Oleh: K.H. Miftachul Akhyar

Ketua Umum MUI Pusat

Menjadi umat terbaik. Predikat “terbaik” itu bukan semata sanjungan. Bukan pula utopia. Melainkan tantangan. Sejatinya, ia “menjadi” bukan “dimiliki”. Artinya, menjadi umat terbaik itu harus diupayakan secara aktif dengan perjuangan dan pengorbanan yang terus dilakukan, tanpa henti. Jika hanya menunggu dengan pasif, tidak diperjuangkan, niscaya peluang itu akan hilang ditelan zaman dan perubahan. Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al- Misbah menyebutkan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk meraih kedudukan sebaik-baik umat, yaitu amar makruf, nahi mungkar, dan berpegang teguh pada ajaran Allah.

Buya Hamka dalam Tafsir al- Azhar menegaskan, ayat tersebut hendaklah dibaca dan dipahami dari bawah, yakni beriman kepada Allah, itulah permulaan kebebasan jiwa. Berani melarang yang mungkar, itulah akibat pertama iman kepada Allah. Berani menyuruh manusia kepada yang ma’ruf, itulah tugas hidup. Jika belum sanggup untuk seluruh dunia, mulailah dalam negara sendiri. Jika belum sanggup untuk negara, mulailah di kampung halaman. Jika belum sanggup di rumah tangga, mulailah dari diri sendiri. Kewajiban dakwah terekam dalam pesan Nabi saw. “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah dengan tangan nya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegah dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Imam Muslim).

Dan untuk meraih kedudukan itu, mesti juga dengan kekuatan dakwah kolektif dan mumpuni (QS. Ali Imran, 3: 104). Maka kita bersama mengemban sebagian amanah dakwah ini, dengan kelembagaan LPPOM MUI, mengusung dan memperjuangkan halal, bertahap dan berkelanjutan, serta komprehensif. Secara maksimal, sampai batas kemampuan yang dimiliki, agar dapat beruntung dan berbahagia, dunia wal akhirah, dengan rahmat dan karunia Allah: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu hingga batas kemampuanmu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun, 64: 16).

Lebih lanjut lagi, tugas utama mengimplementasikan kandungan makna “amar ma’ruf nahi mungkar” dalam ayat tersebut di antaranya ialah: “yuhillu lahumut-thoyyibaat wa yuharrimu ‘alayhimul-khobaits” sebagaimana disebutkan dalam ayat yang bermakna: “…yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raaf, 7: 157).

Halal Memiliki Makna Luas

Pengertian halal itu sendiri adalah segala hal yang diperbolehkan dalam syariah. Syaikh Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya “ Halal-Haram dalam Islam” mendefinisikan: Halal adalah segala sesuatu yang dengannya terurailah buhul yang membahayakan, dan Allah memperbolehkan untuk dikerjakan. Jadi ungkapan kata halal ini bukan hanya berlaku atau diperuntukkan di bidang makanan dan minuman saja. Tetapi memiliki makna yang sangat luas, seluas kehidupan yang dijalani manusia. Sesuai dengan slogan yang dipopulerkan: Halal is my life. Di antaranya seperti yang disebutkan dalam ayat dengan arti, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah, 2: 187).

Selanjutnya, para pakar bahasa mengatakan: “Asal kata (Al-Khobits/Al-Khubts, dan jama’nya Al-Khobaits) dalam Bahasa Arab adalah sesuatu yang tercela, dibenci, dan buruk; baik berupa ucapan, atau perbuatan atau harta atau makanan atau minuman atau seseorang atau keadaan. (Lihat Tahdzib Asma’ wal Lughot, 2/87) Jadi sifatnya lebih umum. Dan Allah mengharamkan segala sesuatu yang khobits, termasuk diantaranya adalah makanan yang khobits. Misalnya, karena salah cara mendapatkannya, seperti makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan menurut syariat atau dengan akad yang diharamkan seperti riba dan perjudian. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Fauzan, 20/344 atau Al-Ath’immah, Hal: 83)

Menghalalkan segala apa yang thoyyib untuk umat manusia secara keseluruhan; kaaffatan lin-naas, dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk serta membahayakan. Karena semua yang halal itu niscaya membawa manfaat, sedangkan yang haram pasti berdampak mudharat, buruk dan membahayakan. Diancam berdampak celaka, dunia apalagi akhirat. “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka Neraka lebih pantas baginya.” (H.R Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 19/136; Shahihul Jami’, 3594.)

Inilah tugas amat mulia yang diamanahkan dan kita emban bersama. Karena akan menyelamatkan manusia secara semesta. Sekaligus juga sebagai medan perjuangan yang penuh tantangan.  Dalam satu ungkapan syair disebutkan: Wa kullu man wafaqo syar’ana wa syukir, wa kullu man kholafa syar’ana nukir. (Siapa pun yang berbuat, bertindak dan berperilaku yang sesuai dengan syariat Kami (Allah), niscaya akan mendapat syukur, diterima oleh Allah. Sebaliknya, siapa pun juga berbuat yang bertentangan dengan syari’at Kami, niscaya akan diingkari, disingkirkan). Kaidah yang dikandung dalam syair ini bersifat jagadiyah, berlaku sejagad, secara global dan universal. 

Mesti pula dipahami, memperjuangkan yang halal dan menghilangkan yang haram itu, dilakukan bukan karena kepentingan duniawi. Tapi harus dengan ilmu, berlandaskan Qaiman bil-qisthi, untuk menegakkan keadilan guna meraih keridhoan Allah semata: “Dan tiadalah mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah, 98: 5).

Dan semua itu juga merupakan ujian bagi kita, apakah kita dapat menunaikan amanah perjuangan yang telah diperintahkan ini, atau malah menyelisihinya. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal, 8:27). Jika kita lulus ujian ini, dapat menunaikan amanah perjuangan halal ini, dengan menaati tuntunan Allah dan Rasul-Nya, niscaya, insya Allah, akan dapat memperoleh karunia Allah yang besar (maksud QS. Al-Anfal, 8:27). Semoga. (USM) 

(Dikutip dan dirangkum oleh Usman Effendi AS, dari Taushiyyah/Sambutan yang disampaikan oleh K.H. Miftachul Akhyar, Ketua Umum MUI, pada Sertijab Direktur serta Milad LPPOM MUI ke-32 tahun). 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.