Oleh : Prof.Dr.H. Ahmad Sutarmadi, M.A.
(Guru Besar Emiritus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota KF MUI)
Bila diperhatikan, banyak orang memiliki persepsi yang keliru dalam menggapai hidup yang tenang dan bahagia. Sebagian besar orang beranggapan hidup tenang, senang, dan bahagia itu dapat diraih dengan materi duniawi semata. Orang pun berlomba-lomba mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, tanpa peduli ketentuan hukum, apalagi kaidah syariah dalam tuntunan ilahiyah. Halal-haram dihantam. Yang penting dapat memiliki harta berlimpah, dengan fasilitas serba-wah untuk memenuhi syahwat yang terus meningkat, tak pernah sudah. Gaya hidup hedonistis kini membuat miris.
Padahal kesenangan duniawi itu bagaikan fatamorgana. Hanya mengejar bayang-bayang yang dianggap indah. Namun, pada kenyataaannya semu belaka. Bagaikan orang haus meneguk air laut—tak akan pernah merasa puas, sampai ajal menjemput. Baru menyesal.
Bagaimana tidak menyesal. Secara nash Qur’ani, Allah telah berfirman dengan makna:“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur, 102: 1–2). (Maksudnya: bermegah-megahan dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan seumpamanya telah melalaikan kamu dari ketaatan kepada Allah).
Realitasnya, orang dengan gaya hidup hedonistis menganggap akan dapat hidup nyaman, dengan hati yang tenang. Misalnya, kalau dapat memiliki rumah dengan segala fasilitas yang diinginkan begini atau begitu atau kendaraan beserta berbagai aksesori materi duniawi lainnya. Padahal itu di luar kemampuan dirinya. Lalu memaksa diri melakukan kredit yang pada akhirnya membelit dan menjerat diri sendiri. Lebih parah lagi, kalau sampai melanggar hukum, misalnya, dengan melakukan korupsi dan manipulasi. Ini berarti mengambil hak orang lain dengan cara batil dan zalim, suatu perbuatan dosa yang besar. Perhatikan dan ingatlah larangan Allah dalam ayat Al-Qur’an yang tegas menyatakan,“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kamu…” (QS. An-Nisaa’, 4: 29).
Ya, para pemburu dunia hedonistis yang tamak, menempuh jalan menyimpang dalam mencari harta. Tak sungkan mereka lakukan dengan cara batil: melakukan tipu daya, memanipulasi, dan mengelabui orang-orang yang lemah. Bahkan, ada yang berkedok sebagai penolong kaum miskin, tetapi ternyata melakukan pemerasan dengan riba berlipatganda, melahap harta orang-orang yang terhimpit kesusahan, seolah tak memiliki rasa iba dan belas kasih. Berbagai kedok ini, mereka namakan dengan pinjaman lunak, gadai, lelang, atau semacam itu. Kenyataannya, bantuan dan pinjaman tersebut tidak meringankan beban, apalagi mengentaskan penderitaan. Bahkan sebaliknya, justru lebih menjerumuskan ke dalam penderitaan, kesusahan dan kemiskinan. Sungguh benarlah sabda Nabi saw.“Sungguh akan datang kepada manusia suatu masa, yaitu seseorang tidak lagi peduli dari mana dia mendapatkan harta, dari jalan halal ataukah (yang) haram.” [HR. Bukhari].
Berakibat Sangat Fatal
Mencari rezeki dengan cara yang batil dan mengonsumsi yang haram itu tentu akibatnya sangat fatal. Bukan ketenangan batin yang diraih, bahkan rasa takut membuat nyali pun menciut. Lebih lanjut, rasa takut mengkibatkan pikiran jadi kalut, jantung lebih kencang berdenyut, berbagai penyakit turut merasuk tanpa bisa luput. Alhasil, maut pun segera menjemput. Di akhirat, Yaumul-Hisab, pengadilan hakiki harus pula diikuti. Hal ini telah pula ditegaskan oleh Nabi saw. dalam hadis terkenal yang diriwayatkan dari cucu Rasulullah saw. Hasan bin ‘Ali, Nabi saw. bersabda dengan makna:“Kebaikan selalu mendatangkan ketenangan, sedangkan kejelekan selalu mendatangkan kegelisahan.”[HR. Al Hakim 2/51 dalam Mustadroknya] .
Dalam hadis yang lain, dari Nawas bin Sam’an, Nabi saw. bersabda pula, “Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu tampak di tengah-tengah manusia.” [HR. Muslim].
Imam An-Nawawi menjelaskan, “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.” [Lihatlah Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Dar Ihya’ At-Turots, 1392, 16/111].
Sebagai satu contoh perbandingan yang sederhana, dapat diambil ‘ibroh dari seekor kucing yang mengambil atau ‘mencuri’ ikan dari meja makan dengan diam-diam (padahal sejatinya, tidak ada hukum mencuri bagi hewan kucing). Lalu ada orang lewat melihatnya. Maka si kucing itu pun akan lari terbirit-birit, karena “merasa bersalah” dan takut dihukum. Namun, saat tuannya memberinya tulang ikan, kucing itu tetap melahapnya dengan tenang,meskipun banyak orang berlalu-lalang di dekatnya.
Sampai-sampai jika seseorang dalam keadaan resah-gelisah, Nabi saw. memerintahkan agar menanyakan pada hatinya sendiri, apakah perbuatan (yang dilakukan) tersebut termasuk dosa ataukah tidak. Ini terjadi tatkala hati dalam keadaan gundah gulana dan belum menemukan bagaimanakah hukum suatu masalah. Beliau saw. pernah menasihatkan Wabishoh, “Mintalah fatwa pada jiwamu. Mintalah fatwa pada hatimu (beliau mengatakannya sampai tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan jiwa dan menenteramkan hati. Sedangkan kejelekan (dosa) selalu menggelisahkan jiwa dan menggoncangkan hati.” [HR. Ad-Darimi 2/320 dan Ahmad 4/228].
Oleh karena itu, supaya hati dapat tenang dan hidup menjadi nyaman dengan rasa tenteram, tentu kita wajib untuk selalu menjaga hati agar selalu berada dalam kebaikan yang diridai Allah, dengan dzikrullah: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d, 13:28).
Dengan selalu berdzikir, mengingat dan menyebut nama Allah, juga berarti mengingat hukum-hukum Allah: mengerjakan segala apa yang Dia perintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya. Jauhkan diri dari gaya hidup hedonistis yang diharamkan dengan jalan kesederhanaan.
Perhatikanlah betapa Rasulullah saw.Menjadi teladan umat sepanjang masa, yang dengan perkenan Allah, kekuasaan Persia dapat ditundukkan, dan kerajaan Romawi dikuasai. Namun Beliau saw. justru menjalani hidup dalam kesahajaan yang luar biasa.
Umar bin Khattab Menangis
Kesederhanaan hidup Rasulullah saw. jelas dalam bingkai halal dan pasti diridai Allah ini bahkan juga menyebabkan Umar bin Khattab menangis. Padahal, Umar terkenal sebagai sosok jumawa yang gagah perkasa, disegani banyak orang, dari kalangan kawan maupun lawan.
Keperkasaan Umar telah menjadi buah bibir di kalangan umat ketika itu. Oleh karenanya, fenomena Umar menangis menjadi peristiwa luar biasa yang sangat mengherankan.
Baiti Jannati
Dengan segenap kesederhanaan itu, fasilitas rumah bahkan kehidupan yang amat terbatas. Namun mengemukakan satu ungkapan yang amat popular, “Baiti Jannati”. Rumahku adalah surgaku. Tempat para anggota keluarga berkumpul bersama, bercengkerama dengan harmonis dalam naungan rida Allah. Rumah dimanfaatkan untuk ibadah, munajat berjemaah kepada Allah. Dengan begitu, suasana hidup pun terasa indah, mendapat rahmat dan berkah Allah.
Bandingkanlah dengan kondisi kehidupan orang yang bergelimang harta, tapi dari sumber-sumber yang tidak jelas kehalalannya. Rumah mewah, fasilitas wah, berbagai aksesori dan sarana hiburan lengkap sudah. Televisi, video, bahkan juga jaringan internet multimedia, tersedia mudah. Meski begitu, yang terlontar justru ungkapan “Rumah Bagaikan Neraka”. Suasana keluarga selalu “panas”, meskipun dilengkapi AC, mesin pendingin ruangan yang canggih. Ayah selalu sibuk di luar dengan berbagai kegiatan yang tidak jelas kaidah halal-haramnya. Akibatnya, si ibu pun merasa sepi sendiri di rumah, kemudian mencari selingan keluar. Kondisi rumah yang kosong membuat anak tidak betah di dalam rumah. Lalu mencari hiburan, bahkan ada yang sampai terjerat pergaulan narkoba.
Maka tepat sekali isyarat yang diungkapkan oleh Nabi saw. dalam hadis berupa wasiat beliau saw. kepada sahabatnya, Ka’ab bin ‘Ujroh, yang berarti juga mengingatkan kita semua, dengan makna: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidak tumbuh daging yang berasal dari makanan yang haram, kecuali neraka lebih berhak untuknya.” (HR. At-Turmudzi).
Berkenaan dengan hal ini, Allah menegaskan pula dalam ayat yang artinya: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad, 47: 12).
Perhatikanlah betapa dari ayat itu Allah menyiksa orang-orang kafir di neraka Jahannam. Karena mereka makan seperti binatang, di antaranya, mengingkari hukum Allah, tidak peduli halal-haram, terus dihantam. Sedangkan orang yang beriman, menaati ketetapan Allah, mengonsumsi hanya yang halal saja, dan meninggalkan yang diharamkan. Sehingga mendapat berkah, dapat masuk Jannah dengan rida Allah.
Oleh karenanya, kita ingatkan lagi; dalam mencari rezeki, tetaplah di jalan yang halal, yang diridai Allah. Sehingga kita akan dapat meraih hidup yang tenang, memperoleh keberkahan dan kebahagiaan di dunia dan hari kemudian. Kita hindari sejauh-jauhnya jalan-jalan yang diharamkan. Jalanilah hidup dengan limpahan rezeki, sarana, maupun fasilitas yang halal. Jangan menggunakannya secara sewenang-wenang atau berlebihan. Yang halal insya Allah membawa berkah, sedangkan yang haram niscaya terlaknat dunia dan akhirat.
Bahkan lebih lanjut lagi, para ulama mengemukakan, terhadap yang halal saja kita tidak boleh berlebihan, apalagi yang haram. Jelas harus ditinggalkan secara total. Perhatikanlah makna ayat: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf, 7: 31). Ayat itu mengandung makna kita harus makan dan minum yang halal secara sederhana.
Dengan sikap bersahaja,seperti yang telah diteladankan oleh Baginda Rasulullah saw., suatu yang halal juga tidak boleh disikapi secara berlebihan. Ini karena syahwat untuk menjalani gaya hidup hedonistis. Padahal itu semua adalah fatamorgana yang menipu. Jelas, kita harus berhati-hati dalam meniti hidup dunia yang fana ini. Jangan bertindak melampaui batas, seperti mengambil tanpa hak, menyalahgunakan kewenangan, dan berbagai tindakan tercela lainnya. Tidak ada kebenaran, kecuali datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Sumber: Jurnal Halal, 134
(Untuk pemesanan Jurnal Halal lainnya, bisa klik: bit.ly/OrderJurnalHalal)