• Home
  • Artikel Halal
  • Tanya Expert Part 2 – Dari Titik Kritis Hingga Ketersediaan Bahan Baku Obat 
Tanya Expert Part 2 Dari Titik Kritis Hingga Ketersediaan Bahan Baku Obat

Dr. Priyo Wahyudi, M.Si 

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) mewajibkan obat-obatan memiliki sertifikasi halal sebagai bentuk upaya Pemerintah memberikan ketenteraman kepada masyarakat, khususnya muslim di Indonesia. Obat-obatan penting didorong bersertifikat halal karena memiliki titik kritis yang besar. Selain itu, ketersediaan bahan baku halal untuk obat di Indonesia masih sangat sedikit.

Untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai tantangan sertifikasi halal untuk obat-obatan, majalah Jurnal Halal mewawancarai Dr. Priyo Wahyudi, M.Si, dosen Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA) Jakarta. Beliau menjabat sebagai Laboratory Service Expert di LPPOM MUI. Selain itu, Dr. Priyo juga mempunyai pengalaman sebagai Peneliti Ahli Utama bidang Bioteknologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (1995-2021) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) (2021-2022). Berikut petikannya:  

Unsur apa saja yang membuat obat berpotensi tidak halal?  

Produk halal didefinisikan sebagai produk yang dihasilkan dari bahan halal dan diproses di fasilitas yang bebas najis. Produk halal hanya dapat dihasilkan jika berasal dari bahan halal, yaitu bahan yang bersumber halal, tidak bercampur atau terkontaminasi najis. Fasilitas produksi yang berkontak dengan bahan dan produk harus bebas najis. 

Apa saja titik kritis haram pada produk obat dan farmasi?  

Obat merupakan produk yang wajib disertifikasi halal menurut UU No. 33 Tahun 2014 tentang JPH. Hal ini karena produk obat mempunyai titik kritis haram, baik pada bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu proses, maupun fasilitas produksi dari kontaminasi najis/bahan haram. Sebagai contoh obat bentuk sediaan kapsul keras ataupun kapsul lunak, yang mengandung gelatin.  

Gelatin adalah salah satu bahan kritis karena dibuat dari bahan turunan hewan sembelihan, yaitu tulang atau kulit. Bahan baku pembuat gelatin harus berasal dari hewan halal yang disembelih secara syar’i. Selain sumber tulang yang halal sebagai bahan baku, fasilitas produksi juga harus terjamin tidak pernah berkontak dengan babi.  

Selain itu, produksi bahan aktif farmasi yang tergolong sebagai bahan mikroba juga perlu diperhatikan, contohnya adalah antibiotic amoksilin. Titik kritis produk mikrobial yang dihasilkan melalui proses fermentasi terletak pada sumber mikroba, bahan media pertumbuhan, semua bahan yang berkontak secara langsung selama proses pengolahan (bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan).  

Sumber mikroba yang digunakan harus dipastikan tidak membahayakan dan tidak tercampur dengan Najis. Sementara itu, jika merupakan mikroba rekombinan (hasil rekayasa genetika), maka sumber gennya tidak boleh berasal dari babi dan/atau manusia.  

Bahan untuk media pertumbuhan mikroba, bahan tambahan dan/atau bahan penolong dipersyaratkan tidak berasal dari babi dan turunannya. Produk mikroba yang digunakan sebagai bahan baku, bahan aktif, bahan tambahan, dan/atau bahan penolong proses produk obat halal harus memenuhi persyaratan suci atau bebas dari najis. 

Apa saja yang diperiksa saat pemeriksaan kehalalan produk obat? Haruskah melalui pengujian laboratorium? Bagaimana peran laboratorium dalam sertifikasi halal obat? 

Pengetahuan titik kritis haram bahan obat dilakukan melalui pemeriksaan dokumen sertifikat halal bahan, atau melalui pemeriksaan dokumen pen dukung bahan yang mencakup diagram alir proses, sertifikat hasil analisis (CoA), komposisi, pernyataan fasilitas bebas babi, dan spesifikasi produk. UU JPH mengatur bahwa pengujian laboratorium diperlukan jika dalam hal pemeriksaan produk terdapat bahan yang diragukan kehalalannya. Pengujian laboratorium diperlukan untuk autentifikasi kehalalan bahan atau produk yang mengandung bahan hewan, seperti gelatin, kolagen, ekstrak plasenta, atau chondroitin.  

Salah satu persyaratan mendirikan Lembaga Penelitian Halal (LPH) adalah memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium pengujian halal. LPPOM sebagai salah satu LPH mempunyai laboratorium terakreditasi SNI ISO/IEC 17025: 2017 sejak tahun 2016, menjadi laboratorium pengujian halal pertama di Indonesia. 

Benarkah bahan baku obat saat ini masih harus impor? Apa implikasinya bagi proses sertifikasi halal?  

Terkait bahan baku obat, dapat kita sampaikan gambaran untuk obat hipertensi saja. Hipertensi disebut sebagai silent killer dengan prevalensi 26,5% (tahun 2023) telah berkurang dari 34,1% (tahun 2018), artinya 3 dari 10 orang menderita hipertensi. Jadi kalau kita hitung, sekitar 70 – 80 juta lebih penduduk Indonesia (270 juta) menderita hipertensi.  

Obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi adalah Amlodipin, yang termasuk dalam golongan Calcium channel blocker. Obat ini bekerja dengan cara melemaskan dan memperlebar pembuluh darah, sehingga menurunkan tekanan darah dan membuat jantung lebih mudah memompa darah. Dari data produsen bahan Amlodipin yang terekam di CEROL (terdaftar di LPH LPPOM per Maret 2024) yang berasal dari India itu ada 12 produsen, Spanyol 1 produsen, China 1 produsen, dan Indonesia 1 produsen.  

Contoh kedua, yaitu Obat Kolesterol, yaitu Atorvastatin yang menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL) dan lemak jahat (trigliserida) dalam darah dapat mencegah dan mengurangi kemungkinan untuk terserang penyakit jantung dan stroke. Prevalensi kolesterol orang Indonesia adalah 28%. Bahan baku Atorvastatin baru bisa diproduksi di PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia, selebihnya diimpor dari India, China, dan Israel.  

Contoh ketiga adalah bahan baku antibiotik. Salah satu antibiotik yang tingkat penggunaannya di Indonesia tinggi adalah Amoxicillin trihydrate, di impor dari China ada 5 produsen dan India ada 2 produsen. Belum ada produsen Amoxicillin di Tanah Air. Belum lagi antibiotik Cefalosporin yang mempunyai beberapa generasi, yaitu:  

  1. Cefalosporin generasi 1: Cefadroxil, Cefalecin, Cefazolin  
  1. Cefalosporin generasi 2: Cefuroxim, Cefprozil, Cefaclor  
  1. Cefalosporin generasi 3: Cefotaxim, Cefixime, Ceftriaxone, Cefoperazone, Ceftazidime  
  1. Cefalosporin generasi 4: Cefepime, Cefpirome (sediaan injeksi) 
  1. Cefalosporin generasi 5: Ceftaroline fosamil, Ceftolozane/Tazobactam (sediaan injeksi)  

Semuanya masih impor. Implikasi terhadap sertifikasi halal sebenarnya tidak begitu menjadi kendala, karena umumnya proses produksi bahan baku obat tersebut memenuhi standar tinggi dan produsen mampu memenuhi kecukupan dan validitas dokumen pendukung kehalalannya.  

Yang sering dikeluhkan sebagai salah satu kendala penyediaan obat halal adalah ketersediaan bahan baku. Bagaimana ketersediaan bahan baku obat di dalam negeri?  

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI secara komprehensif bersama industri bahan baku obat nasional dan industri farmasi nasional terus mengupayakan peningkatan kemampuan produksi bahan baku obat menuju kemandirian dan mewujudkan ketahanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Target Kemenkes adalah mampu meningkatkan jumlah produk obat dengan TKDN lebih dari 52% yang menjadi prioritas dalam penga daan khususnya pengadaan barang/ jasa pemerintah. Namun kenyataan di lapangan, belum didapatkan bukti nyata penyediaan bahan baku farmasi dalam negeri tersebut. Para produsen obat nasional masih mengimpor hampir seluruh bahan baku farmasi (bahan aktif dan eksipien).  

Bagaimana seharusnya pemerintah menempuh kebijakan dalam mendorong ketersediaan bahan obat halal di dalam negeri?  

Untuk memperkuat ketahanan industri farmasi, pemerintah perlu fokus pada industri kimia di hulu. Kemenkes sejak 2022 telah menfasilitasi change source penggunaan bahan baku obat dalam negeri melalui produksi lokal pada fasilitas PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia.  

Saat ini, Indonesia masih dominan bergantung pada impor dalam hal ba han baku obat. Menurut Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), 90% bahan baku obat di Indonesia masih diperoleh dari luar negeri. Dari 10 bahan aktif obat yang merupakan kebutuhan terbesar dalam negeri, hanya empat obat yang dapat diproduksi di dalam negeri, yaitu Paracetamol, Clopidogrel, Omeprazole, dan Atorvastatin oleh Kimia Farma Sungwun Pharmacopeia. Sementara itu, bahan aktif obat-obat seperti Cefixime, Amlodipine, Candesartan Cilexetil, Bisoprolol, Lansoprazole, dan Ceftriaxone belum dapat diproduksi di dalam negeri. (***)