Diasuh oleh: Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs. K.H. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si (Ketua MUI Pusat).

Buah pala sejak lama terkenal di beberapa daerah. Buah ini banyak dikonsumsi masyarakat dalam bentuk bumbu masak atau camilan seperti manisan pala. Namun, HalalMUI mendapatkan informasi bahwa pala dapat memabukkan (muskir) sehingga ada yang menyebutkan buah ini haram dikonsumsi.

Apakah benar demikian? Bagaimana sebenarnya hukum mengonsumsi atau memakan buah pala? Berikut penjelasannya HalalMUI.

Pala (Myristica fragrans) merupakan tumbuhan berupa pohon yang pada mulanya berasal dari kepulauan Banda, Maluku. Karena nilainya yang tinggi sebagai rempah-rempah, buah dan biji pala menjadi komoditas perdagangan yang penting sejak masa kolonial Belanda.

Berkenaan dengan buah ini, ada yang perlu dipahami terlebih dahulu. Pada dasarnya, penetapan hukum dalam Islam itu sederhana, yaitu merujuk pada ketentuan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Perhatikanlah makna tiga ayat berikut:

“Dia-lah (Allah) yang telah menjadikan UNTUKMU bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap.” (QS. Al-Baqarah: 22)

“Dan Dia telah menundukkan (memudahkan) untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al- Jatsiyah: 13)

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin (yang tampak maupun yang tidak tampak).” (QS. Luqman: 20)

Ketiga ayat tersebut, dan beberapa ayat lainnya jelas dan tegas menyebutkan bahwa Allah telah menyediakan segala sesuatu di bumi ini untuk manusia. Inilah nash yang bersifat umum tentang kehalalan segala sesuatu, sebagai kaidah asal. Lalu para ulama merumuskan Kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan: “Al-ashlu fi al-asy-ya’i al-ibaahah, illaa maa dalla daliilu ‘alaa tahriimihi” (Segala sesuatu pada dasarnya adalah mubah atau boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).

Kalau ada dalil nash yang shahih (valid) dan sharih (tegas) dari Allah sebagai Asy-Syari’ (yang berwenang membuat hukum itu sendiri), juga adanya penjelasan dari Rasulullah saw. dalam haditsnya, barulah hukumnya bisa berubah menjadi terlarang, makruh, atau haram. (HalalMUI)

Dari sini, maka dapat dipahami, makanan yang haram itu hanya sedikit, sebagaimana yang disebutkan secara spesifik di Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan selebihnya, yang halal itu sangat banyak, termasuk buah pala.

Selanjutnya, secara nash syariah, hukum tentang larangan memakan buah pala ini tidak ada di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Juga tidak ada dalil nash yang shahih dan sharih (secara jelas dan tegas) menyatakan keharamannya. Dengan demikian dalam kaidah syariah, mengonsumsi buah pala itu termasuk kategori yang didiamkan. Oleh karenanya, sepanjang tidak dijelaskan dengan tegas tentang keharamannya, atau tidak membahayakan secara umum, maka buah ini boleh dikonsumsi.

Lebih lanjut lagi, semua makanan dan minuman yang halal apabila dikonsumsi secara berlebihan lalu bisa memabukkan, atau dengan menyalah-gunakannya lalu menimbulkan bahaya, maka tindakan berlebihan atau penyalahgunaan itulah yang membuatnya menjadi haram. Perhatikanlah tuntunan Allah dalam ayat yang bermakna: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raaf, 7: 31). Jangan berlebih-lebihan berarti janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh, dan jangan pula melampaui batas makanan yang dihalalkan.

Daun ganja, misalnya, adalah tumbuh-tumbuhan. Banyak masyarakat yang mengonsumsinya sebagai bumbu masak. Kalau ternyata ada yang menggunakannya secara berlebihan atau menyalahgunakannya lalu ia mabuk, maka hal itu bersifat sebagai kasuistik, yakni menjadi haram bagi yang mengonsumsinya karena menyebabkan mabuk. Larangan tentang penyalahgunaan daun ganja telah pula dibahas di rubrik Fiqhul-Maidah, Jurnal Halal pada edisi sebelumnya.

Begitu juga dalam hal buah pala. Apabila seseorang mengonsumsinya secara berlebihan, sehingga menimbulkan bahaya seperti menjadi mabuk, maka keharamannya itu berlaku karena tindakan berlebihan sehingga menyebabkan mabuk itu saja. Atau kalau ada yang menyalahgunakan penggunaannya, maka tindakah penyalahgunaan buah pala itu yang terlarang.

Tapi selama ini, agaknya HalalMUI belum pernah mendengar orang di Indonesia yang mengonsumsi buah pala atau manisan pala secara wajar, lalu menjadi mabuk. Jadi, sejatinya buah pala secara umum tidak memabukkan, dan dengan demikian tidak haram. Kalaupun ada yang mengonsumsinya lalu menjadi mabuk, maka itu bersifat kasuistik, secara individual mungkin karena alergi atau sebab yang lainnya. Dalam hal ini, ada Kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan, “Al-Hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman”. Artinya, “Hukum itu berkisar pada ‘illatnya, ada atau tiadanya”. Artinya, apabila ‘illat-nya memabukkan atau membahayakan diri seseorang yang mengonsumsinya, hal itu menjadi haram bagi dirinya. Sebaliknya, kalau tidak memabukkan atau tidak membahayakan bagi orang lain, hal itu menjadi tidak haram atau diperbolehkan bagi dirinya.

Sebagai contoh perbandingan atau analogi lagi, buah durian itu sejatinya halal. Kami belum mendapat info yang shahih bahwa ada ulama yang mengharamkan durian karena bisa membuat orang menjadi mabuk. Kalaupun ada yang mengonsumsinya lalu mabuk, maka itu bersifat kasuistis, mungkin karena alergi, mengidap penyakit yang membuatnya pantang mengonsumsi durian, atau sebab yang lainnya. Maka terlarangnya mengonsumsi durian itu hanya berlaku khusus bagi orang tersebut, dan tidak berlaku secara umum.

Lebih lanjut lagi, kita mengetahui secara ‘uruf atau tradisi sebagai kebiasaan di masyarakat kita, dari dulu sampai sekarang, rasanya kami belum pernah mendengar ada orang yang mabuk karena mengonsumsi buah pala atau manisan pala. Maka kalau pala itu dimasukkan sebagai kategori buah yang memabukkan, seperti halnya khamar, maka menurut kami hal itu tidak tepat atau bahkan juga tidak benar.

Ada pula yang menyebutkan Kaidah Fiqhiyyah “Maa askaro katsiruhu fa qoliiluhu haroomun”, sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun mejadi haram. Kaidah itu diambil dari Hadits Rasulullah saw. yang bersabda dengan makna, “Apa yang jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” (HR. Imam Ahmad, Al-Nasa’i dan Ibnu Majah. Hal ini diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban, dari Jabir).

Kaidah Fiqhiyyah tersebut menurut kami juga harus dipahami dalam konteks minuman khamar yang diharamkan secara tekstual di dalam nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Bukan pada yang lainnya. Dengan demikian, kaidah itu tidak bisa digunakan atau diterapkan pada buah pala yang konon katanya bisa menyebabkan orang menjadi mabuk. Hal ini dapat dipahami dari hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari datuknya, bahwa Nabi saw. didatangi suatu kaum, lalu mereka berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami (biasa) membuat minuman keras, lalu kami meminumnya di pagi dan sore hari.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Minumlah, tetapi setiap minuman yang memabukkan itu haram.” Kemudian mereka berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mencampurnya dengan air.” Nabi saw. menjawab, “Haram (walaupun) sedikit dari minuman yang (dalam kadar) banyaknya memabukkan.” [HR. Daruquthni].

Juga hadits dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Setiap minuman yang memabukkan itu haram, dan minuman yang dalam jumlah banyaknya memabukkan, maka segenggam darinya pun haram.” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi]. Wallahu a’lam bi murodih. (HalalMUI)

Sumber: Jurnal Halal No. 135

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.