Search
Search

Mengapa Jamu Harus Halal?

Indonesia memiliki keunggulan dalam hal pengembangan jamu, karena ada sedikitnya 9.600 jenis tanaman obat yang dapat digunakan sebagai bahan dasar jamu. Penggemar jamu juga sangat beragam, mulai dari orang tua hingga anak-anak. Bagaimana sisi kehalalannya?

Tak bisa disangkal bahwa dari sisi perekonomian, industri jamu telah berkontribusi sangat besar bagi pendapatan nasional, baik dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun penyediaan lapangan kerja. Bahan baku jamu yang hampir 99%  merupakan produk dalam negeri dinilai mampu membawa multiplier effect yang cukup signifikan dalam pertumbuhan perekonomian di Indonesia.

Data dari Gabungan Pengusaha Jamu menunjukkan, hingga akhir 2018 industri jamu dan obat tradisional  tumbuh 10% dengan omzet mencapai Rp17 triliun, dengan peningkatan secara nasional rata-rata sekitar 5% per tahun. Pada 2017 industri jamu dan herbal menghasilkan omzet sekitar Rp15 triliun.

Dari sisi tenaga kerja, secara keseluruhan industri obat nasional mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 15 juta orang. Sekitar 3 juta orang terserap di industri jamu yang berfungsi sebagai obat. Adapun, sekitar 12 juta orang terserap di industri jamu sebagai makanan, minuman, kosmetik, spa, dan aromaterapi.

Haruskah Bersertifikat Halal?

Wakil Direktur LPPOM MUI Bidang Auditing dan Sistem Jaminan Halal, Ir. Muti Arintawati, M.Si, mengatakan jamu dan obat herbal tradisional berasal dari bahan-bahan tumbuhan yang sudah tentu terjamin kehalalannya. Namun pada kenyataannya, walaupun disebut berasal dari bahan herbal atau tumbuhan, ternyata ada pula jamu yang menggunakan bahan tambahan atau campuran dari bahan hewani. Bahkan ada pula yang menggunakan campuran bahan dari organ binatang buas. Sehingga status kehalalannya pun dapat diragukan, atau bahkan menjadi haram dikonsumsi bagi umat Muslim.

Dalam sambutan pengantarnya pada Pelatihan Sistim Jaminan Halal (SJH), 23 Pebruari 2016, di fasilitas pelatihan LPPOM MUI, Global Halal Centre (GHC) Bogor, Muti menjelaskan, ada jamu herbal dari China, yang banyak dipergunakan untuk pasien setelah operasi besar. Misalnya untuk ibu-ibu setelah operasi Cesar, atau pasien operasi usus buntu.

Konon, mengkonsumsi jamu-obat tradisional China itu memang membantu mempercepat pemulihan luka. Dan jamu atau obat herbal itu banyak dipakai secara umum, termasuk oleh masyarakat Muslim. Karena dianggap memiliki khasiat yang baik. “Namun setelah ingredient kandungan bahannya dibaca dengan teliti, ternyata, jamu atau obat yang disebut herbal itu mengandung bahan hewani juga. Diantaranya adalah darah ular,” tuturnya menandaskan.

Padahal, darah itu secara umum terlarang dikonsumsi. Termasuk untuk obat sekalipun. Apalagi ini darah ular yang jelas diharamkan dalam Islam. Selain itu, ada pula bahan jamu atau obat herbal, terutama yang berasal dari tradisional China menggunakan berbagai bahan tambahan hewani. Seperti ada yang menggunakan tangkur buaya, kuku macan, hati beruang, dll.

Bagi kebanyakan orang awam, jamu herbal dianggap hanya berasal dari tumbuhan. Pada kenyataannya tidak demikian. Dari sini maka jelas, jamu herbal itu harus diteliti dengan proses sertifikasi halal, guna meyakinkan bahwa semua kandungan bahan dan proses produksinya memang halal menurut kaidah syariah.

Ada pula bahan jamu herbal yang dimasukkan ke dalam cangkang kapsul. Nah, kapsul itu juga tentu harus diteliti dengan seksama. Karena pada dasarnya, cangkang kapsul itu dibuat dari bahan gelatin. Dan sebagian besar bahan gelatin itu berasal dari hewan, terutama babi yang diharamkan dalam Islam. Dan kalau menggunakan kapsul dari gelatin babi itu, tentu menjadi tidak halal pula dikonsumsi umat Islam.

Berdasarkan panduan Al-Qur’an dan Sunnah, sebenarnya sangat mudah untuk menentukan  kehalalan suatu obat. Hal ini terutama berlaku bagi jamu dan obat herbal, dimana semua tanaman (kecuali yang merugikan) dijamin kehalalannya untuk dikonsumsi. Namun, keterlibatan teknologi yang berkembang pesat dan perdagangan bebas membuat penilaian ini tidak mudah. Ada banyak aspek yang harus dipenuhi dan dikaji oleh para ahli sebelum obat dan jamu tradisional tersebut dinyatakan halal. (FM/AH/YN)

Sumber : Jurnal Halal No. 137

Untuk pemesanan, klik : bit.ly/OrderJurnalHalal

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.