Jakarta (1/9) – “Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) masih meninggalkan beberapa persoalan yang sangat serius. Salah satu masalahnya adalah, terlalu banyak norma yang mengatur kewajiban. Sehingga sebagai sesuatu yang imperatif dapat menimbulkan konsekuensi hukum. Semestinya UU itu dapat memfasilitasi masyarakat agar berkembang dengan baik, bukan justru menjerat masyarakat maupun para pelaku usaha,” ujar Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) , Suparji Ahmad pada acara Polemik yang diadakan MNC Trijaya di d’consulate resto and lounge, Jakarta pada Sabtu (31/8).
“Oleh karena itu, bisa dibayangkan kehidupan masyarakat yang akan datang yang seharusnya selama ini berjalan dengan baik, tapi setelah 17 Oktober akan ada satu tantangan baru, dimana hal tersebut belum dipersiapkan dengan baik, segala komponennya baik itu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang terakreditasi, auditor halal yang profesional dan lain sebagainya. Sehingga, perlu persiapan yang matang sehingga tidak menjadi persoalan dalam penerapan UU tersebut,” lanjut Suparji.
Selain itu, Suparji menerangkan bahwa UU JPH ini bertentangan dengan semangat debirokratisasi, banyak birokrasi baru yang membuat proses sertifikasi halal menjadi lama. Ada unsur Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), penyelia halal, auditor hingga kepada pelaku usaha. Sehingga tidak efektif.
“Dari perspektif ekonomi, UU JPH ini kurang efisien karena adanya birokrasi baru, adanya kewajiban-kewajiban yang dapat berdampak pada lambannya pergerakan masyarakat dan akan menimbulkan kontroversi-kontroversi baru,” tutup Suparji.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Dr. Ikhsan Abdullah, SH mengatakan bahwa jika dalam UU tersebut halal menjadi wajib, maka pemerintah harus ikut terlibat dengan memberikan bimbingan dan pembiayaan untuk pelaku usaha UMKM.
“Oleh karenanya, pemberlakuan UU JPH ini memerlukan persiapan yang matang, dimana semua komponen pendukung telah siap dan diuji kelayakannya di depan publik. Jangan sampai ketika diterapkan menimbulkan masalah baru,” lanjut Ikhsan.
Senada dengan Ikhsan, Direktur LPPOM MUI, Dr. Lukmanul Hakim, M.Si., mengatakan jangan sampai ketika UU diberlakukan menjadi alat bunuh masal UMKM. Oleh karenanya, peran pemerintah sangat besar dalam penguatan dan pembiayaan kepada para pelaku usaha, terutama UMKM.
“Dari sisi MUI sendiri, kami sudah siap. Peran MUI dalam UU JPH tersebut pada materi substansi, yaitu: akreditasi LPH, sertifikasi auditor, standar halal, fatwa dan kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri LSHLN). Tinggal bagaimana kesiapan dari pemerintah sendiri secara adminiatratif. Jika melihat kondisi sekarang, pemerintah belum siap. Oleh karenanya perlu dicarikan solusi antara pemerintah, MUI dan stakehder lainnya dalam menghadapi pemberlakuan UU pada 17 Oktober mendatang,” lanjut Lukmanul. (YS)