Search
Search

Tak Hanya Obat, Alat Kesehatan Juga Perlu Sertifikasi Halal

Status halal atau haram suatu bahan tidak seluruhnya dicantumkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits. Karena itu, perlu peninjauan lebih dalam untuk mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan haram atau najis.

Seperti yang kita ketahui, setelah melalui berbagai tahapan proses dengan teknologi tertentu, kandungan suatu produk tak lagi dapat terlihat secara kasat mata. Tak heran, hampir setiap produk memiliki titik kritis, yakni potensi yang menyebabkan produk berstatus tidak halal.

“Uji lab bukanlah alat utama untuk menentukan status halal suatu produk. Bisa jadi di produk akhir tidak ada bahan najis. Tapi kalau kita ikuti prosesnya, bisa saja kita menemukan material turunan babi yang terlibat dalam produksi tersebut,” papar Direktur Pelayanan Audit Halal, Dr. Ir. Muslich, M.Si. 

Selain dari obat-obatan, alat kesehatan juga menjadi satu hal yang tak dapat luput dari sertifikasi halal. Hal ini berangkat dari regulasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). 

Pasal 4 dalam UU tersebut menyebutkan bahwa produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Salah satu yang dimaksud dengan produk adalah barang gunaan. Alat kesehatan termasuk dalam kategori ini.

(Baca juga: Empat Alasan Obat Perlu Disertifikasi Halal)

“Ada beberapa alat kesehatan yang penggunaannya dimasukkan ke dalam tubuh. Contohnya ring jantung atau benang operasi yang terkadang berasal dari hewani,” ungkap Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS.

Ada banyak bahan kritis dalam produksi obat maupun alat kesehatan. Titik kritis harus diverifikasi dan dinilai pemenuhannya terhadap standar sertifikasi. Hal ini dapat dilihat dari material yang digunakan, proses produksi, sampai fasilitas yang digunakan. 

Dalam produksi obat, material yang umum digunakan diantaranya bahan aktif, eksipien, bahan penolong, cleaning agent, dan media validasi hasil pencucian. Pada proses obat bentuk sediaan eliksir, misalnya, menggunakan etanol. Ada dua tipe etanol. Dari industri minuman keras, hukumnya najis dan haram. Sedangkan etanol dari sumber yang lain, misal fermentasi jagung, hukumnya suci.

“Contoh lainnya, obat bentuk larutan ada penggunaan sirup yang sudah pasti menggunakan flavour. Nah, flavour ini materialnya bisa banyak, mungkin bisa terdiri dari 70 bahan. Kita tidak bisa melihat semuanya di label, sehingga perlu pengetahuan tentang proses dan materialnya,” terang Muslich.

Bentuk sediaan padatan, lanjutnya, seperti kapsul juga memiliki titik kritis yang tinggi. Penggunaan cangkang kapsul mayoritas bersumber dari gelatin. Sumber terbesar gelatin berasal dari kulit atau tulang sapi atau babi. Beberapa pihak mengklaim dapat memproduksi gelatin dari ikan atau rumput laut, meski begitu porsinya masih terbilang sangat kecil.

Begitupun dengan padatan tablet, salah satu bahan penolong yang digunakan adalah magnesium stearat. Sumber asam stearat yang digunakan dapat berasal dari hewani atau nabati. Jika berasal dari hewani, maka harus dipastikan berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariah.

(Baca juga: Menjamin Obat Halal, Kemenkes Dorong Industri Farmasi Indonesia Produksi Bahan Baku Sendiri)

Hal yang jarang disadari industri farmasi adalah titik kritis pada media validasi. Menurut Muslich, pada beberapa kasus produksi vaksin menggunakan media pertumbuhan bibit vaksin yang salah satu komponennya berasal dari babi. Hal serupa juga sering terjadi saat proses produksi produk mikrobial yang umumnya menggunakan media pertumbuhan, seperti obat untuk stimulasi pembentukan sel darah merah dan glikoprotein.

“Pada produk akhir memang tidak akan ditemukan DNA babi, tapi produk tersebut telah bersinggungan dengan bahan haram yang menjadikannya terkontaminasi. Proses ini yang paling lazim, kita akan memperhatikan apakah najis ini dapat disucikan pada proses selanjutnya dengan pensucian secara syariah,” jelas Muslich.

Begitu pun dengan fasilitas produksi. Utamakan memisahkan fasilitas unutk memproduksi produk halal dengan bahan haram. Menurut fatwa MUI, semua fasilitas yang kontak dengan bahan atau produk harus bersifat bebas dari najis. Jika pernah terkena najis, maka harus dilakukan pensucian secara syariah. (YN)

Simak video Webinar Halal Series LPPOM MUI: “Obat Halal, Darurat Sampai Kapan?”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.