Diasuh oleh: Dr.K.H. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs.H. Sholahudin Al-Aiyub, M.Si. (Wakil Sekretaris MUI Pusat Bidang Fatwa).
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah
Pak Ustadz, ada pertanyaan yang pelik dan menggelitik pikiran serta perasaan saya tentang transfusi darah. Sepanjang yang saya ketahui, konsumsi darah itu diharamkan dalam Islam. Bagaimana dengan transfusi, sebab darah bukan lagi dikonsumsi, tapi langsung masuk ke jaringan tubuh?
Lebih lanjut lagi, bagaimana pula dengan transfusi darah dari non-Muslim, yang segala produk dikonsumsinya, mungkin juga termasuk produk/bahan pangan yang jelas diharamkan dalam Islam, seperti babi, miras, dan sebagainya, sedangkan dalam riwayat hadits yang pernah saya baca bahwa setiap anggota tubuh yang tumbuh dari yang haram, atau produk yang haram masuk ke dalam tubuh, maka neraka lebih layak baginya.
Pertanyaan saya, apakah orang yang menerima transfusi darah dari non-Muslim yang mengkonsumsi pangan haram, akan terkena imbasnya, menjadi disiksa di neraka?
Atas jawaban dan penjelasannya saya mengucapkan terimakasih.
Wassalam
Abdullah, Jakarta
Jawaban:
Memang Al-Quran secara tegas mengharamkan darah. Diantaranya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah…” (Q.S. Al-Maidah, 5:3). Dari ayat ini, pertama harus kita pahami, bahwa konteks keharaman darah yang ditegaskan dalam ayat Al-Quran itu adalah mengkonsumsinya. Dan darah yang diharamkan itu adalah “Ad-Daamul-Masfuh”, yaitu darah hewan yang memancar atau mengalir ketika disembelih. Kategori ini disebutkan dalam ayat Al-Quran yang bermakna: “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi…” [QS. Al An’am 6 : 145]
Oleh sebagian orang, darah dari hewan sembelihan itu ditampung lalu diolah menjadi “Dadih” atau “Marus”, atau yang semacam itu, untuk kemudian dimakan, konsumsi manusia. Nah, darah jenis itu yang diharamkan. Hal ini perlu ditekankan, karena Rasulullah saw mengecualikan dua macam darah yang diperbolehkan bagi umatnya, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah saw bersabda: “Dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah itu adalah hati dan limpa.” [H.R. Imam Ahmad, dan Ibnu Majah].
Sedangkan transfusi darah itu bukan memakan atau mengkonsumsinya, tetapi menyalurkan darah dari donor (pemberi) kepada penerima. Dan itu dilakukan dalam kondisi darurat, sebagai upaya pengobatan untuk menyelamatkan jiwa yang terancam, hidup atau mati. Tentang hal ini, berlaku kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan: Adh-Dharuratu Tubihul-Mahzhurat, artinya “dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang, diperbolehkan”.
Selain itu, ada pula kaidah Fiqhiyyah: “Maa hurrima li dzatihi, ubiha lid-dhoruroh”, apa-apa yang dari sisi dzatnya haram, maka dalam keadaan darurat menjadi boleh. Dengan demikian maka transfusi darah itu hukumnya boleh, atau bahkan sangat diperlukan dalam kondisi darurat untuk menyelamatkan hidup bagi orang yang memerlukannya.
Selanjutnya tentang darah non-Muslim. Dalam hal ini tidak ada pemisahan antara darah seorang Muslim dengan non-Muslim. Memang ada Hadits Nabi saw yang menyebutkan: ”Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (H.R. At-Thabrani).
Maksud hadits tersebut adalah untuk menegaskan larangan mengkonsumsi produk, makanan maupun minuman yang haram, namun tidak berkaitan langsung dengan praktek transfusi darah. Dari sisi makna, hadits tersebut termasuk ke dalam Tadzkiroh yang bersifat Tarhib, atau peringatan yang menakut-nakuti dengan ancaman siksa yang berat, supaya tidak mendekati apalagi melakukan yang haram, dan karenanya harus ditinggalkan.
Memang sebaiknya, harus dihindari transfusi darah dari non-Muslim sebisa mungkin. Sebagai orang beriman, semua umat Muslim itu bersaudara, maka tentu sangat diutamakan agar bisa saling membantu, dalam aspek transfusi darah itu, dengan sesama saudara. Perhatikanlah ayat Al-Quran yang menegaskan tentang hal ini: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. 49: 10).
Selain itu, hadits tersebut mengandung makna yang menegaskan tentang larangan melakukan perbuatan yang haram, atau larangan mengkonsumsi yang haram. Siapa yang melakukan perbuatan itu, maka dialah yang akan diminta pertanggung-jawabannya. Atau orang yang melanggar larangan yang disebutkan dalam hadits tersebut, maka dialah yang berdosa, bukan orang lain, sekalipun sebagai penerima darah yang didonorkan oleh si pelaku dosa.
Hal ini ditegaskan pula dalam ayat “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Q.S. 17:15). Kandungan ayat seperti ini diulang lagi (Q.S. 39:7), dan (Q.S. 53: 38), Maksudnya adalah untuk menegaskan, bahwa setiap orang memikul dosa karena pelanggaran (perbuatan dosa) yang dilakukannya sendiri-sendiri, dan tidak menanggung atau memikul dosa yang dilakukan oleh orang lain.
Dalam ayat lain ditandaskan pula, “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (Q.S. 53: 39-41).
Perhatikanlah juga makna ayat: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…” (Q.S. 2: 286).
Begitu pula dalam konteks ini, sebagai contoh analogi, kalau ada yang mendonorkan (bola) matanya, maka si penerima donor mata itu tidak akan menanggung dosa mata, yang dilakukan oleh si pemberi donor tersebut, seperti dosa karena melihat-lihat hal-hal yang dilarang dalam agama. Tegasnya lagi, masalah dosa atau pahala itu terkait erat dengan diri pelaku. Dalam hukum Islam itu, sangat jelas, siapa yang berbuat, maka dialah yang bertanggung-jawab. Dengan demikian, hadits tersebut dapat dipahami, orang yang akan disiksa itu adalah orang yang melakukan perbuatan dosa. Dalam konteks bahasan kita ini adalah orang yang berdosa itu adalah yang mengkonsumsi makanan dan/atau minuman yang haram.
Lebih lanjut lagi, menurut kami, yang perlu dicermati justru adalah masalah jual-beli darah. Karena hal itu diharamkan dalam Islam. Sebagai Muslim, kita semua dilarang menjual-belikan darah sendiri maupun darah orang lain, termasuk pula organ tubuh lainnya, seperti ginjal, mata, hati, dll. Karena darah dan semua organ tubuh itu, sejatinya, bukan milik kita secara sempurna. Tetapi secara hakikat adalah kepunyaan Allah. Tubuh kita juga secara keseluruhan bukan milik kita, maka karenanya tidak boleh diperjual-belikan. Oleh karena itu, dalam Islam tidak boleh ada jual-beli darah maupun organ tubuh manusia. Hukumnya haram, bagi yang menjual maupun membelinya.