• Home
  • Berita
  • Pakar Hukum : Penetapan Halal Serahkan kepada Ahlinya

Omnibus Law pada RUU Cipta Kerja yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) ternyata membuka celah bagi pelaku usaha untuk melakukan self declare atas kehalalan produknya. 

Menurut Pakar Hukum Universitas Krisna Dwipayana Tarumanegara, Dr. Firman Wijaya SH. MH., penetapan fatwa halal justru harus diserahkan kepada ahlinya, yakni MUI. Kehadiran MUI sebagai guideline menjadi penting dalam otoritas keagamaan dan keahlian saintifik untuk membuktikan kehalalan produk (laboratoris). 

Kegagalan dalam mengukur keahlian ini akan menimbulkan kebingungan (ambiguity dan ambivalence). Perlu digarisbawahi, sebenarnya yang menjadi konteks jaminan halal adalah consumer protects. Apabila ada lembaga lain yang tidak kredibel mengambil alih ini, maka dampaknya adalah kesesatan informasi atau misleading statement. 

“Intinya, siapa yang memberikan informasi yang tidak benar itulah yang harus bertanggung jawab. Karena itulah harus otoritas tunggal yang menentukan fatwa, jangan ada lembaga lain. Kalau tidak punya kemampuan dan keahlian dalam menetapkan sesuatu, maka itu yang bisa disebut misjudgment, munculnya kekeliruan,” papar Firman.

Lebih lanjut, ia menekankan, jangan sampai ada disparitas fatwa. Karena itu juga, lembaga yang menetapkan harus dipastikan tunggal. Tidak boleh ada dua lembaga yang kemudian menggunakan alat ukur berbeda. Apabila muncul disparitas, dikhawatirkan keyakinan umat yang akan menjadi masalah selanjutnya.

Self Declare Melanggar Syariat Agama

Sementara itu, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Drs. KH. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si, secara tegas mengungkapkan bahwa self declare melanggar syariat agama. Hal ini ia angkat berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nahl, ayat 116. 

“Jangan sekali-kali kalian berani membuat hukum halal-haram berdasarkan pendapat pribadi dan dengan seenaknya mengatakan ini boleh, dan ini dilarang. Dengan perbuatan itu berarti kalian telah mendustakan Allah dan menyandangkan kepada-Nya sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh Allah.” (QS. An-Nahl: 116)

Halal merupakan sebuah terminologi hukum agama, yang tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Bila ini terjadi, maka termasuk kategori tahakkum, yakni suatu penetapan hukum tanpa adanya dasar yang jelas. Self declare termasuk dalam hal ini. 

Dalam Omnibus Law ini, muncul juga kemungkinan auditor dan anggota Komisi Fatwa MUI menetapkan fatwa kehalalan produk di lokasi produksi. Hal ini sangat ditentang oleh MUI. 

“MUI menolak dengan tegas apabila Pemerintah meminta kami untuk datang ke tempat produksi, kemudian langsung menetapkan fatwa kehalalan produk saat itu juga. Ingat, prinsipnya kolektif, bukan individual,” ujar Aiyub. (YN, YS)

(Baca juga : Fatwa MUI sebagai Acuan Hukum Negara)

(Lihat video : Pakar Hukum : Penetapan Halal Serahkan kepada Ahlinya)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.