Oleh: K.H. Miftachul Akhyar­­

Ketua Umum MUI Pusat

Sebagai orang beriman, kita patut memahami, Nabi Muhammad saw. adalah sebagai Khoirul Anbiyaa war-Rusul, sebaik-baik Nabi dan Rasul dari para Nabi serta Rasul yang diutus Allah. Sedangkan pengikutnya adalah Khoiru Ummah, umat yang terbaik.

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir disebutkan, ketika Rasulullah Muhammad saw. selesai menerima perintah langsung dari Allah untuk menegakkan shalat lima waktu dalam perjalanan Isra’ wal Mi’raj, beliau saw. kemudian turun dari langit lalu singgah sekali lagi di Baitul Maqdis. Turun pula para Nabi ’alihimus-salaam bersama beliau. Dan Beliau saw. shalat sebagai imam bersama mereka ketika tiba waktunya.

Dari riwayat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Allah hendak menjadikan Nabi kita yaitu Nabi Muhammad saw. sebagai Sayyidul Anbiyaai wal Mursaliin (Penghulu para Nabi dan Rasul ’alihimus-salaam) bahkan juga Imamul Anbiyaai wal Mursaliin. Beliau saw. mengimami shalat istimewa di Masjid Al-Aqsha tersebut berma’mum-lah di belakang Beliau saw. para Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi-nabi ’alihimus-salaam lainnya. Memang, sungguh mulia kedudukan Nabi Muhammad saw. adalah Nabi terakhir yang diutus Allah ke dunia namun ditempatkan pada posisi sebagai penghulu dan imam para Nabi ’alihimus-salaam sebelumnya. Bahkan sebagai bentuk kemuliaan berikutnya, Allah bershalawat secara khusus kepada Nabi Muhammad saw., dengan Firman-Nya yang bermakna: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab, 33:56).

Selanjutnya, pengikut Nabi Muhammad saw. sebagai “Khoiru Ummah”, umat yang terbaik, dan semoga kita semua termasuk di dalamnya. Hal ini dinyatakan dan ditegaskan langsung oleh Allah dalam Firman-Nya: “Kuntum Khoiru Ummah…”“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110).

Umat Islam menjadi terbaik karena mengikuti dan mencerminkan akhlak Nabi saw. yang mulia, memiliki dan mengimplementasikan tingkah laku sesuai akhlak Nabi saw. Diriwayatkan dari Abu Hurairah,  Rasulullah saw. bersabda dengan makna: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).

Umat Nabi saw. menjadi terbaik, disebabkan memiliki komitmen yang tinggi, berpegang teguh dengan Tali Agama Allah, beramal secara yakin dan benar sesuai syari’at Islam. Dan di atas itu semua adalah berdakwah, memperjuangkannya sepenuh daya, sebagaimana telah dicontohkan oleh Baginda Rasul saw. yang mulia bersama para shahabatnya, lalu diikuti oleh salafush-sholih setelah Beliau saw. “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat, 41: 33).

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Mereka bisa menjadi umat terbaik jika mereka memenuhi syarat, yang juga disebutkan dalam ayat tersebut. Namun, kalau tidak memenuhi syarat, niscaya ia bukanlah umat terbaik.”

Seperti halnya di dunia bisnis. Jika ingin mendapatkan harga promosi dengan diskon istimewa, atau fasilitas layanan khusus, misalnya, harus memenuhi syarat dan ketentuan (S&K) yang diberlakukan. Dalam hal ini, terlibat aktif dalam perjuangan dakwah mengimplementasikan “perintah amar ma’ruf nahi munkar”, yang menjadi persyaratan untuk meraih predikat utama itu, merupakan satu bentuk komitmen, bagaikan perniagaan di Jalan Allah. Hal ini ditegaskan dalam makna ayat: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Ash-Shaff, 61: 10-11).

Oleh karenanya, ungkapan dari ayat “Kuntum Khoiru Ummah” itu tentu harus kita nyatakan dan dibuktikan dengan memenuhi persyaratan yang telah disebutkan dalam kelanjutan ayat tersebut. Yakni “memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Jelas, kita harus berjuang dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh untuk mengimplementasikan kandungan makna ayat tersebut, sehingga dapat memberi manfaat bagi kita semua, bukan hanya di dunia yang fana kini, tetapi juga terus berlanjut hingga akhirat yang abadi, sesaat lagi: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj, 22:78).

Ungkapan kata “al-Ma’ruf” itu sendiri seakar dengan kata ‘urf (adat istiadat) atau hal-hal baik yang lumrah diketahui dan diakui oleh masyarakat. Ada juga yang mengartikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan nalar. Menurut al-Isfahani, term Ma’ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara’ (al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi al-Gharib al-Qur’an, Mesir: Mushthafa al-Rab al-Ahlabi, 1961).

(Dikutip dan dirangkum oleh Usman Effendi AS, dari Taushiyyah/Sambutan yang disampaikan oleh K.H. Miftachul Akhyar, Ketua Umum MUI, pada Sertijab Direktur serta Milad LPPOM MUI ke-32 tahun).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.