Self declare wajib memenuhi syarat tertentu. Antara lain harus ada pendampingan oleh ahli serta proses penetapan halal oleh Komisi Fatwa MUI.
Ketentuan di dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) tentang pernyataan halal secara sepihak oleh pelaku usaha kecil dan mikro (UKM) atau sering disebut self declare, tidak boleh sembarangan dilakukan oleh pelaku usaha. Pernyataan halal sepihak atau self declare wajib memenuhi syarat tertentu. Antara lain harus ada pendampingan oleh ahli, serta ada proses Komisi Fatwa MUI.
“Self declare ini bukan berarti tidak melalui proses Komisi Fatwa MUI. Penetapannya harus dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, Drs. K.H. Sholahuddin Al-Aiyub, M.Si, dalam sebuah webinar di Jakarta.
Meski bersifat self declare, menurut Kiai Aiyub, sertifikat halal tetap harus dikeluarkan untuk memudahkan masyarakat mengetahui kehalalan suatu produk. Ia menekankan bahwa jaminan halal bertujuan untuk melindungi keyakinan umat Islam dalam mengkonsumsi suatu produk pangan.
“Untuk itu, produk-produk yang beredar di pasar Indonesia wajib bersertifikat halal dan memasang tanda halal pada kemasan. Tanda halal ini menjadi penting sebab memudahkan konsumen muslim untuk memilih dan memilah produk yang akan dikonsumsi,” ungkap Kiai Aiyubi.
Kewajiban sertifikasi halal ini bukan berarti melarang umat agama lain untuk mengonsumsi produk haram. Akan tetapi perlu diberikan tanda yang jelas bahwa produk itu tidak halal, sehingga umat muslim mengetahui bahwa produk tersebut memang tidak boleh dikonsumsi karena tidak sesuai standar kehalalan yang ada di Indonesia.
Di dalam UU JPH ditegaskan, Komisi Fatwa MUI bertugas menetapkan fatwa halal suatu produk ini memiliki anggota berasal dari perwakilan majelis fatwa ormas Islam nasional. Saat ini, kata Kiai Aiyubi, anggotanya ada sekitar 60 orang yang berasal dari berbagai ormas Islam.
“Syaratnya memang kompetensi dan representasi. Kompetensi dalam segi keilmuan dan representasi dari sisi mewakili dari lembaga fatwa ormas dan kelembagaan masing-masing,” katanya.
Sertifikat halal pada hakikatnya adalah fatwa tertulis tentang kehalalan produk tertentu, baik makanan, minuman dan produk kosmetik. Sertifikat halal tidak bisa dipandang sebagai administratif.
“Sertifikat halal itu pada hakikatnya adalah fatwa tertulis, (artinya) sertifikat halal adalah masalah keagamaan. Semua proses dalam rangkaian bisnis di dalam jaminan produk halal, pada akhirnya adalah penetapan suatu produk halal atau tidak,” ujar Kiai Aiyubi. (FM/IS)