Dr. KH. Abdur Rahman Dahlan, MA.
Ketua PB Al-Wasliyah,
Anggota Komisi Fatwa MUI
Mengkonsumsi makanan yang halal dalam Islam itu sangat penting, sebagai bukti keimanan. Karena hal ini diperintahkan dengan jelas, secara eksplisit, di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Dan orang yang mengkonsumsi makanan tidak halal, niscaya akan menerima dampak yang sangat berat. Disebutkan dalam Hadits Nabi saw.: “Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR. At-Thabrani).
Dari hadits ini dapat dipahami, semua yang tumbuh, berkembang pada diri manusia, sampai kepada anak keturunannya, kalau berasal dari konsumsi yang haram, maka dengan berbagai sebab dan perilaku, niscaya akan terjatuh dan disiksa di dalam neraka.
Dalam tinjauan zoologi, pengaruh makanan terhadap watak dan perilaku, secara sederhana dapat dilihat pada hewan. Jenis hewan karnivora yang memangsa hewan lain, memiliki perilaku buas, agresif, suka menyerang dan membahayakan. Seperti singa, harimau, dll. Sedangkan hewan herbivora yang memakan tumbuh-tumbuhan relatif lebih jinak, dan tidak membahayakan. Seperti sapi, kambing, dll.
You Are What You Eat
Dengan analogi ini dapat dipahami, Allah telah mengharamkan makanan dan hewan-hewan yang jelek, karena makanan memiliki pengaruh terhadap akhlak dan watak, sifat dan sikap serta perilaku seseorang. Harta dan makanan yang halal dan baik akan menumbuhkan darah dan daging yang baik. Perilaku dan perbuatannya pun (insya Allah) cenderung pada yang baik juga. Yang dihalalkan dalam agama. Demikian pula sebaliknya. Kalau mengkonsumsi makanan yang buruk, atau diharamkan dalam agama, maka akan berdampak akhlak dan watak pun menjadi buruk pula. Cenderung pada perilaku dan perbuatan yang diharamkan. Ringkasnya, bisa disimpulkan dengan ungkapan, “You Are What You Eat”. Watak dan perilaku anda itu relatif sangat dipengaruhi oleh apa yang anda makan.
Oleh karena itu berhati-hatilah dalam memilih dan memilah harta dan makanan untuk diri kita, anak dan keluarga kita. Jangan sampai memakan barang dan makanan-minuman yang haram, baik berupa daging ataupun yang lainnya. Termasuk tentunya adalah babi: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al-Baqarah: 173).
Makna semacam ini diulang lagi dalam ayat yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-Maa’idah: 3).
Beberapa penelitian oleh para ilmuwan yang berpandangan objektif di Barat juga banyak yang menyatakan bahwa mengkonsumsi babi dapat mempengaruhi watak menjadi rusak, melebihi ambang batas kewajaran sebagai manusia normal.
Dalam sebuah kisah disebutkan, konon suatu ketika Syeikh Muhammad Abduh, seorang Tokoh Ulama terkemuka berkunjung ke Prancis. Beberapa mahasiswa menanyakan padanya tentang alasan ajaran Islam mengharamkan babi. “Umat Islam mengatakan babi itu haram karena memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba, dan bakteri-bakteri berbahaya lainnya. Sekarang, semua itu sudah hampir tidak ada lagi, karena ternak babi dipelihara di peternakan moden. Kebersihannya terjamin, bahkan dengan proses sterilisasi yang memadai. Lantas, bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit dengan cacing pita atau bakteri dan mikroba berbahaya?”
Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Tapi dengan cerdik ia meminta dibawakan dua ekor ayam jantan dan satu ekor ayam betina, serta dua ekor babi jantan dan satu ekor babi betina.
Mereka pun bertanya, “Untuk apa semua itu?”
“Penuhi apa yang saya minta, maka akan kalian akan melihat satu rahasia,” jawab Syeikh
Maka mereka memenuhi permintaan Syeikh Muhammad Abduh. Pemikir Islam ini segera mengurung kedua ekor ayam jantan bersama seekor ayam betina dalam satu kandang. Apa yang terjadi? Dua ekor ayam jantan itu berkelahi dan saling menyerang untuk mendapatkan ayam betina.
Setelah itu Muhammad Abduh melepas dua ekor babi jantan dengan seekor babi betina. Kali ini, mereka menyaksikan sebuah “keanehan”. Tidak ada sedikit pun perkelahian untuk memperebutkan babi betina. Tanpa rasa cemburu dan harga diri, babi jantan yang satu justeru membantu babi jantan lainnya melaksanakan hajat seksualnya. Mengapa hal ini terjadi?”
Bahaya Mengkonsumsi Babi
Itu semua terjadi, karena (daging) babi membunuh ‘ghirah’ orang yang memakannya. Itulah yang sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi babi, dan/atau makanan haram lainnya. Banyak terjadi dalam keluarga yang biasa mengkonsumsi babi, dan/atau makanan haram lainnya. Seorang lelaki membiarkan isterinya bersama lelaki lain, tanpa rasa cemburu. Atau bahkan si suami itu sendiri yang terlibat dalam perselingkuhan. Seorang bapak melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, tetapi justru membiarkannya tanpa rasa cemburu dan was-was. Sesungguh, daging babi itu menularkan sifat-sifat buruk pada orang yang memakannya.
Muhammad Abduh kemudian memberikan contoh-contoh baik dalam syariat Islam. Misalnya, Islam mengharamkan beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran serta memakan kotorannya. Siapapun yang ingin menyembelihnya harus mengurungnya selama beberapa hari, sebagai bentuk karantina, serta memberinya makanan yang sesuai. Mengapa? Agar perut hewan tersebut dapat terbebas/bersih dari kotoran-kotoran yang telah dimakannya, yang mengandungi bakteri dan mikroba berbahaya yang bisa menular pada manusia. Itulah hukum Allah. Itulah perlindungan dan kasih sayang Al-Khaliq kepada kita, umat manusia.
Dijelaskan Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam pernyataan beliau: “Ada yang diharamkan karena makanannya yang jelek seperti Babi, karena ia mewarisi mayoritas akhlak yang rendah lagi buruk, sebab ia adalah hewan terbanyak makan barang-barang kotor dan kotoran tanpa kecuali.” (Kitab Al-Ath’imah hal. 40).
Penulis Tafsir Al-Manaar menyatakan: “Allah mengharamkan daging babi karena najis. Sebagaimana dimaksud dalam ayat yang artinya: Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).” (QS. Al-An’aam: 145). Makanan yang paling disukainya (makanan favoritnya) adalah kotoran dan ia sangat berbahaya bagi manusia. Bahkan ia memiliki pengaruh yang buruk terhadap sifat iffah (menjaga kehormatan) dan cemburu (ghirah) bagi orang yang mengkonsumsinya.” (Shohih Fiqh Sunnah, 2/339). (USM)