Oleh:

Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat)

Dr.K.H. Abdul Halim Sholeh, M.A. (Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Ustadz, ada saudara terkena penyakit jantung. Kemudian berlanjut jadi terkena stroke. Jika menjalani pengobatan secara medis kedokteran, sudah dihitung, pasti memerlukan biaya yang sangat besar untuk mengobati penyakit jantung dan stroke tersebut.

Maka kami berusaha mencari alternatif untuk mengobatinya. Lalu kami mendapat informasi tentang adanya obat herbal yang diklaim dapat mengurangi kadar penyakit jantung dan stroke tersebut. Namun setelah diteliti, ternyata obat tersebut mengandung bisa atau racun dari sengat kalajengking.

Memang bisa kalajengking itu mengandung enzim racun yang berbahaya bila mengena langsung ke urat darah. Namun menurut para ahli, bila dikonsumsi dan digunakan dalam dosis tertentu yang tepat, enzim-enzim pada bisa kalajengking itu justru dapat bermanfaat untuk pengobatan dan kesehatan manusia.

Lebih tegas lagi, ada yang menyebutkan, racun kalajengking itu dapat digunakan sebagai obat, karena memiliki potensi antitumor, untuk menangani berbagai keganasan seperti neruoblastoma, leukimia bahkan juga kanker otak. Bahkan beberapa waktu lalu juga ada pejabat negara yang menganjurkan untuk melakukan budidaya kalajengking, untuk digunakan sebagai bahan obat. Karena memiliki nilai komoditi yang sangat tinggi.

Mendapatkan kenyataan semacam itu, kami pun menjadi bingung. Maka dengan ini kami minta penjelasan kepada pa’ Ustadz tentang hukum mengkonsumsi dan menggunakan obat yang mengandung bisa atau racun dari sengat kalajengking itu. Atas jawaban dan penjelasan dari bapak Ustadz, saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya. Wal-hamdulillahi robbil ‘alamin.

Wassalamualaikum wr. wb.

Umar, Serpong

Jawaban:

Pertama-tama dapat dijelaskan, berobat itu merupakan bentuk tawakkal, berserah diri kepada Allah, dengan aktif berusaha mengatasi penyakit, yang diperintahkan agama. “Karena hakikat tawakkal adalah bersandarnya hati kepada Allah untuk meraih hal-hal yang bermanfaat, dan menolak hal-hal yang membahayakan bagi seorang hamba dalam urusan dunia maupun akhiratnya. Namun, penyandaran hati itu harus disertai dengan melakukan usaha. Bila tidak, maka berarti menentang kebijaksanaan dan syari’at Allah. (Lihat Zaadul Ma’aad, 4: 11).

Tapi berobat tentu harus dengan bahan yang halal. Tidak boleh dengan yang haram. Perhatikanlah perintah Nabi saw. dalam hadits yang bermakna, “Berobatlah wahai hamba Allah, karena Allah tidak menimpakan suatu penyakit kecuali Dia pula menjadikan obat baginya, kecuali satu peyakit, yaitu kematian.” (HR. Bukhari). Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abud Darda’, Nabi saw. menegaskan, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan juga obatnya. Allah menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah, namun jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud).

Menurut para Fuqoha, ulama ahli Fiqh, Kalajengking (Scorpiones) itu termasuk kategori binatang yang memiliki bisa/racun, yang membahayakan. Bahkan dapat berakibat fatal. Dan haram dikonsumsi, berdasarkan nash yang Sharih; jelas dan tegas. Dalam hadits disebutkan, Rasulullah saw. memerintahkan untuk membunuhnya tanpa memberikan keterangan untuk memanfaatkan dagingnya supaya dikonsumsi.

Padahal makhluk Allah tidak boleh dibunuh kalau akan disia-siakan, atau tidak dimanfaatkan. Perhatikanlah Rasulullah saw. bersabda, dalam haditsnya yang mulia, diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. memerintahkan untuk membunuh dua hewan yang berwarna hitam ketika shalat (yaitu): Kalajengking dan ular.” (HR. Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Bahkan binatang berbahaya ini boleh dibunuh, meski sedang Ihram di Tanah Suci. Diriwayatkan dari Aisyah, Nabi Saw. bersabda, “Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Sulaiman bin Shalih al-Khurasyi dalam kitabnya Al-Hayawanaat; Maa Yu’kal wa Maa Laa Yu’kal, menyebutkan tentang pendapat yang shahih, bahwa setiap binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, maka dagingnya haram dimakan. Maksud dibunuh di sini adalah dibunuh tanpa sebab yang dibenarkan syariat, yaitu disembelih sesuai dengan kaidah syariah.

Karena seandainya diperbolehkan mengambil manfaat dengan cara memakan dagingnya, tentu Nabi saw. tidak akan memerintahkan untuk membunuhnya. (Lihat: Adwa’ al-Bayan, Syaikh Muhammad Amin al-Syinqithi: 2/273). Lebih tegas lagi, Imam al-Nawawi mengatakan, “Binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, maka dagingnya haram dimakan.” (Al-Majmu’, Imam Al-Nawawi: 9/22).

Dalam Kaidah Fiqhiyyah disebutkan ungkapan, “Ma yatawalladzu minhu”  (apa yang keluar atau dikeluarkan darinya, hewan tersebut). Yakni kalau seekor hewan telah dinyatakan haram dengan nash yang Sharih, maka apa yang keluar atau dikeluarkan darinya (hewan tersebut) tentu juga haram hukumnya untuk dimanfaatkan atau (apalagi) dikonsumsi.

Dengan demikian, jika dinyatakan dengan tegas bahwa kalajengking itu haram untuk dimanfaatkan atau dikonsumsi, maka haram pula apa yang keluar atau dikeluarkan darinya (hewan tersebut), berupa bisa/racunnya, dll.

Namun dalam ketentuan hukum ada kaidah “Maa min ‘aamin illa lahu khoosh”. Maksudnya, setiap ketentuan yang bersifat umum, selalu ada pengecualian yang bersifat khusus. Sehingga ketentuan yang bersifat umum dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang bersifat khusus. Maka kalau tidak ada obat yang halal, sedangkan penyakit yang diderita sangat berbahaya, bisa bertambah parah, atau dapat menyebabkan cacat permanen, atau bahkan kematian, maka itu merupakan kondisi darurat.

Berkenaan dengan bisa/racun kalajengking untuk obat, maka ada beberapa pendapat ulama. Ada yang berpendapat dibolehkan kalau tidak ditemukan obat lain sesuai dengan tingkat ekonominya. Misalnya, ada obat, tetapi harganya sangat mahal, sementara orang yang sakit itu miskin, dan tidak mampu untuk membeli obat yang mahal tersebut.

Di sini ada dua masalah sekaligus yang tak terpisahkan, yang tergabung dengan kondisi darurat. Yakni kondisi si penderita dalam keadaan kritis. Kalau tidak diobati, niscaya akan terancam keselamatan jiwanya, atau penyakitnya bertambah parah. Juga tidak ada obat yang halal, atau ada obat, tetapi harganya sangat mahal, yang tidak mungkin mampu untuk membelinya. Maka itu semua termasuk kondisi darurat.

Lebih lanjut lagi, perlu dipahami perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan benda najis dan haram. Ada ulama yang mengharamkannya dengan tegas, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Pendapat ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan Allah atasmu.” (HR. Bukhari dan Baihaqi). Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw. bersabda pula, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud).

Namun ada pula pendapat yang membolehkan sementara, penggunaan obat dari bahan yang haram. Tapi kebolehan ini terbatas hanya dalam keadaan darurat, seperti pendapat Yusuf Al-Qaradhawi. Sebagaimana telah pula dijelaskan di atas.

Mengenai mengkonsumsi bisa kalajengking sebagai obat, penjelasannya sama dengan yang di atas. Namun dengan penekanan harus sangat berhati-hati. Jangan sampai terjadi, ingin berobat dengan menggunakan bahan ini, tetapi malah mengundang bahaya yang berlipat-ganda. Yakni bahaya penyakit yang belum tentu dapat sembuh, ditambah lagi dengan risiko bahaya bisa kalajengking sebagai racun yang sejatinya memang harus dihindarkan.

Tentu aspek bahaya dan/atau manfaat ini harus didasarkan pada bukti hasil penelitian ilmiah kedokteran yang dapat dipertanggung-jawabkan secara medis-klinis. Bukan berdasarkan katanya-katanya, yang tidak jelas sumbernya. Perhatikanlah makna ayat yang mengingatkan kita: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. 16:43). Dan ayat seperti ini diulang lagi di surat Al-Anbiyaa’ (21) ayat: 7). Ini menunjukkan tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan kita.

Bagaimanapun juga, secara sederhana, kita patut mengingatkan dan menyarankan, agar mengkonsumsi atau menggunakan obat yang telah jelas kehalalannya. Jangan berbuat yang menyerempet-nyerempet risiko bahaya, atau yang tidak jelas (dianggap meragukan) status kehalalannya. Karena mengkonsumsi yang halal itu merupakan perintah agama yang harus/wajib diikuti, dengan tanggung-jawab dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bimurodih. (*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.