Diasuh oleh: Dr.K.H. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs.H. Sholahudin Al-Aiyub, M.Si. (Ketua MUI Pusat).
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah
Ustadz yang saya hormati.
Ada keluarga sudah lama terkena penyakit diabetes dan kondisinya sangat mengkhawatirkan. Dia sudah berusaha berobat secara medis, namun kondisi tubuhnya terus memprihatinkan. Lalu ada teman yang menyarankan untuk melakukan pengobatan alternatif alami dengan mengkonsumsi daging landak.
Menurut teman tadi, daging landak mengandung kitotefin yang baik untuk pengobatan bagi penderita diabetes. Ada pula yang menyebutkan, daging landak dan hati landak berkhasiat juga untuk mengobati penyakit asma.
Karena dipercaya banyak khasiatnya itu, di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ada menu Sate Landak dan Rica-rica Landak yang juga telah menjadi menu yang dicari masyarakat.
Pertanyaan saya, bagaimana hukum mengkonsumsi daging landak? Atas jawaban dan penjelasannya saya mengucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
A. Said, Batang, Jateng
Jawaban:
Landak dalam bahasa Arab disebut Al-Qunfudzu. Yakni jenis hewan pengerat (Rodentia) mirip dengan tikus, memiliki rambut tebal, dan bila dirinya merasa terancam, dapat mengeras, menjadi duri yang panjang dan runcing, sangat mengerikan.
Landak tergolong dalam insectivora (hewan pemakan serangga), namun juga memakan hewan lain seperti siput dan cacing, sehingga ada yang menyebutnya sangat menjijikkan.
Ada sebagian ulama mengharamkan landak, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar, ketika ia ditanya oleh seseorang tentang hukum landak, ia berkata, sambil membaca ayat: “Katakanlah: “Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan selain…” (hingga akhir QS. 6:146).”
Kemudian ada seorang Syaikh di sisinya yang berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: disebutkan di sisi Nabi saw tentang landak, maka beliau saw pun bersabda: “Itu adalah sesuatu yang buruk di antara yang buruk.” Maka, Ibnu Umar berkata: “Jika Rasulullah saw mengatakan demikian maka memang demikian adanya apa-apa yang kami belum ketahui.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam hadits tersebut ditegaskan bahwa landak termasuk sesuatu yang buruk, sedangkan yang buruk adalah haram berdasarkan ayat: “…Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al-A’raf, 7: 157).
Namun ada pula ulama yang menghalalkan landak, karena menilai hadits Ibnu Umar tersebut tidak bisa dijadikan hujjah, sebab tergolong dha’if (lemah). Diantara ulama hadits yang melemahkan hadits ini ialah Imam Al-Khithabi dan Al-Baihaqi.
Imam Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini hanya memiliki satu jalur periwayatan, dan padanya ada kelemahan.” Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan: “Landak tidak mengapa untuk dimakan, karena orang Arab berobat dengannya dan hadits yang menjelaskan pengharamannya adalah lemah. Imam ash-Shan’ani menerangkan sebab kelemahannya adalah identitas syaikh yang tidak diketahui (majhuul).
Selain karena hadits tentang pengharaman landak lemah, (tidak bisa dijadikan hujjah) mayoritas ulama juga berpegang kepada Kaidah Ushul “Asal hukum segala jenis makanan adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.” Dan kaidah lainnya: Al-Yaqinu La Yazulu Bisy-Syakki. (Sesuatu yang yakin tak bisa diubah oleh sebuah dugaan). Sehingga mereka memandang bahwa landak tidaklah diharamkan.
Selain itu, kehalalan hewan itu juga dapat ditinjau dari sisi “Thobi’ah As-Salimah”. Yaitu secara naluri manusia yang baik, apakah dapat menerima untuk mengkonsumsi binatang seperti landak itu, ataukah tidak. Dan menurut kami lebih cenderung untuk mengambil pendapat yang mengharamkan landak, karena termasuk khobaits, binatang yang menjijikkan. Perhatikanlah kandungan ayat yang menyebutkan: …wa yuharrimu ‘alayhimul khobaits… “Dan (Dia, Allah) mengharamkan bagi mereka segala hal yang menjijikkan (buruk)…” (Q.S. Al-A’raaf [7]:157).
Dipandang menjijikkan, terutama dari segi makanannya, habitatnya dan kesehariannya hidup di tempat-tempat yang kotor. Pada gilirannya tentu semua itu akan membentuk tubuh atau daging tubuhnya, yang kemudian digunakan untuk konsumsi.
Nah, dengan kondisi ada dua pendapat dengan dua perspektif hukum ini, dengan alasan-alasan yang pada hakikatnya juga tidak saling bertentangan, maka sebaiknya kita mengambil pendapat ihtiyaathi, bersifat hati-hati.