Search
Search

Menjadi Hamba yang Loyal dan Berkualitas

Menjadi Hamba yang Loyal dan Berkualitas
Apa jadinya jika kita menjalani agama hanya sebatas formalitas, tanpa loyalitas dan tanpa kualitas dalam beribadah? Ustadz Farhat Umar dalam tausiyahnya mengajak kita untuk naik kelas—dari sekadar menjadi muslim biasa menuju derajat yang lebih tinggi: mukmin dan muhsin. 

Di tengah derasnya arus kehidupan modern, umat Islam dituntut untuk tidak hanya menjadi muslim secara formal, tetapi juga tampil sebagai hamba Allah yang loyal dan berkualitas. Ustadz Farhat Umar, yang merupakan pengisi rutin kajian DKM Halalan Thayyiban LPPOM, dalam satu tausiyahnya mengangkat tema penting ini, merujuk pada hadis Jibril yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Sebuah hadis monumental yang merangkum tiga pilar utama dalam Islam, yakni Islam, iman, dan ihsan. 

Dalam hadis itu, Malaikat Jibril menyamar sebagai seorang lelaki dan mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah saw. tentang Islam, iman, dan ihsan. Jawaban Nabi pun kemudian menjadi fondasi ajaran Islam, yaitu rukun Islam, rukun iman, dan konsep ihsan. Ustadz Farhat menjelaskan, “Dinul Islam mencakup tiga hal yaitu Islam, iman, dan ihsan. Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman lebih tinggi dari Islam.” 

Penjelasan ini ditegaskan melalui firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 14, yang membedakan antara keislaman dan keimanan. Allah menyatakan bahwa orang-orang Arab Badui hanya mengaku beriman, padahal iman belum masuk ke dalam hati mereka. Artinya, seseorang bisa saja mengaku muslim namun belum tentu imannya sah di sisi Allah. 

“Tidaklah keislaman dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman. Dan tidaklah kebaikan iman dianggap sempurna kecuali terdapat padanya ihsan,” kata Ustadz Farhat mengutip penjelasan para ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah. Ihsan di sini berarti mempersembahkan amal-amal yang berkualitas, bukan sekadar rutinitas ibadah biasa. Allah menekankan pentingnya kualitas dalam amal ibadah. 

Dalam Surah Ali Imran ayat 92, Allah menegaskan bahwa seseorang tidak akan mencapai kebajikan yang sempurna hingga ia menafkahkan harta yang dicintainya. “Kalau kamu hanya berbagi harta ala kadarnya maka kebajikanmu tidak sempurna,” terang Ustadz Farhat. Amal berkualitas ditandai oleh pengorbanan terhadap hal-hal yang dicintai demi keridhaan Allah. 

Untuk memudahkan pemahaman, beliau memberikan analogi dengan dunia kerja. Dalam satu perusahaan, ada tiga tipe pekerja: (1) pekerja yang sekadar bekerja tanpa loyalitas, (2) pekerja yang loyal namun performa kerjanya biasa saja, dan (3) pekerja yang loyal dan senantiasa menjaga kualitas kerjanya. Dalam konteks agama, pekerja tipe pertama adalah muslim biasa, tipe kedua adalah mukmin, dan tipe ketiga adalah muhsin—derajat tertinggi dalam Islam. 

Dari gambaran ini, terlihat bahwa tidak setiap muslim adalah mukmin, dan tidak setiap mukmin mencapai derajat muhsin. Orang yang sampai pada tingkatan muhsin adalah orang yang loyal total kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempersembahkan amal terbaiknya, sebagaimana disebut dalam firman-Nya: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-A’raf: 56) 

Ustadz Farhat juga menyinggung peristiwa menarik ketika seorang orientalis bertanya kepada seorang ulama Mesir, Syekh Sa’rawi, tentang mengapa umat Islam bisa kalah oleh orang-orang kafir padahal Allah berfirman dalam Surah An-Nisa: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” Jawab sang Syekh, “Karena mayoritas kami masih muslimin, belum mukminin.” Perbedaan antara mukmin dan muslim terletak pada totalitas keimanan dan loyalitas. 

Loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya adalah syarat mutlak bagi seorang hamba yang beriman. Dalam Surah Al-Ahzab ayat 36, Allah menyatakan bahwa tidak layak bagi seorang mukmin memilih pendapat lain jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan. Itulah bentuk loyalitas yang kaffah (total), bukan loyalitas setengah hati. 

Lebih jauh, loyalitas juga ditunjukkan dengan keberpihakan (wala’) kepada sesama mukmin. Allah melarang mengambil orang-orang kafir sebagai wali (teman dekat dan penolong) dengan meninggalkan kaum beriman (QS. An-Nisa: 144). “Orang munafik adalah mereka yang tampak muslim namun tidak memiliki loyalitas terhadap Islam,” tegas Ustadz Farhat. 

Di bagian akhir ceramahnya, beliau mengajak para pendengar untuk mengejar derajat muhsin melalui amal-amal yang berkualitas. Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika tidak, yakinlah bahwa Dia melihatmu.” Ibadah yang dilakukan dengan kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi akan mendorong kita untuk mempersembahkan yang terbaik. 

“Allah tidak menggunakan istilah ‘yang terbanyak amalnya’, tetapi ‘yang terbaik amalnya’ (ahsanu ‘amala),” terang Ustadz Farhat mengutip Surah Al-Mulk dan Al-Kahfi. Ini menjadi indikator bahwa yang dicari oleh Allah bukan kuantitas semata, tapi kualitas dari amal yang kita persembahkan. 

Maka, wahai sahabat sekalian, marilah kita menapaki tangga spiritual Islam ini dengan kesungguhan hati: dari muslim menjadi mukmin, dan dari mukmin menjadi muhsin. Menjadi hamba yang loyal kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berkualitas dalam setiap amal perbuatan. Sebab hanya dengan loyalitas dan kualitas itulah kita layak menerima rahmat, pertolongan, dan cinta dari Allah SWT. (YN)