Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) beserta perubahannya merupakan langkah dan upaya pemerintaha Indonesia untuk mewujudkan Indonesia menjadi pusat halal dunia. Tentu ini bukan hal yang tak mungkin, mengingat Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mewujudkan hal tersebut.

Berdasarkan State of the Global Islamic Economy Report 2022, Indonesia menjadi 4 negara teratas dalam ekosistem ekonomi Islam yang kuat, posisi teratas sebagai negara food consumer market (2021) dengan nilai pembelanjaan 145,7 miliar US, berada di posisi 7 dari 10 negara pengekspor pangan halal ke negara OKI, posisi nomor 2 dari 10 negara OKI yang melakukan impor produk halal.

Sayangnya, implementasi regulasi JPH tidak selalu mulus. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), yang mencantumkan beberapa perubahan terakhir regulasi JPH, Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia (ALPHI) menemukan beberapa catatan yang kemudian diangkat dalam Focus Group Discussion (FGD) dan workshop bertema “Bersinergi Memperkuat Regulasi Ekosistem Halal untuk Perlindungan Konsumen Muslim”. Kegiatan ini diselenggarakan pada 21 September 2023 di Hotel Shangri-La, Jakarta. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) hadir dan mendukung terselenggaranya acara ini.

“Ada enam poin besar yang dibahas dalam FGD ini. Nantinya, hasil hari ini akan kami usulkan untuk perubahan UU Ciptaker. Diantaranya meliputi pelaksanaan skema self declare, kewenangan sidang fatwa mui, konflıks kepentıngan, masa berlaku sertfıkat halal, pemerıksaan kehalalan produk, serta sertifikasi halal luar negeri,” jelas Ketua ALPHI, Ir. Elvina A. Rahayu, MP.

Pertama, pelaksanaan skema self declare (SD). Skema ini dirasa masih diperlukan untuk membantu para pelaku usaha mikro (ultra mikro) kecil di Indonesia, karena pembiayaannya dibayarkan oleh pemerintah. Meski begitu, pelaksanaanya perlu memperhatikan beberapa poin. Salah satunya, harus ada sanksi yang adil bagi entitas yang ada di mekanisme SD jika ditemukan kecurangan.

Kedua, kewenangan Sidang Fatwa MUI. Salah satu yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah penambahan nomenklatur Komite Fatwa Produk Halal untuk proses sertifikasi dengan skema SD. Namun, lembaga tersebut dapat melakukan fungsi penetapan fatwa jika komisi fatwa MUI tidak melakukan proses penetapan dalam waktu SLA yang ditetapkan selama 3 hari. Karenanya, ALPHI mengusulkan adanya pengaturan mekanisme komunikasi antara Komisi Fatwa MUI dengan BPJPH serta intern MUI Pusat/Provinsi/Kota/Kabupaten dan MPU terkait kesepakatan waktu sidang fatwa dan menyampaikan kendala yang terjadi jika waktu yang ditetapkan tidak tercapai, sebelum melakukan pengalihan ke Komite Fatwa Produk Halal.

Ketiga, konflıks kepentıngan. Regulasi JPH yang ada menjadikan BPJPH dan MUI sebagai lembaga sertifikasi. Untuk menghindari konflik kepentingan dan ketidakberpihakan, maka konflik kepentingan tidak hanya terbatas pada LPH melainkan semua entitas yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, yaitu BPJPH, Komisi Fatwa MUI, Komite Fatwa Produk Halal, LPH.

Keempat, masa berlaku sertfıkat halal. UU Ciptaker, Pasal 25 dan 42 menyampaikan bahwa masa berlaku SH tidak diberlakukan, kecuali jika ada perubahan komposisi bahan dan/atau Proses Produk Halal (PPH) serta dilaporkan ke BPJPH. Untuk menyamakan persepsi pelaksanaan terkait komposisi bahan dalam perspektif kehalalan maka ALPHI mengusulkan beberapa poin. Salah satunya berkaitan dengan dilakukannya surveillance. Bagi usaha mikro dan kecil, surveillance dilakukan setahun sekali dengan melaporkan tidak ada perubahan komposisi bahan dan PPH serta sampling audit/uji petik oleh BPJPH. Sementara bagi usaha menengah dan besar serta luar negeri dilakukan surveillance setahun sekali dengan biaya dari pelaku usaha oleh LPH di mana pemeriksaan dilakukan.

Kelima, pemerıksaan kehalalan produk. Dalam rangka efisiensi biaya pelaksanaan audit dengan tetap menjaga jaminan produk halal tetap terjaga, maka diperlukan beberapa aturan baru. Salah saatunya aturan dalam sampling untuk pabrik/outlet yang serupa n dengan mengadopsi IAF MD 1: 2018, Issue 2, date 29 Januari 2018 – IAF Mandatory Document for the Audit and Certification of a management System operated by a multi-site organization, Chapter 6. Methodologies khususnya 6.1.1.1 “Sampling of a set of sites is permited where the sites are each performing very similar processes/activities”. Pengaturan ini tentu tetap mempertimbangkan keseragaman dan konsistensi pelaksaan SJPH di organisasi multisite.

Keenam, Sertifikasi Halal Luar Negeri. Halini berkaitan dengan dukungan ALPHI atas Indonesia menjadi pusat halal dunia serta proteksi pada produk UMK yang jumlahnya mencapai 64 juta pelaku UMK. Sehingga diharapkan ada aturan terkait saling pengakuan hanya untuk sertifikat halal bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, dan hasil sembelihan dari Lembaga Halal Luar Negeri. Sedangkan untuk sertifikat halal produk (akhir) harus melalui BPJPH.

“Seluruhnya, kami harapkan dapat menjadi solusi atas segala permasalahan sertifikasi halal yang tengah ada saat ini. Tentunya ini juga merupakan bentuk dukungan ALPHI dalam mendukung upaya pemerintah dalam mewujudkan ekosistem halal yang baik di Indonesia,” ungkap Elvina. (***)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?