Oleh: Dr.K.H. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs.H. Sholahudin Al-Aiyub, M.Si. (Wakil Sekretaris Umum MUI Pusat Bidang Fatwa).
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah
Di daerah kami ada banyak, orang memakan daging kura-kura yang hidup di rawa-rawa atau pinggiran sungai, tapi sering juga hidup lama di air. Sehingga ada yang menyebutnya sebagai hewan amfibi, bisa hidup di dua alam; di darat maupun di air.
Saya juga mendapat informasi kalau hewan amfibi itu dilarang atau haram untuk dikonsumsi. Karenanya saya pun menjadi ragu. Maka saya pun mengajukan pertanyaan ini. Bagaimana sebenarnya hukum mengkonsumsi atau memakan daging kura-kura?
Atas jawaban-penjelasan yang diberikan, kami mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.
Wassalam
Ali, Liwa Bandarlampung
Jawaban:
Kura-kura dalam bahasa Inggris disebut “Tortoises”, Disebut pula Testudinata (atau Chelonians) dalam bahasa Latin, hewan ini sangat khas dan mudah dikenali dengan adanya ‘rumah’ atau batok yang keras dan kaku di bagian punggungnya. Sedangkan kakinya tampak seperti memiliki jari-jari kaki, mirip kaki kadal. Memang, hewan ini dapat hidup di berbagai tempat. mulai di daerah gurun, padang rumput, hutan, rawa, sungai juga laut. Meskipun sebagian jenisnya ada yang hidup sepenuhnya bersifat akuatik atau hidup di air, baik di air tawar maupun di lautan. Kura-kura ada yang bersifat pemakan tumbuhan (herbivora), pemakan daging (karnivora) atau campuran (omnivora).
Dalam bahasa Arab disebut hewan “Barma’i”, merupakan Kalimah “Tarkiib Mazji”, gabungan dari dua kata yang bermakna satu. Yaitu dari kata “Barrun” yang bermakna darat, dan “Maun” artinya air. Hewan Barma’i itu sendiri, dalam istilah/Kaidah Fiqhiyyah disebut “Hayyun fid-darain” artinya: hewan yang hidup di dua alam, yaitu di darat dan di air/laut. Menurut Jumhur atau mayoritas ulama, kura-kura atau hewan Barma’i termasuk hewan yang tidak halal dikonsumsi. Atau tegasnya, hukumnya haram dimakan.
Pengharaman hewan ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Rafi’ie dan An-Nawawi dalam kitab “Raudhatul Tholibin”. Pendapat ini dikuatkan pula di dalam kitab “Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj”, sebuah karya Kita Fiqh Madzhab Syafi’i yang terkenal dan dianggap sebagai kitab rujukan utama di kalangan ulama mazhab Syafi’i mutaakhirin. Kitab ini disusun oleh Imam Syamsuddin Muhammad bin Abu al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin ar-Ramli (919-1004 H), atau yang biasa dikenali dengan nama Imam ar-Ramli. Beliau terkenal dengan julukan “al-Syafi’i as-Shaghir” (Imam Syafi’i kecil).
Sebagaimana judulnya, kitab “Nihayah al-Muhtaj” disusun oleh Imam ar-Ramli sebagai sebuah kitab syarah (uraianatau penjelasan) bagi kitab Minhaj ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin, iaitu sebuah kitab fiqh karya al-Imam Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf am-Nawawi (676H).
Namun dalam Mazhab Maliki, hewan-hewan yang dapat hidup di dua alam, seperti kura-kura itu, atau juga buaya, tetap dihukumi sebagai hewan yang hidup di satu alam saja. Imam Madzhab Maliki tidak mengharamkan hewan yang hidup di dua alam. Maksudnya, meskipun hewan itu dapat hidup di dua alam, tapi menurut Madzhab Maliki tetap dianggap atau dihukumi sama dengan satu alam. Artinya, menurut Madzhab Maliki ini, tidak ada dalil yang tegas (Qoth’iyud-dilalah) yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (darat dan air/laut). Dengan demikian hewan yang hidup di dua alam itu, ketetapan hukumnya kembali ke kaidah: “Hukum asal segala sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Berkenaan dengan perbedaan pendapat ini, yang tentu menimbulkan keraguan, maka Asy-Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya yang terkenal “Fiqh Sunnah” mengutip pendapat Ibnu Arabi, mengatakan, “Yang benar hewan yang hidup di dua alam (darat dan air) tidak boleh dimakan karena terjadinya pertentangan antara dua dalil, yaitu dalil yang menghalalkan dan dalil yang mengharamkan. Maka kita menangkan yang mengharamkan, karena demi kehati-hatian dan sebagai upaya menjaga diri (dari hal yang dianggap syubhat atau meragukan).” Karena kalau melakukan yang syubhat, maka sangat dikhawatirkan akan tergelincir kepada yang haram. Dalam hadits dari An-Nu‘man ibnu Basyir disebutkan: “Siapa yang berhati-hati, menjaga diri dari syubhat maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman.”
Telah pula ditegaskan dalam hadits Nabi saw yang juga populer sebagai panduan umat, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw dan kesayangannya, ia berkata: “Aku telah hafal dari Rasulullah Saw: ‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [H.R. Imam at-Tirmidzi dan an-Nasâ`i].
Wallahu alam bish-shawab,