Search
Search

Tak Cukup Label, Inilah Pentingnya Ketertelusuran Digital bagi Industri Halal

  • Home
  • Artikel Halal
  • Tak Cukup Label, Inilah Pentingnya Ketertelusuran Digital bagi Industri Halal
Tak Cukup Label, Inilah Pentingnya Ketertelusuran Digital bagi Industri Halal

Di tengah meningkatnya kesadaran umat Islam terhadap pentingnya informasi kehalalan yang menyeluruh bukan sekedar label atau keterangan halal muncullah kebutuhan akan sistem yang mampu menelusuri informasi status kehalalan di sepanjang rantai pasok produk secara transparan. Halal Food Traceability System (HFTS) mencoba hadir sebagai jawaban atas keresahan itu. Namun, bagaimanakah penerimaan masyarakat atas aplikasi yang memanfaatkan teknologi digital ini?

Bayangkan Anda sedang berdiri di depan rak daging ayam di supermarket. Di kemasan tertulis “Halal”, tapi benarkah proses penyembelihan, pengemasan, hingga distribusinya telah mengikuti syariat? Pertanyaan semacam ini semakin sering muncul di benak konsumen Muslim, terutama di tengah maraknya kasus penyimpangan seperti pencampuran daging halal dengan bahan haram, atau penggunaan ayam tiren. Di era informasi seperti sekarang, umat Islam tak lagi hanya puas dengan label atau keterangan halal, apalagi hanya berbasiskan klaim sepihak dari pelaku usaha mereka menuntut transparansi. 

Inilah yang mendorong munculnya konsep Halal Food Traceability System (HFTS) sebuah sistem yang memungkinkan konsumen menelusuri seluruh mata rantai proses sebuah produk, dari hulu ke hilir. Melalui teknologi digital, sistem ini menyajikan informasi rinci mulai dari asal bahan baku, proses penyembelihan, proses pengolahan produk, pengemasan, penyimpanan hingga distribusi. Bagi konsumen Muslim, sistem ini bisa menjadi jawaban atas keresahan akan kebenaran informasi kehalalan suatu produk yang tidak hanya sah di atas kertas, tetapi juga tertelusur dan terjamin sepanjang prosesnya. 

Namun, bagaimana penerimaan masyarakat Indonesia kalau sistem ini diterapkan? Terutama, bagaimana sikap generasi muda Muslim terhadap HFTS yang memang sudah tinggi literasi digitalnya? Dan siapa yang bisa dipercaya untuk menyajikan informasi halal yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan? Riset terbaru dari tim peneliti Universitas Diponegoro yang melibatkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan penting ini dengan pendekatan ilmiah dan analisis mendalam. 

Mengapa Sistem Ketertelusuran Halal Dibutuhkan? 

Di tengah kompleksitas rantai pasok makanan saat ini, umat Muslim dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana memastikan makanan yang dikonsumsi  terjamin kehalalannya dari hulu ke hilir? Kasus-kasus seperti pencampuran daging halal dengan babi, penggunaan ayam tiren, hingga penyalahgunaan label halal menjadi alarm bagi konsumen bahwa kehalalan tidak bisa sekadar diwakili oleh stempel di kemasan. 

Kasus-kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan informasi kehalalan produk atau penyembunyian informasi ketidakhalalan sebagai salah satu faktor yang menggerakkan munculnya  gagasan Halal Food Traceability System (HFTS) atau sistem ketertelusuran halal. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya sistem ini memungkinkan konsumen untuk menelusuri informasi sepanjang rantai pasok dari asal-usul bahan  hingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen—secara digital. Dengan sistem ini, konsumen dapat mengetahui apakah suatu produk sudah mematuhi aturan dan protokol halal. 

Namun, meskipun Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sistem semacam ini hingga saat ini memang belum menjadi prioritas untuk diadakan. Oleh karena itu konsep ini belum banyak diketahui masyarakat apalagi menyadari arti penting keberadaannya.  

Padahal, sistem semacam ini juga dapat akan menjawab atas kebutuhan akan informasi produk yang tidak hanya halal, tetapi juga aman, bersih, dan transparan. Di sinilah letak pentingnya perlu mengadakan riset untuk menjawab apakah sistem ini memang sudah diperlukan pada saat ini sekaligus memahami apa faktor pendorong (atau malah penghambat) masyarakat untuk bisa menerima sistem seperti HFTS. 

Apa yang Ditemukan Riset Ini? 

Penelitian yang dilakukan oleh Aries Susanty dan tim dari Universitas Diponegoro bekerja sama dengan pakar dari LPPOM MUI, menyelidiki sejauh mana masyarakat Indonesia bersedia menggunakan sistem ketertelusuran halal. Mereka menggunakan dua pendekatan ilmiah: Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT) dan DeLone & McLean IS Success Model. Dengan kata lain, mereka tidak hanya menilai dari sisi teknologi, tetapi juga dari persepsi dan kepercayaan pengguna. 

Riset ini melibatkan 255 responden berusia 17–42 tahun, yang merepresentasikan generasi Z dan milenial—kelompok yang paling aktif dalam konsumsi digital dan menjadi sasaran utama industri halal masa depan. Hasilnya menunjukkan bahwa niat untuk menggunakan sistem HFTS sangat tinggi. Ada empat faktor utama yang mendorong mereka, yaitu: 

  • Performance Expectancy: Mereka percaya sistem ini bermanfaat dan akan membantu mendapatkan informasi produk halal secara efisien. 
  • Effort Expectancy: Sistem dianggap mudah digunakan, tidak membingungkan. 
  • Social Influence: Dukungan dari keluarga, teman, dan tokoh agama mendorong minat mereka untuk menggunakan sistem ini.  
  • Trust: Inilah kunci utama. Kepercayaan terhadap informasi dan lembaga penyedia sistem menjadi penentu. 

Yang menarik, kepercayaan muncul sebagai elemen paling berpengaruh. Tanpa rasa percaya terhadap sistem, pengguna tidak akan tertarik, sebaik apa pun teknologinya. Karena itu, penyedia sistem harus fokus membangun kredibilitas, bukan hanya kemudahan. 

Lebih jauh, sistem ketertelusuran halal tidak hanya menjawab kebutuhan spiritual umat Islam, tetapi juga mendukung gerakan sustainability global. Dengan sistem ini, rantai pasok menjadi lebih efisien, limbah bisa dikurangi, dan transparansi bisa mengurangi potensi penipuan. Halal, dalam konteks ini, menjadi jalan menuju konsumsi yang bertanggung jawab, bersih, dan berkelanjutan. 

Sistem ketertelusuran halal adalah masa depan industri halal. Ia menjawab tantangan zaman, memadukan nilai-nilai Islam dengan kecanggihan teknologi. Namun, keberhasilannya bergantung pada satu hal: kepercayaan. Sudah saatnya konsumen Muslim tidak hanya menjadi penerima pasif informasi, tetapi juga pengambil keputusan yang aktif dengan data, dengan keyakinan, dan dengan teknologi di tangan. Karena halal bukan hanya soal label, tetapi juga soal proses. Dan proses itu kini bisa kita telusuri secara digital, transparan, dan terpercaya. (***)  

Referensi : 

Aries Susanty, Nia Budi Puspitasari, Ferry, Fauzan Akbar Akhsan, Sumunar Jati. 2025. Consumer acceptance of halal food traceability systems: a novel integrated approach using modified UTAUT and DeLone & McLean models to promote sustainable food supply chain practices. ELSEVIER. Cleaner Logistics and Supply Chain 15 (2025) 100226.