (TPH) dan Tempat Pemotongan Unggas (TPU) untuk pasar tradisonal yang hanya memerlukan luasan yang kecil dari lingkungan perumahan sampai pasar. Rendahnya jumlah RPH/RPU bersertifikat halal akan menyulitkan ketersediaan bahan halal dan ketertelusuran kehalalan bahan yang digunakan UMK.
Pada gilirannya, tentu ini akan menyulitkan sertifikasi halal UMK, khususnya yang menggunakan bahan daging dan/atau turunan daging sebagai bahan paling kritis dalam sertifikasi halal. Dukungan Pemerintah Daerah dan Kementerian Pertanian sangat penting untuk menggerakkan sertifikasi halal RPH/RPU di tiap daerah.
Produk hulu lain—seperti gula, minyak, terigu, saus, tepung, perisa (flavor)— yang digunakan UMK sebagai bahan baku dan bahan tambahan dihasilkan oleh industri-industri besar di Indonesia yang umumnya sudah memiliki sertifikat halal. Apabila ada jaminan ketersediaan pasokan bahan halal untuk UMK, maka sebagian besar tantangan dalam sertifikasi halal UMK dapat diselesaikan.
Untuk menjawab tantangan ini, perlu ada suatu Pusat Distribusi Pangan Halal (Halal Food Distribution Center) di setiap daerah. Pusat distribusi pangan halal ini juga harus didukung oleh tersedianya fasilitas RPH/RPU Halal dari sentra-sentra produksi ternak daerah sekitarnya.
Pembinaan Sumber Daya Manusia
Berbeda dengan Usaha Besar, UMK memiliki keterbatasan jumlah dan kapasitas SDM. Untuk menjamin kehalalan produk secara konsisten dan berkesinambungan, diperlukan penyelia halal (halal supervisor) yang kompeten, minimal satu orang untuk setiap UMK Halal.
Kompetensi yang harus dimiliki mencakup pengetahuan tentang fatwa-fatwa halal yang mendasari standar sertifikasi halal, pengetahuan tentang titik kritis keharaman bahan dan fasilitas produksi, serta cara menyiapkan daftar bahan halal beserta dokumen pendukung yang valid. Perencanaan, pelaksaaan dan evaluasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) untuk penjaminan proses produksi halal secara konsisten dan berkesinambungan juga menjadi satu hal yang harus dimiliki.
Dalam banyak kasus, UMK tidak mampu menyediakan SDM Halal yang kompeten. SDM yang ada pun memerlukan pelatihan bahkan pembimbingan dan pendampingan untuk memahami persyaratan dan prosedur sertifikasi halal serta menyiapkan persyaratan sertifikasi halal yang tercantum dalam SJPH. Hal ini dapat dilakukan oleh perguruan tinggi melalui Halal Science Center (HSC) atau lembaga pelatihan lain yang kompeten.
Untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) dalam menghadapi persaingan global, UMK juga perlu diberikan edukasi pembiayaan dan penggunan platform digital syariah, keamanan pangan (food safety), hygiene (good manufacturing practice), pengembangan aplikasi digital untuk rantai nilai hulu hilir, hingga pemasaran secara digital/online (e-commerce). Oleh sebabnya, Pusat UMK Halal dan Cerdas (Smart and Halal UMK Center) diperlukan untuk mengintegrasikan antara pelatihan, pembimbingan, dan pendampingan pada aspek halal, thayyib, keuangan syariah, dan aplikasi digital di era industri 4.0.
Aspek Pembiayaan
Cash flow dan keuntungan UMK relatif lebih kecil dibanding usaha skala besar. Ini menjadi alasan bagi UMK enggan mengurus sertifikasi halal produknya atau berkeberatan untuk membayar biaya sertifkasi halal.
Proses sertifikasi halal tentu saja memerlukan biaya. Perlunya pelatihan penyelia halal (halal supervisor) untuk menyiapkan SDM yang bertanggung jawab dalam proses produksi halal yang konsisten dan berkesinambungan. Kemudian, proses audit oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) berupa verifikasi ke lapangan. Terkadang, perlu pengujian laboratorium terhadap bahan dan produk, serta biaya administrasi lainnya.
Proses pemeriksaan dan pengujian kehalalan UMK dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) untuk pendaftaran secara umum/regular dan pernyataan mandiri pelaku usaha (self-declare) dengan didampingi oleh Pendamping Proses Produk Halal (PPPH) bagi yang memenuhi persyaratan. Hal ini diatur dalam Pasal 79 PP No. 39/2021 dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.
Tidak dapat dimungkiri, keduanya tetap memerlukan pembiayaan. Untuk mengatasi permasalahan pembiayaan, pemerintah telah menyediakan fasilitas pembiayaan sertifikasi halal gratis bagi UMK yang memenuhi syarat, sesuai Pasal 81, ayat 1 PP No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Pemerintah mensubsidi biaya sertifikasi halal UMK dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sayangnya, sumber dana APBN yang juga terbatas dikhawatirkan tidak menjamin kecukupan anggaran untuk menutupi biaya sertifikasi halal seluruh UMK di Indonesia. Potensi sumber dana lain yang mungkin dapat digali adalah anggaran pengembangan UMK dari kementerian dan instansi pemerintah terkait di berbagai tingkatan, sumber-sumber dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari BUMN dan usaha/industri skala besar, serta bantuan dari organisasi kemasyarakatan Islam.
Apabila seluruh tantangan dalam proses sertifikasi halal UMK ini dapat diatasi, maka kita boleh berharap UMK Halal menjadi motor penggerak perbaikan dan pengembangan ekonomi Indonesia, sekaligus menjadi ujung tombak andalan untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat halal dunia. Insya Allah. (***)