DR. MOCH. BUKHORI MUSLIM, LC., M.A., Ketua Bidang Industri, Bisnis dan Ekonomi Syariah, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)
Wisata halal di Indonesia yang dirintis sejak tahun 2015, hingga kini masih saja menyisakan sebuah persoalan, yakni adanya kesalahpahaman di sejumlah kalangan tentang hakikat dan manfaat pengembangan pariwisata halal. Salah satu bagian dalam ruang lingkup wisata halal adalah kesediaan hotel syariah.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 108 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa usaha hotel syariah adalah penyediaan akomodasi berupa kamar-kamar di dalam suatu bangunan yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan dan/atau fasilitas lainnya secara harian dengan tujuan memperoleh keuntungan yang dijalankan sesuai prinsip syariah. Berdasarkan fatwa tersebut, dapat disederhanakan bahwa hotel syariah adalah hotel yang menjalankan layanan dan fasilitas yang dimilikinya dengan prinsip-prinsip syariah.
Dalam ruang lingkup ini masyarakat masih memerlukan pemahaman dan informasi yang jelas mengenai hotel syariah. Untuk mendalami serba-serib Hotel Syariah, Tim Jurnal Halal melakukan wawancara mendalam kepada Ketua Bidang Industri, Bisnis dan Ekonomi Syariah, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Dr. Moch. Bukhori Muslim, Lc., M.A. Mari simak ulasannya berikut ini.
BAGAIMANA STANDAR DAN ATURAN HOTEL SYARIAH DI INDONESIA?
Kehadiran hotel syariah berangkat dari tuntutan masyarakat muslim dalam penyediaan fasilitas berwisata sesuai syariat Islam. Untuk mengakomodir itu, DSN MUI menerima pengajuan sertifikasi syariah dari hotel.
Sebelumnya, DSN MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa terkait ekonomi syariah mengeluarkan Fatwa Nomor 108 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah. Fatwa tersebut menjelaskan terkait bagaimana sebuah wisata menjalankan prinsip syariah, seperti hotel, biro perjalanan, obyek wisata, spa, hiburan, dan sebagainya.
Dari fatwa tersebut diturunkan menjadi sebuah standar yang hingga saat ini menjadi persyaratan pemenuhan sertifikasi syariah untuk hotel. Utamanya, ada empat poin utama yang perlu diperhatikan pihak hotel dalam pemenuhan syarat atau kriteria hotel syariah.
Pertama, makanan dan minuman harus halal yang dibuktikan dengan sertifikat halal resto. Ini berkiatan juga dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), bserta turunannya.
Kedua, layanan. Yang pasti harus menyiapkan tempat ibadah. Ada standar kebersihan dan layanan kamar hingga hiburan. Misalnya, pihak hotel tidak boleh membiarkan hotelnya dipakai untuk perbuatan asusila atau pornografi, sehingga harus ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengantur agar acara TV tersaring.
Ketiga, manajemen. Hotel syariah harus memperhatikan kesejahteraan dan kesetaraan pengetahuan karyawan terkait syariat Islam. Misalnya, saat melayani tamu, karyawan memulai dengan salam dan senyum. Selain itu, ada skema khusus dalam menjamin hak karyawan dalam beribadah, utamanya shalat jumat untuk karyawan laki-laki.
Keempat, keuangan harus bersumber dari pendapatan yang halal dan menggunakan rekening utama di bank syariah. Sebagai contoh, jika menjual alkohol atau menu non-halal lainnya, maka tidak bisa dikatakan sumber pendapatannya halal.
APA SAJA SYARAT YANG BIASANYA SULIT DIPENUHI? BAGAIMANA SOLUSINYA?
Dari keempatnya, tidak ada yang sulit selama ada komitmen pelaku usaha untuk menjalankan prinsip syariah di hotelnya. Yang agak lama biasanya menunggu sertifikasi halal resto. Tapi hal ini biasanya akan dipandu, dengan SOP pelayanan.
BAGAIMANA PENGAWASAN HOTEL SYARIAH, TERMASUK RESTORAN DAN CAFÉ YANG BERADA DI DALAM LINGKUNGAN HOTEL SYARIAH?
Seiring dengan proses sertifikasi syariah, pihak hotel perlu mengajukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan organ luar DSN. Secara khusus, tugas DPS adalah mengawasi konsistensi dan komitmen hotel syariah dalam implementasi standar syariah berdasarkan Fatwa DSN. Umumnya, untuk satu hotel akan diawasi oleh dua orang DPS selama masa berlaku sertifikat syariah, yakni tiga tahun.
Untuk menjadi DPS ada persyaratannya dan uji kompetensinya, sehingga proses audit/pengecekan serta penawasan dapat dijalankan dengan baik. Hasil pengawasan akan dilaporkan setiap 6 bulan. Jika hotel melakukan perpanjangan, maka laporan hasil pengawasan dari DPS inilah yang akan menjadi dasar dikeluarkannya sertifikat halal.
BAGAIMANA CARA PELAKU ATAU PEMILIK HOTEL MEMPEROLEH STATUS HOTEL SYARIAH?
Tekait persyaratannya apa saja bisa langsung dicek di website https://dsnmui.or.id/. Salah satunya, ada pernyataan resmi dari pelaku usaha yang menyatakan bahwa perusahaan berkomitmen melakukan prinsip syariah, mulai dari fasilitas, layanan, hingga laporan keuangan.
Secara singkat, hotel akan mengajukan permohonan sertifikasi hotel syariah yang dibuktikan dengan mengunggah beberapa dokumen. Kemudian, tim DSN MUI akan melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen yang masuk. Setelah dinyatakan lengkap, tim DSN MUI akan memanggil pihak hotel untuk melakukan pemaparan dan tanya jawab. Jika ditemukan kelemahan atau kekurangan, pihak hotel akan diberikan waktu untuk melengkapi atau memperbaikinya.
Kemudian, DSN MUI akan menunjuk tim asesor untuk memeriksa penerapan standar hotel secara langsung berdasarkan daftar dan dokumen yang sudah masuk sebelumnya. Laporan tim asesor akan dibawa ke rapat harian DSN MUI. Setelah semuanya lengkap, maka hotel tersebut bisa diberikan sertifkat syariah yang berlaku selama tiga tahun.
APA KENDALA DAN TANTANGAN YANG SELAMA INI DIHADAPI DALAM PENGEMBANGAN PENERAPAN STANDAR HOTEL SYARIAH?
Ada dua hal yang umumnya sulit dipenuhi hotel dalam penerapan standar syariah. Pertama, sebagian besar hotel di Indonesia memiliki kolam renang. Sulit sekali bagi pihak hotel untuk membagi waktu antara penggunaan laki-laki dan perempuan, karena tidak boleh bercampur.
Kedua, umumnya hotel masih menyediakan alkohol, khususnya hotel bintang 4 dan 5. Ini harus benar-benar clear. Jika bicara resto, maka bisa dipisahkan antara resto yang khusus produk halal dengan yang masih ingin menjual produk haram seperti alkohol. Namun, jika bicara hotel syariah, maka seluruh bagian harus dijalankan sesuai prinsip syariah, termasuk produk yang dijual.
Tidak mungkin DSN MUI menyatakan hotel syariah selama ada penjualan khamr. Tidak hanya soal kehalalan produk, ini juga berkaitan dengan pendapatan hotel. Sumber pendapatan harus halal, kalau menjual bir, maka tidak mungkin dibilang halal.
BAGAIMANA DUKUNGAN DAN KOORDINASI PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN HOTEL SYARIAH?
Saat ini, pemerintah belum menunjukkan dukungan yang kuat. Walaupun dulu pernah, sekitar tahun 2011 itu pernah ada peraturan menteri pariwisata tentang standar hotel syariah, tapi kemudian dicabut. Jadi sampai saat ini, belum ada peraturan menteri atau regulasi yang khusus membahas hotel syariah. Hal ini dengan pengecualian di Aceh Dimana ada aturan dari pemerintah daerah setempat. Meski begitu, DSN selalu berdiskusi, salah satunya melalui Focus Group Discussion (FGD), kepada pemerintah terkait dengan cara implementasi tuntutan masyarakat agar prinsip syariah itu bisa berjalan dengan baik.
APA HARAPAN KE DEPANNYA?
Upaya ini mendukung pemerintah untuk menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Tentunya kami berharap semakin banyak hotel yang mau menerapkan standar syariah. Standarnya harus jelas, bukan sekadar keberadaan simbol kiblat. Tapi isinya juga mengandung prinsi-prinsip syariah. Hal ini, bukan lain, untuk menjaga martabat para penghuninya, jangan sampai nanti berbuat maksiat dan melaggar aturan agama. Langkah ini untuk melindungi moral masyarakat. (YN)