Oleh Prof. Khaswar Syamsu, PhDÂ
Kepala Pusat Sains Halal IPBÂ
Rumah Potong Hewan (RPH) baik untuk ruminansia (RPH-R) maupun untuk unggas (RPH-U), merupakan mata rantai pertama dalam rantai pasok halal untuk produk daging dan turunan daging. Apa kendala yang dihadapi dan bagaimana solusinya? Â
Tenggat waktu kewajiban sertifikasi halal untuk makanan, minuman, bahan makanan minuman serta jasa terkait makan minuman seperti restoran, logistik (penggudangan dan transportasi) serta hasil sembelihan dan jasa penyembelihan (Rumah Pemotongan Hewan) semakin mendekat.
Apabila sampai tanggal 17 Oktober 2024, pelaku usaha jasa penyembelihan (RPH), pelaku usaha makanan dan minuman, serta pelaku usaha bahan untuk makanan dan minuman tidak memiliki sertifikat halal maka tentunya akan ada sanksi mulai dari teguran sampai kepada pencabutan izin operasional. Tenggat waktu ini sesungguhnya sudah tertunda karena menurut UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, kewajiban sertifikasi halal ini semestinya sudah dilakukan sejak tahun 2019, yaitu 5 tahun sejak regulasi ini diundangkan.
Rumah Potong Hewan (RPH), baik untuk ruminansia (RPH-R) maupun untuk unggas (RPH-U), merupakan mata rantai pertama dalam rantai pasok halal untuk produk daging dan turunan daging. Ketika daging dari RPH tidak halal maka produk daging dan turunan daging di industri hilir juga menjadi tidak halal. Oleh karena itu, sertifikasi halal RPH akan memudahkan dan memecahkan sebagian besar masalah sertifikasi halal produk daging dan turunan daging di industri hilir, termasuk produk produk usaha mikro kecil dan menengah yang menggunakan bahan daging atau produk turunan dari daging.
Berdasarkan data dari KNEKS (2024), dari 566 RPH Ruminansia se-Indonesia, baru 144 RPH Ruminansia (25%) yang telah memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner), dan baru 72 RPH Ruminansia (13%) yang telah memiliki NKV sekaligus sertifikat halal. Data terbaru dari BPJPH yang diakses 17 Juni 2024 dari website bpjph.halal.go.id, baru sebanyak 36 RPH yang telah mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH, sedangkan data dari LPPOM yang diakses pada tanggal yang sama, baru 19 Jasa Penyembelihan (RPH) yang telah mendapatkan sertifikat halal yang diperiksa oleh LPH LPPOM.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (2024), jumlah RPH Ruminansia besar dan Kambing/Domba ada sebanyak 587 RPH. Sebanyak 149 RPH (25%) telah memiliki NKV dan sebanyak 130 RPH (22%) telah memiliki sertifikat halal. Data yang berbeda beda dari instansi yang berbeda ini perlu disinkronkan agar didapatkan data yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Persentase yang lebih besar diperoleh pada RPH Unggas. Dari 314 RPH Unggas se-Indonesia, sebanyak 213 RPH Unggas (68%) telah memiliki NKV dan 180 RPH Unggas (57%) yang telah memiliki NKV sekaligus sertifikat halal. Angka yang hampir sama juga dirilis oleh Kementerian Pertanian. Persentase RPH Ruminansia dan RPH Unggas yang telah memiliki sertifikat halal masih jauh dari anggka 100 persen sebelum tenggat waktu 17 Oktober 2024.
Persentase ini akan jauh lebih kecil lagi apabila Tempat Pemotongan Hewan/Unggas (TPH/TPU) tidak resmi yang berada di kampung kampung atau di pasar pasar tradisional yang tentu saja tidak memiliki NKV dan Sertifikat Halal ikut diperhitungkan. Sebagian besar TPH/TPU di daerah pemukiman atau pasar tradisional tidak atau belum memenuhi standar halal, higienis dan sanitasi.
Dalam jangka panjang, TPH/TPU yang ada perlu bertransformasi menjadi tempat pemotongan resmi, yaitu berupa RPH yang memenuhi standar halal, higienis dan sanitasi. Oleh karena itu, strategi dan upaya yang serius diperlukan untuk percepatan sertifikasi halal RPH dengan menganalisis kendala yang ditemukan serta solusi untuk mengatasi kendala tersebut.
Penyebab pertama kenapa masih rendahnya jumlah RPH yang bersertifikat halal adalah masih kurangnya pemahaman tentang standar halal serta regulasi dan prosedur sertifikasi halal. Banyak pelaku usaha daging yang belum memahami secara mendalam tentang standar halal, sehingga mereka kesulitan untuk memenuhi persyaratan sertifikasi halal. Edukasi dan sosialisasi regulasi dan prosedur sertifikasi halal RPH perlu dilakukan secara masif oleh BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal, dan Pusat Pusat Sains Halal di Perguruan Tinggi.
Sertifikasi halal RPH tidak hanya harus memenuhi kaidah halal tetapi juga thayyib. Pemenuhan aspek thayyib dapat diwakili dari kepemilikan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yang telah mempertimbangkan aspek keamanan pangan dan higien, sanitasi dan kesehatan masyarakat, serta kesehatan dan kesejahteraan hewan.
Untuk RPH Ruminansia, baru sekitar 25% RPH-R yang sudah memiliki NKV, dan baru sekitar 13% RPH-R yang telah sekaligus memiliki NKV dan Sertifikat Halal. Sedangkan untuk RPH Unggas, baru sekitar 68% RPH-U yang telah memiliki NKV dan baru 57% RPH-U yang telah memiliki NKV sekaligus sertifikat halal. Karena sertifikasi halal RPH harus memenuhi aspek halal dan thayyib, maka prioritas untuk pengurusan sertifikat halal perlu diutamakan kepada RPH yang sudah memiliki NKV untuk selanjutnya disertifikasi halal sehingga dapat meningkatkan jumlah RPH yang tersertifikasi halal dalam waktu singkat.
Penyebab utama RPH yang sudah memiliki NKV tapi belum memenuhi persyaratan untuk sertifikasi halal adalah karena belum adanya Juru Sembelih Halal (Juleha) dan Penyelia Halal yang lulus pelatihan dan uji kompetensi yang dipersyaratkan dalam proses sertfikasi halal. Oleh karena itu, percepatan sertifikasi halal RPH perlu diprioritaskan pada RPH yang telah memiliki NKV melalui peningkatan jumlah Juru Sembelih Halal dan Penyelia Halal bersertifikat kompetensi.
Pelatihan Juru Sembelih Halal dan Penyelia Halal RPH dapat dilakukan Lembaga Pelatihan atau Pusat Sains Halal di Perguruan Tinggi yang diakui oleh BPJPH; serta uji kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) mewakili Badan Nasional Sertifkasi Profesi yang telah diakui. Pelatihan dan uji kompetensi juru sembelih halal dan penyelia halal tentu saja memerlukan biaya pelatihan dan biaya uji kompetensi.
Selain itu, dana untuk perbaikan fasilitas RPH juga diperlukan agar memenuhi syarat untuk mendapatkan NKV. Oleh karena itu, dukungan alokasi anggaran diperlukan, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk mendukung sertifikasi halal RPH melalui peningkatan jumlah juru sembelih halal dan penyelia halal yang kompeten serta perbaikan infrastruktur di RPH agar memenuhi standar halal, higienis dan sanitasi. Keterlibatan lembaga keuangan syariah dalam mendukung ekosistem RPH Halal dan penguatan rantai nilai halal juga perlu didorong.
Komitmen sebagian besar Kepala Daerah untuk revitalisasi dan sertifikasi halal RPH dirasa masih kurang karena rendahnya biaya retribusi dari RPH untuk Pemerintah Daerah. Bahkan penghasilan RPH sendiri umumnya tidak mampu menutupi biaya operasional dan keberlanjutan RPH. Karena itu, Pemerintah Daerah perlu menjadikan RPH sebagai suatu Unit Usaha atau BUMD yang profesional agar bisa swadaya membiayai biaya operasional dan keberlanjutan RPH.
Untuk tahap awal menuju RPH yang memenuhi syarat untuk mendapatkan NKV dan Sertifikat Halal, diperlukan dana awal baik dari Pemeritah (Pusat atau Daerah) maupun dukungan dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dari lembaga keuangan syariah, perusahaan swasta atau lembaga lain yang relevan. Wallahualam. (***)
Artikel ini tercantum dalam Jurnal Halal LPPOM Edisi 168, dapat diakses pada link https://halalmui.org/jurnal-halal/168/