Search
Search

Inilah Fakta Perhitungan Biaya Sertifikasi Halal

  • Home
  • Berita
  • Inilah Fakta Perhitungan Biaya Sertifikasi Halal

Kelahiran Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) berawal dari adanya penugasan pemerintah kepada MUI untuk meredakan kasus lemak babi yang terjadi pada tahun 1988. Untuk melaksanakan tugas tersebut sekaligus menenteramkan batin umat Islam dalam mengkonsumsi produk pangan olahan, MUI membentuk lembaga semi otonom, yakni LPPOM MUI, pada 6 Januari 1989.

Lembaga yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan kehalalan produk ini bukanlah instansi atau lembaga pemerintah. Karena itu, dalam menjalankan pemeriksaan kehalalan produk, LPPOM MUI tidak mendapatkan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), selama 30 tahun terakhir proses sertifikasi halal dilakukan secara suka rela oleh pihak perusahaan.

“Hal ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan memenuhi tuntutan konsumen muslim yang menghendaki produk yang terjamin halal,” terang Direktur LPPOM MUI, Dr. Ir. Lukmanul Hakim, M.Si.

Meski begitu, untuk pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), LPPOM MUI kerap menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah dalam bentuk fasilitasi pembiayaan.

Di luar dari itu, LPPOM MUI dalam menjalankan tugas dan fungsinya memang mengutip pembiayaan dari perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal.

“Hal ini sama halnya dengan lembaga sertifikasi lainnya, misal sertifikasi mutu maupun sertifikasi lainnya. Namun, besaran biaya sesuai dengan skema yang telah disepakati oleh pihak perusahaan yang dituangkan dalam akad,” jelas Lukmanul.

Sementara itu, untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan, LPPOM MUI telah pula ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga LPPOM MUI harus dan telah memenuhi semua aturan dan ketentuan perpajakan yang berlaku, termasuk Laporan Keuangan LPPOM MUI yang harus diperiksa oleh akuntan publik.

Mengingat proses sertifikasi halal dilakukan secara suka rela dan pendaftarannya dilakukan secara online dan transparan serta dituangkan dalam bentuk akad yang ditandatangani oleh pihak perusahaan, maka tuduhan dan anggapan akan adanya mafia dalam pembuatan sertifikasi halal adalah fitnah dan merupakan pencemaran nama baik MUI maupun LPPOM MUI sebagai lembaga yang secara sah diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adapun biaya sertifikasi halal LPPOM MUI meliputi biaya pendaftaran, biaya audit, analisis laboratorium (jika diperlukan analisis laboratorium), serta biaya sosialisasi dan edukasi halal. Komponen biaya tersebut sudah diketahui oleh pihak pemohon sertifikat halal sejak awal melakukan pendaftaran secara online melalui Sistem Sertifikasi Halal Online LPPOM MUI (Cerol-SS23000).

“Perlu ditekankan bahwa basis perhitungan biaya sertifikasi halal dilakukan per sertifikat halal, bukan jumlah item produk. Penjelasan ini perlu disampaikan mengingat masih ada sementara pihak yang berasumsi bahwa sertifikasi halal dihitung berdasarkan jumlah produk seperti halnya label cukai. Misal cukai minuman, rokok, dan sejenisnya,” ujar Lukmanul. (*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.