Akhir-akhir ini, masyarakat mulai bertanya tentang keabsahan kebijakan halal. Benarkah surat atau keterangan ini dapat mewakili sertifikat halal?

Masyarakat mulai kritis dalam memilih produk yang akan dikonsumsinya. Pelaku usaha pun mulai melakukan berbagai upaya untuk menarik hati konsumennya. Salah satunya yang sangat berpengaruh terhadap keputusan membeli konsumen, khususnya bagi muslim, adalah status kehalalan suatu produk.

Oleh karena itu, sertifikat halal memegang peranan penting dalam keputusan konsumen. Sayangnya, belum semua pelaku usaha memiliki kesadaran yang sama akan pentingnya keberadaan sertifikat halal sebagai bukti atau jaminan kehalalan produknya. Alasannya beragam, mulai dari kesulitan mencari bahan pengganti yang halal sampai biaya.

Kini, pelaku usaha mulai mencari cara baru dengan mengeluarkan surat atau keterangan kebijakan halal. Jenis apakah surat atau keterangan ini? Benarkah dapat mewakili sertifikat halal?

Direktur Utama LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si., menjelaskan bahwa kebijakan halal merupakan bentuk komitmen tertulis pelaku usaha untuk menghasilkan produk halal secara konsisten, yang ditetapkan dan didiseminasikan kepada pihak yang berkepentingan.

“Untuk menjamin kehalalan produk, pelaku usaha harus memenuhi 11 Kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) yang tertera di dalam standar HAS 23000. Kebijakan halal ini adalah salah satu yang termasuk didalamnya,” terangnya.

HAS 23000 merupakan persyaratan yang ditetapkan dalam proses sertifikasi halal suatu produk. Persyaratan tersebut berisi kriteria SJH dan persyaratan lain, seperti kebijakan dan prosedur sertifikasi halal. Seluruh kriteria tersebut wajib dipenuhi oleh perusahaan yang ingin memperoleh sertifikat halal untuk produknya.

(Baca juga: Inilah 11 Kriteria Sistem Jaminan Halal)

Dalam 11 Kriteria SJH, maka kebijakan halal saja tidaklah cukup untuk menjamin kehalalan suatu produk. Hal ini disebabkan produk tersebut belum melalui serangkaian proses pemeriksaan kehalalan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), seperti LPPOM MUI.

Hal lain yang juga memegang peranan penting adalah penetapan status kehalalan produk oleh Komisi Fatwa MUI. Seperti yang kita ketahui, hasil audit oleh LPH menjadi dasar Komisi Fatwa MUI untuk menetapkan status kehalalan produk. Jika produk ditetapkan halal, maka MUI akan mengeluarkan Ketetapan Halal.

Dokumen inilah yang akan diberikan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai dasar dikeluarkannya sertifikat halal. Setelah itu, pelaku usaha dapat mencantumkan label halal pada produk atau restonya. (YN)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.