Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan pernyataan terkait dengan pengunduran masa tenggang #WHO2024 (Wajib Halal Oktober 2024) bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) sektor makanan dan minuman yang sebelumnya turut terkena wajib sertifikasi halal pada Oktober 2024. Kewajiban ini akan mencakup bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong dalam industri makanan dan minuman, termasuk jasa terkait . Hal ini disampaikan usai Rapat Internal Percepatan Kewajiban Sertifikasi Halal dan Perkembangan RPP Jaminan Produk Halal di Jakarta, pada Rabu, 15 Mei 2024 lalu.
Dilansir dari website resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH sejak 2019 untuk semua jenis produk yang baru mencapai 4.418.343 produk (per 15 Mei 2024) dari target BPJPH 10.000.000 produk, sehingga total baru tercapai 44,18 persen. Sedangkan total jumlah UMK yang ada sekitar 28 juta unit usaha. Oleh karena itu, Presiden Jokowi memutuskan pengunduran wajib halal untuk UMK makanan dan minuman dari 2024 menjadi 2026.
“Itu disamakan dengan obat tradisional, herbal dan yang lain. Kemudian produk kosmetik juga 2026. Kemudian aksesoris, barang gunaan rumah tangga, berbagai alat kesehatan, dan juga terkait dengan halal yang lain yang berlakunya 2026. Jadi khusus UMKM itu digeser ke 2026,” tutur Airlangga.
Menanggapi hal ini, Direktur Utama LPPOM, Muti Arintawati, menyampaikan bahwa keputusan pemerintah ini pasti akan melegakan banyak pihak yang concern dengan nasib UMK. Melihat jumlah pelaku usaha dan sisa waktu penerapan wajib halal Oktober 2024, harus diakui bahwa UMK akan sulit dapat memenuhi tenggat waktu, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kelangsungan bisnis. Meski begitu, penundaan ini tentunya tidak menjadikan UMK bisa berleha-leha. Untuk sampai ke Oktober 2026, perlu dibuat program dan target antara yang diterapkan secara tegas. Sehingga, pelaku usaha tidak menunda-nunda pengurusan sertifikat halal dan menunggu akhir masa penahapan. Hal ini tentu memerlukan sosialisasi secara masif.
LPPOM menekankan bahwa prioritas target kategori wajib halal hendaknya tidak hanya menimbang skala usahanya semata, melainkan juga fokus ke tingkat kekritisan produknya. Jika produk kritis tersebut merupakan bahan baku untuk membuat produk lain, maka luasnya cakupan penggunaan bahan ini juga perlu jadi perhatian.
“Kita perlu melihat secara jeli akar masalah yang ada. Yang disoroti hendaknya tidak sekadar skala usaha di sektor UMK, melainkan perlunya fokus ke pelaku usaha yang memasok bahan yang tergolong kritis dan dipakai di industri lain; terlepas dari skala bisnis pelaku usahanya. Hal ini karena pasokan bahan dan jasa terkait makanan minuman tidak hanya dari pelaku usaha besar, namun juga dapat berasal dari pelaku usaha yang masuk dalam kategori kecil dan mikro,” terang Muti.
Terkait daging, misalnya. Ketersediaan produk sembelihan yang dihasilkan oleh Rumah Potong Hewan/Unggas (RPH/U) menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Pasalnya, daging dan turunannya digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk usaha kuliner. Di sisi lain, tidak semua produk sembelihan dihasilkan oleh pelaku usaha menengah dan besar. Banyak daging yang dipasok oleh rumah potong yang tergolong usaha mikro dan kecil (UMK), termasuk yang dihasilkan oleh Tempat Penyembelihan Unggas (TPU) yang ada di pasar dan pemukiman. Kelonggaran UMK tanpa disertai komitmen halal yang serius akan memperlama ketersediaan daging halal, yang akhirnya menghambat usaha lain yang menggunakan daging yang dibeli dari dari pelaku usaha UKM.
Selain itu, produk kemas ulang ukuran kecil untuk bumbu dan bahan kue (termasuk untuk bahan impor) banyak juga dilakukan oleh UMKM. Adapula jasa terkait makanan dan minuman yang juga banyak dioperasikan oleh UMKM, seperti penjualan dan penggilingan daging.
“Ketersediaan bahan dan jasa yang halal, akan memudahkan pelaku UMKM dalam membuat produk akhir makanan dan minuman yang halal. Ini seperti efek domino. Jika persoalan di hulu selesai, maka sebagian besar persoalan kehalalan produk di Indonesia juga akan rampung. Proses sertifikasi halal produk juga akan lebih mudah dan jaminan kehalalannya dapat dipertanggungjawabkan,” jelas Muti Arintawati.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk tetap fokus pada penyelesaian permasalahan halal di sektor hulu terlebih dahulu baik yang diproduksi oleh perusahaan besar, menengah maupun UMK. Sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), LPPOM siap mendorong pemerintah dalam menyukseskan implementasi regulasi wajib halal yang dicanangkan Pemerintah demi terwujudnya cita-cita Indonesia menjadi pusat halal dunia. Aksi nyata LPPOM dalam mendorong hal tersebut diwujudkan dalam berbagai program.
Salah satunya, pelaksanaan program Festival Syawal sebagai bentuk kepedulian LPPOM kepada UKM. Tahun ini, LPPOM telah memberikan fasilitasi sertifikasi halal reguler secara mandiri kepada sejumlah 125 UKM, 85 UKM diantaranya berasal dari 5 Destinasi Super Prioritas (DSP). Sebanyak 42 UKM di Labuan Bajo, 10 UKM di wilayah Danau Toba, 8 UKM di wilayah Borobudur, 6 UKM di wilayah Likupang, dan 20 UKM di wilayah Mandalika. Sebanyak 40 lainnya tersebar di berbagai Provinsi di Indonesia.
“Jumlah ini memang sangat kecil dibanding target dan jumlah UKM yang tersebar di Indonesia. Namun, melalui Festival Syawal, kami yakin LPPOM mampu menjadi katalisator yang akan mempercepat proses pertumbuhan industri halal di Indonesia,” tegas Muti Arintawati. (***)