Oleh: Ir. Hendra Utama, MM
Communication Advisor of LPPOM MUI
Tren yang sedang terjadi pada saat ini adalah bermunculan dapur-dapur maya atau dapur nirwujud (ghost/cloud/dark/virtual kitchen). Mereka ada diantara tiada, berwujud dalam bentuk ketidakberwujudan. Eksistensi formal seakan kehilangan tuahnya. Mungkinkah dapur model baru ini disertifikasi halal?
Ghost/cloud/dark/virtual kitchen adalah fasilitas persiapan dan memasak makanan profesional yang disiapkan untuk menyiapkan makanan khusus pengiriman. Mereka tidak termasuk etalase atau tempat duduk dalam ruangan untuk pelanggan. Berbeda dari restoran virtual, ghost kitchen bukanlah merek restoran itu sendiri, bahkan mungkin berisi ruang dapur dan fasilitas untuk lebih dari satu merek restoran.
Dari sisi bisnis, di tengah dunia yang penuh dengan ketidakpastian, ada beberapa keuntungan dengan pilihan ghost kitchen. Pertama, dari segi biaya sewa tempat, mungkin lebih rendah karena bisa memilih tempat yang lebih murah atau mengecilkan ukuran fasilitasnya, atau malah bisa nol karena dikerjakan di rumah sendiri.
Kedua, dari segi risiko tentu lebih rendah, karena sumber daya yang dikorbankan berbiaya rendah—kalaupun gagal tingkat kerugian bisa ditekan. Ketiga, lebih mudah beradaptasi ketika pilihan produk yang pertama tidak berjalan atau tidak diminati pasar, bisa beralih (switch) dengan cepat untuk mencari produk yang lebih dibutuhkan atau disukai konsumen.
Mendeteksi kehadiran dapur tanpa wujud ini di Indonesia bisa melalui fakta yang sedang berkembang pada saat ini. Salah satu perusahaan yang mengaku (self-claim) dirinya sebagai dapur nirwujud nomor satu di Indonesia, melalui situsnya menawarkan banyak pihak untuk bergabung dalam gerbong bisnis mereka. Perusahaan ini jeli menawarkan fasilitas dapurnya, yang bisa digunakan bagi peminat untuk membuat produk food and beverage (F&B) tertentu di fasilitas dapur yang ditawarkan tersebut.
Dalam praktik industri, pemilik produk yang tidak ingin mengorbankan banyak sumber daya dan menghindari risiko tinggi akan mencari pemilik fasilitas maklon tanpa perlu menginstal fasilitas sendiri. Sementara itu, perusahaan peneydia jasa ghost kitchen menawarkan fasilitas dapur sebagai sarana berproduksi.
Prinsip keduanya serupa; pemilik produk berkerjasama dengan pemilik fasilitas untuk membuatkan produk si pemesan. Pemilik produk tinggal hanya memikirkan rancangan, resep/formula dan bahan atau ingredient yang digunakan.
Bicara tentang restoran secara fisik, rancangan sesungguhnya terdiri atas tiga zona, yaitu front of house (area pengunjung menyantap hidangan), point of sale (area membayar pesanan), dan back of house (area dapur dan gudang penyimpanan). Dalam konteks ghost kitchen, maka zona yang ada hanyalah back of house dan point of sale saja. Dengan konsep ini, pembeli tidak perlu datang ke lokasi, melainkan dapat menggunakan aplikasi daring pengantar makanan.
Sebagai premis/fasilitas olahan pangan, maka perusahaan seperti dapur ini—baik untuk kepentingan hotel, restoran, maupun katering—termasuk dalam objek yang wajib melakukan proses sertifikasi halal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Sebagai pengelola ghost kitchen, maka produknya bisa dikategorikan jasa. Sementara, pemilik produk bisa dikategorikan sebagai produsen. Dalam regulasi yang mewajibkan sertifikasi halal, maka kerjasama keduanya bisa diatur dan memberikan peran yang berbeda dalam menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH), tergantung siapa yang mempunyai peran lebih besar dalam mengelola risiko sebuah aktivitas kritis, sehingga status kehalalan produk yang dihasilkan senantiasa terjaga sepanjang berlakunya sertifikat halal.
Sertifikasi halal ghost kitchen dapat dilakukan melalui Lembaga Pemeriksa Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPH LPPOM MUI), yang telah memperoleh sertifikat akreditasi SNI ISO/IEC 17065:2012 dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan diakui oleh Lembaga Akreditasi di Timur Tengah, Emirates Authority for Standardization and Metrology (ESMA).
Kewajiban sertifikasi halal untuk produk pangan sudah dimulai sejak tahun 2019 secara bertahap; namun masih diberi kesempatan untuk melakukan proses sertifikasi halal hingga 2024. Artinya tanpa sertifikat halal, sebuah perusahaan pangan tidak bisa berjualan, kecuali produk perusahaan jelas-jelas tidak halal dan itu harus dinyatakan “produk tidak halal” pada kemasannya. (*)