Search
Search

Krisis Etika Kuliner, Ketika Restoran Klaim Halal Tanpa Sertifikat 

Krisis Etika Kuliner, Ketika Restoran Klaim Halal Tanpa Sertifikat

Ketika restoran klaim halal tanpa sertifikat resmi, konsumen Muslim berada dalam risiko besar terpapar produk yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Di tengah meningkatnya kesadaran halal di Indonesia, klaim yang menguatkan  adanya krisis etika kuliner ini semakin menemukan momentumnya akan pentingnya upaya transparansi, kejujuran, dan perlindungan hak konsumen dari pelaku usaha. Bukan hanya sebagai bagian dari etika bisnis, tetapi termasuk juga sebagai kewajiban pelaku usaha dalam mematuhi regulasi yang berkonsekuensi hukum. 

Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap konsumsi halal, munculnya restoran yang mengklaim halal tanpa sertifikasi resmi menjadi sorotan tajam. Fenomena ini bukan hanya menimbulkan keresahan di kalangan konsumen Muslim, tapi juga membuka diskusi lebih luas tentang etika dalam bisnis kuliner. 

Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM, Muti Arintawati, menyoroti betapa pentingnya keterbukaan informasi dari pelaku usaha, terlebih dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Pihaknya menyayangkan, karena masih ditemukan restoran klaim halal sepihak bahkan ada juga yang secara sengaja menyembunyikan fakta bahwa mereka menggunakan bahan tidak halal ketika melayani konsumen Muslim yang identitas keagamaannya sangat jelas.  

“Ini bukan sekadar persoalan administratif, tapi pelanggaran terhadap hak konsumen untuk memperoleh informasi yang jujur dan jelas, sebagaimana dijamin dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999,” tegas Muti.  

Menurutnya, masyarakat Indonesia yang plural dan toleran sebenarnya tidak mempermasalahkan keberadaan restoran non-halal, asalkan informasi mengenai jenis dan fakta tentang  menu atau produk yang dijual disampaikan secara jujur dan transparan, termasuk soal status ketidakhalalan produk. “Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang produk yang dikonsumsi,” ujar Muti. 

 Keterangan Non-halal: Wajib dan Bukan Pilihan 

Kewajiban transparansi ini juga diperkuat oleh regulasi terkini, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diperbarui melalui UU no. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan diperjelas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024. Regulasi ini mengamanatkan bahwa produk yang tidak halal wajib mencantumkan label atau keterangan non-halal  secara jelas. Sayangnya, masih ada pelaku usaha yang melalaikan kewajiban ini. 

“Kami berharap pemerintah memberikan tindakan tegas terhadap restoran yang menyembunyikan informasi terkait produk tidak halal sehingga merugikan konsumen,” tegas Muti. Ia menambahkan, ketidakjujuran dalam hal ini bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mencederai etika bisnis dan kepercayaan publik. 

Sebagai bentuk tanggung jawab sosial, LPH LPPOM menyerukan dua langkah konkret. Pertama, pemilik restoran harus memberikan penandaan jelas terhadap produk non-halal yang mereka jual. Kedua, pelaku usaha diimbau untuk segera mengikuti proses sertifikasi halal resmi sesuai aturan yang berlaku. Tenggat waktu yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah Oktober 2024 untuk pelaku usaha menengah dan besar, serta Oktober 2026 untuk pelaku usaha kecil dan mikro. 

Di lansir dari Detik.com, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Ahmad Haikal Hasan, turut menegaskan bahwa produk non-halal tetap bisa diperjualbelikan asalkan mencantumkan label atau keterangan tidak halal secara jelas. “Label atau keterangan tersebut harus mudah terlihat melalui teks, gambar, atau indikator visual pada kemasan produk,” tegasnya.  

Sertifikasi Halal, Perlindungan Nyata dari Haram dan Syubhat 

Lebih lanjut, Muti Arintawati menjelaskan bahwa proses sertifikasi halal bukan sekadar formalitas, melainkan jaminan nyata terhadap kehalalan sebuah produk. Sertifikat halal menandakan bahwa produk tersebut telah melewati serangkaian pemeriksaan terkait bahan baku, fasilitas produksi, produk hingga penerapan sistem jaminan produk halal. 

“Produk halal hanya dihasilkan dari bahan-bahan yang tidak diragukan kehalalannya, dan diproses pada fasilitas yang bebas dari kontaminasi bahan haram dan najis,” jelasnya. Audit yang dilakukan oleh auditor halal tidak hanya mengandalkan dokumen, tapi juga observasi langsung saat proses produksi berlangsung. Hal ini penting untuk memastikan tidak ada bahan yang mencurigakan maupun kontaminasi yang bisa menggugurkan kehalalan produk. 

Dalam konteks  produk non-halal, Muti menyebut bahwa adanya  keterangan  non-halal memberikan kejelasan dan kepastian bagi konsumen. “Adanya klaim non-halal pada sebuah produk justru jauh lebih baik daripada produk yang sesungguhnya haram tapi tidak memberikan informasi apa pun sehingga dapat menyesatkan konsumen muslim,” tegasnya. 

Etika kuliner tidak boleh hanya berbicara soal rasa dan estetika, tetapi juga kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab moral. Dengan adanya regulasi yang makin ketat, dukungan pemerintah, serta kesadaran masyarakat yang meningkat, ekosistem kuliner di Indonesia diharapkan menjadi lebih sehat, jujur, dan ramah terhadap hak-hak konsumen, khususnya umat Islam yang memiliki kebutuhan khusus terhadap kehalalan pangan. 

Ke depannya, semangat himmayatul ummah atau perlindungan umat dari yang syubhat dan haram harus menjadi prinsip utama dalam membangun industri kuliner yang berintegritas. Karena dalam dunia yang serba instan, kejelasan justru menjadi keniscayaan. (YN) 

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?