Jagat media sosial tengah ramai perbincangkan minuman yang memiliki rasa identik dengan bir, namun diklaim tidak mengandung alkohol. Beberapa alasan klaim tersebut berasal dari bahan dasar yang digunakan, 100% tidak mengandung bahan yang diharamkan. Lalu, bagaimanakah hukum mengonsumsi bir ini, apakah halal dan dapat disertifikasi? Bagaimana respons LPPOM MUI terhadap kasus ini? Berikut pembahasannya!
Menanggapi beredarnya bir 0% alkohol yang diklaim halal, Ketua Komisi Fatwa (KF) MUI Periode 2020 – 2022, Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA., menegaskan bahwa produk tersebut tak dapat dilakukan sertifikasi halal. Pada dasarnya, sertifikasi halal di Indonesia memiliki acuan tersendiri kepada perusahaan yang akan mengajukan sertifikasi halal suatu produk.
Hasanuddin AH kemudian memberikan rambu-rambu, bahwa pihaknya tidak akan memproses sertifikasi halal untuk produk tasyabbuh atau menyerupai dengan produk yang diharamkan dalam Islam. Artinya, bir tersebut, meskipun diklaim tanpa alkohol tetap saja tak bisa dinyatakan halal karena menggunakan nama yang mengarah pada produk haram, yakni bir yang dalam istilah islam disebut juga dengan khamr.
“MUI telah mengatur penggunaan nama produk tertentu yang boleh dan tidak diperbolehkan. Aturan nama produk tersebut termaktub dalam Fatwa MUI No. 4 Tahun 2003 tentang tidak diperbolehkannya mengkonsumsi dan menggunakan nama yang mengarah pada hal yang haram, sehingga produk yang dihasilkan tetap tidak dapat disertifikasi,” terang Ade Suherman, selaku Manajer Halal Auditor Management LPPOM MUI dalam program Bincang Halal di akun Instagram resmi LPPOM MUI beberapa waktu lalu.
Selain dalam Fatwa MUI, penamaan bir 0% alkohol, juga bisa merujuk pada SK Direktur LPPOM MUI yang secara rinci menjelaskan bahwa nama produk yang tidak dapat disertifikasi meliputi nama produk yang mengandung nama minuman keras. Di kelompok ini, wine non-alkohol, sampanye, rootbeer, es krim rasa rhum raisin, dan bir 0% alkohol, pasti tak bisa lolos sertifikasi halal.
“Tujuan utama para ulama akan kehalalan adalah ingin menenteramkan umat, maka ada upaya pencegahan tertentu atau ‘preventive action’ supaya kita tidak berada dalam kondisi tasyabbuh. Adapun persepsi tasyabbuh, yang menjerumuskan nilai halal menyerupai haram nantinya, akan membuat konsumen tidak dapat membedakan mana yang halal dan haram dalam produk serupa, sehingga menyebabkan misleading atau mispersepsi jangka panjang,” jelas Ade.
Menurutnya, konsep halal yang ditekankan LPPOM MUI bukan hanya sekedar zatnya yang halal dan bebas najis, namun nama produk juga memiliki ketentuannya. Sebelum membeli konsumen harus cermat. Hal ini karena apa yang dibeli akan dikonsumsi oleh diri kita sendiri. Dengan demikian konsumen harus memastikan, selain namanya jelas, juga penamaan yang digunakan tidak mengarah pada hal yang haram. (AI)