Search
Search

Tak Cukup Aspek Bahan, Ini Proses Audit Halal Restoran yang Jarang Diketahui

  • Home
  • Artikel Halal
  • Tak Cukup Aspek Bahan, Ini Proses Audit Halal Restoran yang Jarang Diketahui
Tak Cukup Aspek Bahan, Ini Proses Audit Halal Restoran yang Jarang Diketahui

Sertifikasi halal restoran ternyata jauh lebih dari sekadar memastikan bahan makanan bebas dari unsur haram dan najis. Di balik label halal yang tercetak di pintu masuk atau menu restoran, terdapat proses audit yang kompleks dan menyeluruh—melibatkan pemeriksaan fasilitas, perilaku karyawan, hingga peran pelanggan. Inilah fakta-fakta di balik layar yang jarang diketahui publik, namun menentukan kehalalan setiap hidangan yang tersaji di meja Anda.

Selama ini, publik sering kali menyederhanakan makna “halal” dalam industri kuliner: asalkan tidak mengandung produk olahan babi atau minuman beralkohol, maka dianggap aman. Padahal, realitas di balik proses sertifikasi halal jauh lebih luas dari sekadar kehalalan bahan. Sertifikasi halal bukan hanya bicara tentang bahan, tetapi juga sistem. Dan sistem ini melibatkan banyak aspek yang jarang diketahui. 

Di Indonesia, proses sertifikasi halal dikoordinasikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai regulator dan penerbit sertifikat halal. Namun, proses pemeriksaan kehalalan dengan skema reguler dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), salah satunya LPPOM. 

Banyak yang masih beranggapan bahwa sertifikasi halal hanya berfokus pada bahan dan produk. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks. Sertifikasi halal untuk restoran menuntut pemenuhan standar secara menyeluruh mulai dari sistem pengadaan bahan, proses produksi di dapur dan outlet, fasilitas yang digunakan, sikap dan perilaku karyawan hingga keterlibatan pelanggan dalam menjaga konsistensi kehalalan. 

Proses sertifikasi halal melibatkan audit teknis yang ketat dan terstruktur. Oleh karena itu audit tersebut harus dilakukan oleh auditor halal yang kompeten yakni mempunyai keterampilan dalam memverifikasi pemenuhan standar halal.  Kompetensi tersebut harus dibuktikan pihak ketiga dalam hal ini Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang harus terakreditasi oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). LSP ini yang memberikan sertifikat kompetensi pada auditor tersebut.  Sebelum mengikuti ujian kompetensi oleh LSP, biasanya calon auditor harus mengikuti pelatihan oleh lembaga pelatihan yang diakreditasi oleh BPJPH.      

Auditor bertanggung jawab untuk menilai apakah operasional restoran sudah memenuhi kriteria Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) atau masih perlu perbaikan sebelum sertifikat halal bisa diterbitkan. SJPH adalah sistem internal yang harus diterapkan oleh setiap perusahaan yang mempunyai sertifikat halal BPJPH.  Tujuan penerapan SJPH ini adalah untuk memastikan bahwa setiap kriteria BPJPH senantiasa diterapkan agar status kehalalan produk atau menu selalu terjaga selama sertifikat halal masih berlaku.   

Manager Halal Auditor Management LPPOM, Ade Suherman, S.Si, membagikan tujuh aspek proses audit yang jarang diketahui oleh publik. 

  1. Audit Halal Mencakup Lebih dari Sekadar Dapur 

Menurut Ade, proses audit halal mencakup seluruh fasilitas yang terkait langsung dengan proses penyajian makanan. Ini tidak hanya mencakup dapur pusat, dapur cabang, gudang, dan outlet, tapi juga fasilitas milik pihak ketiga atau sewaan yang ikut menangani bahan atau produk yang masuk dalam ruang lingkup penerapan SJPH. 

“Kami melakukan pemeriksaan menyeluruh, tidak hanya di satu titik. Bahkan gudang atau dapur yang disewa pun harus diperiksa karena bisa memengaruhi status kehalalan produk,” jelas Ade. 

  1. Tahapan Audit dan Dokumen yang Harus Disiapkan 

Durasi audit halal disesuaikan dengan jumlah fasilitas dan kompleksitas proses operasional restoran. Secara regulasi, waktu maksimal audit halal dalam negeri adalah 15 hari kerja, dengan tambahan waktu maksimal 10 hari kerja untuk kelengkapan dokumen atau klarifikasi. 

Dokumen yang harus disiapkan antara lain adalah dokumen Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) dan bukti penerapan aspek higienitas dan sanitasi. Ini mencakup prosedur pembersihan, standar kebersihan karyawan, dan pengendalian hama. 

  1. Tidak Bisa Parsial: Semua Menu Harus Bersertifikat Halal 

Satu poin penting yang sering luput dari perhatian pelaku usaha adalah bahwa tidak diperkenankan hanya sebagian menu disertifikasi halal. Semua makanan dan minuman yang dijual, termasuk menu konsinyasi atau titipan, wajib masuk dalam ruang lingkup sertifikasi. “Pastikan nama, bentuk, dan profil sensori dari semua menu sesuai dengan standar halal. Kalau ada satu menu saja yang tidak halal, maka seluruh proses sertifikasi bisa terganggu,” tegas Ade. 

Sistem pengadaan bahan juga harus diperhatikan. Pemeriksaan terhadap bahan yang masuk, termasuk proses penerimaan dan pencatatan, menjadi bagian penting untuk memastikan tidak ada bahan non-halal yang lolos masuk ke proses produksi. 

  1. Peran Pelanggan dalam Konsistensi Halal 

Menariknya, menurut Ade, pelanggan juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga konsistensi penerapan SJPH di restoran. “Pelanggan tidak diperbolehkan membawa makanan dari luar yang tidak jelas kehalalannya, atau membawa hewan peliharaan ke area restoran, karena ini juga memengaruhi SJPH dari restoran tersebut,” tambahnya. 

  1. Sanitasi dan Perilaku Karyawan Jadi Penentu 

Aspek hygiene dan sanitasi sangat krusial. Karyawan yang terlibat langsung dalam pengolahan makanan wajib menerapkan standar kebersihan, seperti menggunakan penutup kepala, masker, dan mencuci tangan dengan sabun sebelum bekerja. Restoran juga harus melakukan pengendalian hama dan membersihkan area produksi secara rutin.  Termasuk karyawan tidak dibenarkan menggunakan alat makan dan/atau alat masak yang digunakan untuk melayani pelanggan restoran.  Karena dikuatirkan bisa mengkontaminasi produk atau menu yang dijual dengan bahan haram/najis. 

  1. Tantangan Umum dalam Sertifikasi Halal Restoran 

Beberapa tantangan yang kerap dihadapi restoran dalam proses audit halal, menurut Ade, di antaranya: 

  • Ketersediaan bahan bersertifikat halal yang terbatas, terutama daging.  
  • Penggunaan bumbu masak non-halal, seperti angciu atau arak masak, yang harus diganti dengan alternatif.  
  • Proses bisnis antar outlet, terutama untuk brand franchise yang memungkinkan masing-masing cabang membeli bahan sendiri yang bisa jadi diluar daftar bahan halal yang sudah disetujui oleh BPJPH dan LPH. 
  • Audit internal yang tidak konsisten dalam pelaksanaannya sehingga bisa jadi tidak seluruh kriteria SJPH dipastikan penerapannya sesuai persyaratan sertifikasi halal.  
  • Tingginya turnover karyawan, sehingga pemahaman soal SJPH harus terus menerus disampaikan kepada staf baru, yang kadang-kadang pemahamannya tidak menyeluruh sehingga penerapan SJPH restoran juga tidak utuh. 
  1. Langkah Maju Menuju Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) yang Utuh 

Audit halal bukan sekadar pemeriksaan dokumen, tetapi juga pembuktian bahwa restoran menerapkan SJPH dan komitmen jangka panjang dalam menjaga kehalalan produknya. Menurut pihaknya, edukasi dan kesadaran dari pelaku usaha sangat menentukan keberhasilan penerapan SJPH secara menyeluruh. “Halal itu penerapan sistem, bukan sekedar label. Dan sistem ini harus dijaga setiap hari oleh semua pihak manajemen, staf, hingga pelanggan,” tuturnya. 

Proses audit halal restoran ternyata jauh lebih kompleks dibandingkan persepsi umum yang hanya berfokus pada bahan makanan. Audit halal mencakup seluruh aspek operasional, mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, kebersihan fasilitas, bahkan hingga perilaku pelanggan. Sertifikasi halal bukan hanya label semata, melainkan sistem menyeluruh yang harus diterapkan dan dijaga secara konsisten. 

Dengan pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap mekanisme audit halal ini, diharapkan para pelaku usaha restoran semakin sadar dan berkomitmen dalam menjaga kehalalan produknya. Hal ini bukan hanya untuk sekadar memenuhi regulasi saja, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab moral dan kepercayaan kepada konsumen. Karena pada akhirnya, halal adalah jaminan kualitas, kebersihan, dan integritas dalam penyajian makanan. 

LPH LPPOM senantiasa membuka ruang diskusi bagi setiap pelaku usaha yang produknya belum melakukan sertifikasi halal melalui layanan Customer Care pada Call Center 14056 atau WhatsApp 0811-1148-696. Selain itu, pelaku usaha juga dapat mendalami alur dan proses sertifikasi halal dengan mengikuti kelas tak berbayar Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) yang diselenggarakan secara rutin setiap pada minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/. (ZUL)