Search
Search

No Pork No Lard di Restoran, Bukan Jaminan Kehalalan

No Pork, no lard

Oleh: Rina Maulidiyah 

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak restoran dan produk makanan yang mencantumkan label “No Pork No Lard” sebagai penanda bahwa makanan yang mereka sajikan tidak mengandung daging maupun minyak babi. Meskipun demikian, klaim tidak dapat menjamin kehalalan suatu produk. Apa yang harus dicermati?

Dalam ajaran Islam, kehalalan mencakup lebih dari sekadar ketiadaan babi, tetapi juga seluruh proses produksi, mulai dari sumber bahan baku, bahan tambahan yang digunakan, hingga peralatan yang dipakai dalam pengolahan. Tanpa sertifikasi halal resmi dari lembaga berwenang seperti BPJPH, suatu produk tetap berisiko mengandung unsur yang tidak sesuai dengan prinsip halal. Oleh karena itu, penting bagi konsumen untuk memahami bahwa klaim No Pork No Lard yang sering kita temukan di sejumlah restoran yang belum bersertifikat halal, bukanlah jaminan kehalalan makanan. 

Mengapa Belum Tentu Halal? 

Pernyataan No Pork No Lard sering digunakan pada restoran tertentu sebagai bentuk informasi kepada pelanggan, khususnya yang memperhatikan aspek kehalalan makanan. Label ini hanya menjamin bahwa makanan yang disajikan tidak mengandung daging babi atau minyak babi. Inspirasi penggunaan label ini berasal dari restoran di luar negeri yang menerapkannya sebagai informasi bagi pelanggan muslim. Pemilik restoran berharap label ini dapat memberikan edukasi kepada pelanggan agar mereka merasa nyaman dan tenang dalam menikmati makanan yang disajikan. 

Namun, perlu dipahami bahwa keberadaan label No Pork No Lard tidak serta-merta menjamin bahwa seluruh menu di restoran tersebut benar-benar halal. Hal ini berbeda sekali dengan restoran yang jelas-jelas bersertifikat halal BPJPH. Kehalalan suatu makanan tidak hanya bergantung pada ketiadaan daging babi atau turunannya, tetapi juga pada keseluruhan proses produksinya. Makanan dapat menjadi tidak halal jika mengandung bahan dari sumber haram atau jika proses produksinya tidak memenuhi standar halal. 

Sebagai contoh, sebuah restoran mungkin menggunakan daging sapi yang berasal dari hewan halal. Namun, jika proses penyembelihan sapi tersebut tidak dilakukan sesuai dengan syariat Islam, maka daging sapi tersebut menjadi tidak halal. Selain itu, makanan juga dapat menjadi tidak halal jika diolah menggunakan peralatan yang sebelumnya digunakan untuk memasak makanan non-halal tanpa melalui proses pembersihan sesuai ketentuan syariat. Bahkan, jika dalam proses pengolahan terjadi kontaminasi dari najis, seperti kotoran hewan, maka makanan yang dihasilkan juga dapat menjadi tidak halal. 

Direktur Utama LPPOM, Muti Arintawati, menegaskan bahwa label No Pork No Lard tidak dapat dijadikan sebagai jaminan kehalalan suatu produk. Sebelum diterapkannya regulasi sertifikasi halal oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Jaminan Produk Halal, banyak pelaku usaha menggunakan label No Pork No Lard untuk menunjukkan bahwa produk mereka tidak mengandung babi atau turunannya. Namun, keberadaan label ini tidak menjamin kehalalan suatu makanan secara menyeluruh. 

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa sertifikasi halal tidak hanya berkaitan dengan bahan baku seperti daging dan turunannya, tetapi juga mencakup seluruh proses produksi. Mulai dari distribusi, penyimpanan, pengolahan, hingga penggunaan alat produksi, semua harus memenuhi standar halal sesuai dengan syariat Islam. Dengan demikian, hanya produk yang telah melewati proses sertifikasi halal resmi yang benar-benar dapat dijamin kehalalannya. 

Sebagai konsumen, penting untuk lebih teliti dalam memilih makanan yang dikonsumsi. Selain memastikan tidak adanya bahan haram, sebaiknya juga memilih produk yang telah bersertifikat halal agar lebih terjamin dalam aspek keamanannya, baik dari segi bahan baku maupun proses produksinya. 

Bahan Tambahan dan Proses Produksi yang Berisiko 

Selain bahan utama, banyak bahan tambahan dalam makanan yang berpotensi mengandung unsur nonhalal tanpa disadari oleh masyarakat awam. Dengan semakin berkembangnya teknologi pengolahan pangan, berbagai zat dari sumber hewani, termasuk yang tidak halal, dapat masuk ke dalam produk makanan tanpa terlihat secara kasatmata.  

  • MSG 

Menurut Halal Post Audit Management LPPOM, Umi Noer Afifah, Monosodium glutamate (MSG) dihasilkan dari proses fermentasi tetes tebu atau pati jagung dengan bantuan mikroba Corynebacterium glutamicum. Agar mikroba tersebut dapat bertahan hidup diperlukan media sebagai penghasil sumber nitrogen untuk nutrien pertumbuhan mikrobanya.  

Media tersebut akan digunakan juga pada tahapan proses fermentasi yang terdiri dari glukosa, senyawa kimia (seperti urea dan ammonium sulfat), vitamin, dan sumber nitrogen (seperti pepton). Selama fermentasi, mikroba akan mengubah gula menjadi asam glutamat. Asam glutamat selanjutnya akan direaksikan dengan natrium hidroksida sehingga menghasilkan MSG.  

Produksi MSG menjadi kritis karena terdapat penggunaan bahan media yang dapat bersumber dari babi, seperti pepton yang dapat bersumber dari bahan nabati atau bisa juga bersumber dari bahan hewani, termasuk babi. Selain itu, dalam pembuatan pepton harus dipastikan enzim yang digunakan bebas dari bahan babi dan najis. Mikroba juga harus dipastikan sumbernya berasal dari Genetically Modified Organism (GMO) atau tidak. Jika berasal dari GMO, maka harus dipastikan bukan berasal dari genetika manusia atau babi. 

  • Kecap 

Kecap manis dan asin dibuat melalui proses fermentasi kedelai dan gandum menggunakan mikroba seperti kapang Aspergillus, khamir Saccharomyces, serta bakteri Bacillus dan Lactobacillus. Proses pembuatannya terdiri dari fermentasi koji, di mana kedelai dan gandum difermentasi dengan kapang selama beberapa hari, diikuti oleh fermentasi moromi, yaitu pencampuran larutan garam yang berlangsung selama 6–9 bulan hingga menghasilkan saus kedelai setengah jadi. 

Saus kedelai ini kemudian disaring, dipanaskan, dan dipasteurisasi untuk menghentikan fermentasi serta membunuh mikroba. Pada tahap akhir, ditambahkan bumbu sesuai cita rasa, seperti gula merah untuk kecap manis. Keseluruhan proses ini memakan waktu sekitar 7–10 bulan dan membutuhkan kontrol suhu serta kelembaban yang ketat. 

Namun, beberapa produsen melakukan rekayasa dengan menambahkan perasa, pewarna, atau menggunakan bahan baku acid hydrolyzed vegetable protein untuk mempercepat produksi. Secara tradisional, kecap juga dapat mengandung bahan tambahan seperti sumsum tulang, kepala ayam, atau darah hewan, yang dapat menimbulkan masalah kehalalan jika asal-usulnya tidak jelas. 

  • Minyak Goreng 

Minyak goreng terbuat dari inti sawit yang mengalami proses perebusan, pengepresan, degumming, bleaching, deodorizing, dan forfifikasi. Titik kritis kehalalan minyak goreng terletak prosed degumming, bleaching, dan fortifikan (zat yang ditambahkan pada proses fortifikasi). Proses degumming biasanya melibatkan asam, di industri minyak goreng lazim dijumpai penggunaan asam sitrat.  

Berdasarkan buku Daftar Referensi Bahan-Bahan yang Memiliki Titik Kritis Halal dan Substitusi Bahan Non-Halal, asam sitrat dibuat dari proses fermentasi, sehingga perlu diperhatikan media biakan yang digunakan harus berasal dari bahan halal, termasuk mirkroorganisme yang terlibat dipastikan bebas GMO (Genetically Modified Organism) berasal dari babi atau manusia. Proses bleaching melibatkan karbon aktif, sehingga perlu diperhatikan sumber dari karbon aktif yang digunakan karena dapat berasal dari tulang hewan. Fortifikasi vitamin A pada minyak goreng juga harus diperhatikan sumbernya.  

Vitamin A biasanya terdapat dalam ikan dan dalam tumbuhan dalam bentuk pro vitamin A. Di dalam struktur kimia dari vitamin A banyak ikatan rangkap, sehingga vitamin A tidak stabil. Oleh karena itu, produsen vitamin A sering menambahkan bahan penstabil yang berpotensi tidak halal seperti gelatin.  

Seluruh proses produksi mulai dari pemilihan bahan, penyimpanan, pengolahan, pencucian, hingga penyajian, semua harus memenuhi standar halal. Meskipun suatu produk diproduksi menggunakan bahan baku dan bahan tambahan halal, namun jika di produksi di fasilitas yang tidak memenuhi keriteria halal, maka produk tersebut akan menjadi tidak halal.  

Sebagai contoh, produk roti yang diproduksi menggunakan bahan-bahan halal, namun dalam proses pengolahannya menggunakan alat pembantu produksi, seperti kuas yang berasal dari bulu babi, maka produk roti tersebut akan menjadi tidak halal karena telah bersentuhan atau terkontaminasi oleh bulu babi dari kuas. 

Pentingnya Sertifikasi Halal 

Karena kompleksitas proses produksi makanan dan kemungkinan masuknya bahan non-halal, pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) mewajibkan sertifikasi halal untuk berbagai produk yang beredar di pasaran termasuk restoran.  

Kebijakan ini tidak hanya mencakup makanan dan minuman, tetapi juga produk kosmetik, obat-obatan, serta barang gunaan lainnya. Sertifikasi halal memastikan bahwa suatu produk tidak hanya bebas dari bahan haram, tetapi juga diproduksi sesuai dengan standar syariat Islam. Dengan adanya label halal yang resmi, konsumen Muslim dapat lebih yakin dalam memilih produk yang aman dan sesuai dengan ajaran agama Islam. 

Meskipun label No Pork No Lard sering digunakan sebagai strategi pemasaran untuk menarik konsumen Muslim, label ini belum tentu menjamin kehalalan suatu produk. Kehalalan makanan tidak hanya bergantung pada ketiadaan daging babi, tetapi juga mencakup keseluruhan proses produksi.  

Oleh karena itu, masyarakat Muslim perlu lebih teliti dalam memilih makanan dan mengutamakan produk yang telah bersertifikasi halal agar dapat menjaga kehalalan dan keberkahan dalam konsumsi sehari-hari. (***) 

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?