Mendengar istilah cangkang kapsul, erat kaitannya dengan obat dan suplemen, baik itu kimiawi ataupun herbal. Hal ini karena cangkang kapsul menjadi salah satu teknologi yang memiliki banyak manfaat. Dua diantaranya memudahkan konsumsi obat (utamanya karena aroma dan rasa pahit) serta melindungi obat dari udara dan cahaya (higroskopis).

Umumnya, cangkang kapsul terbuat dari gelatin atau rumput laut (karagenan). Ir. Chilwan Pandji, M.Apt.Sc., dosen di Fakultas Teknologi Industri, Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Dewan Pengawas LPPOM MUI, menjelaskan bahwa teknologi kapsul gelatin dipilih oleh para produsen farmasi karena unggul dalam ketersediaan hayatinya, selain lebih mudah dimodifikasi dari sisi biofarmasetiknya.

“Bahan baku gelatin umumnya adalah kulit dan tulang dari hewan mamalia, seperti sapi dan babi. Secara garis besar, sumber gelatin untuk pembuatan kapsul dibagi atas gelatin tipe A yang berasal dari kulit baik sapi dan babi dan gelatin tipe B yang berasal dari tulang baik sapi maupun babi,” terang Chilwan.

Sumber gelatin inilah yang menjadi titik kritis terbesar dari cangkang kapsul. Menurut Dr. Mala Nurimala, S.Pi., M.Si., Dosen Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikan dan Ilmu Kelautan, IPB University sekaligus peneliti di Halal Science Center IPB, gelatin adalah senyawa turunan protein yang diperoleh dengan cara mengekstrak kolagen hewan. Biasanya, gelatin berbentuk serbuk atau lembaran.

“Sayangnya, sampai saat ini, belum ada produsen yang memproduksi kolagen secara komersial di Indonesia. Hampir 60% penggunaan kolagen dan gelatin di dunia berasal dari babi,” ujar Mala. Oleh karena itu, Mala beserta timnya masih terus mengembangkan sumber alternatif kolagen dan gelatin halal yang berasal dari kulit ikan.

Selain dari sumbernya, titik kritis kehalalan gelatin selanjutnya terletak pada saat proses ekstraksi. Terdapat beberapa cara dalam mengekstraksi kolagen menjadi gelatin, yaitu dengan metode asam, basa, dan enzimatis. Karena itu, sumber dan kehalalan jenis pelarut harus dipastikan.

Jika kolagen diekstrak menggunakan enzim, maka enzim yang akan digunakan adalah enzim protease yang dapat memecah protein. Namun, selama ini enzim protease yang banyak dijual berasal dari babi, seperti pepsin.

Karena itu, butuh pengetahuan dan metode pendukung yang akurat untuk dapat mengetahui setiap bahan yang digunakan dalam pembuatan gelatin. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan analisis laboratorium untuk mengidentifikasi DNA babi dan protein spesifik babi.

“Hasil analisis lab itu dapat memberikan keyakinan dan kenyamanan dengan pembuktian secara ilmiah, dalam proses sertifikasi halal. Sehingga, dapat menepis gugatan yang mungkin terjadi dari pihak-pihak yang berkepentingan,” ujar Ir. Muti Arintawati, M.Si., Wakil Direktur LPPOM MUI.

Atas dasar itu semua, penting bagi umat muslim untuk benar-benar menyeleksi produk-produk yang akan dikonsumsi, termasuk obat dan suplemen. Kini, menyeleksi produk halal sudah bukan menjadi hal yang rumit. LPPOM MUI menyajikan daftar produk halal melalui website www.halalmui.org dan aplikasi Halal MUI. Keduanya dapat diakses masyarakat dengan mudah dan transparan. (YN)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.