Oleh: Dr. KH. Abdur Rahman Dahlan, MA.
Ketua PB Al-Wasliyah, Anggota Komisi Fatwa MUI
Sebagai orang beriman, kita meyakini, sebagai bagian dari keimanan, Al-Qur’an itu merupakan petunjuk bagi umat manusia agar dapat hidup selamat dunia maupun akhirat. Termasuk pula petunjuk bagi kita agar mengkonsumsi yang makanan halal, dan menghindarkan diri dari produk yang haram. “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 168).
Lebih khusus lagi, Allah memerintahkan kita yang beriman, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik (yang halal), yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah (beribadah).” (QS. Al-Baqarah, 2:172). Allah telah pula menjelaskan tentang bahan-bahan pangan yang haram dan harus dihindarkan, di antaranya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2:173).
Selain itu, Allah telah pula memerintahkan kita di dalam Al-Qur’an: “Makanlah dan minumlah kalian, tetapi janganlah berlebihan, melampaui batas. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai oang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf, 7:31). Pada kenyataannya, banyak ahli kesehatan menyebutkan, berbagai penyakit timbul karena berlebihan dalam mengkonsumsi makanan. Seperti penyakit obesitas, kolesterol, diabetes, jantung, dan sebagainya. Dan kita yang beriman, khususnya, telah diperingatkan agar menghindarkan perilaku tercela ini sejak lebih dari 14 abad silam.
Al-Qur’an sebagai Obat
Al-Qur’an juga merupakan obat bagi berbagai penyakit pada diri manusia, secara ruhani yang ada di dalam qolbu, hati manusia; juga jasmani, secara fisikal. Perhatikanlah Allah berfirman dengan makna, “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sebagai suatu yang menjadi obat (penawar) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Israa’, 17: 82).
Dari ayat tersebut, para ulama menjelaskan, semua ayat Al-Qur’an adalah obat yang bisa menyembuhkan. Namun, ada beberapa ayat atau surat dari Al-Qur’an yang lebih dikhususkan karena memiliki keutamaan sebagai obat penyembuh, misalnya surat Al-Fatihah. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi menjelaskan bahwa maksud obat dalam ayat tersebut adalah obat untuk penyakit fisik sekaligus juga jiwa. Ia berkata “Obat yang mencakup obat bagi penyakit hati/jiwa, seperti keraguan, kemunafikan, dan perkara lainnya. Bisa menjadi obat bagi jasmani jika dilakukan ruqyah kepada orang yang sakit. Sebagaimana kisah seseorang yang terkena sengatan kalajengking diruqyah dengan membacakan Al-Fatihah. Ini adalah kisah yang shahih dan masyhur” (Tafsir Adhwaul Bayan).
Orang yang mengikuti petunjuk Al-Qur’an niscaya jiwanya akan tenang: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d, 13:28).
Hidup menjadi damai, penuh optimisme, tidak ada rasa putus asa, dan hanya pasrah, bergantung kepada Allah yang Maha Kuasa: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat, 41: 30). Orang yang jiwanya tenang, niscaya jantungnya akan sehat. Dan kalau jantungnya sehat, peredaran darah menjadi lancar, dengan demikian, tentu badan pun insya Allah menjadi sehat pula.
Orang yang pasrah, bertawakkal kepada Allah, niscaya kepribadiannya tidak akan terkoyak-koyak karena bergantung kepada makhluk yang dipertuhankan. Orang musyrik biasanya begitu, ketergantungannya kepada yang selain Allah. Sehingga menjadi sibuk untuk melayani macam-macam kehendak yang diminta oleh makhluk yang dianggapnya sebagai tuhan itu. Tapi sebaliknya, kalau bergantung hanya kepada Allah semata, maka hidupnya akan menjadi nyaman, karena tawakkalnya menjadi penuh, dapat fokus kepada Allah semataa, yang Maha Perkasa.
Tapi pada kenyataannya tidak seperti yang digambarkan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu. Karena, alih-alih memahami Al-Qur’an, membacanya pun tidak. Kalaupun membaca dan memahaminya, tetapi tidak menghayati, dan tidak pula mengamalkannya, lantas bagaimana jiwanya akan sehat.
Jelas Al-Qur’an itu merupakan petunjuk untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Bukan hanya akhirat saja. Seperti hidup afiat dengan jantung sehat, itu akan dapat dirasakan dan dinikmati dalam kehidupan di dunia yang kita jalani saat ini.
Maka perlu diingatkan agar kita merenungi, juga mengimplementasikan ungkapan yang menggugah: Back to Qur’an. Berarti mari kita kembali tilawah, membaca Al-Qur’an dengan intensif. Kembali berinteraksi akrab dengan Al-Qur’an yang selama ini mungkin banyak dilalaikan, atau bahkan diabaikan. Kembali mempelajari maknanya, dan mengamalkan kandungannya sepenuh jiwa.
Menurut para ulama, pengertian Al-Qur’an itu sendiri secara Ta’rifi (terminologi), sebagaimana disebutkan di dalam Kitab At-Tibyan fi ‘Ulumil-Qur’an, oleh Syaikh Muhammad Ali Ash-Shobuni ialah “Kalamullah yang merupakan mu’jizat, diturunkan kepada nabi Muhammad saw., dengan perantara malaikat Jibril Al-Amin, dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir dan membacanya sebagai ibadah, yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas”.
Kalau kita perhatikan kondisi kehidupan masyarakat kita yang mayoritasnya beragama Islam, sering terjadi konflik sosial, misalnya. Jauh dari kedamaian dan kehidupan yang nyaman. Maka hal itu dapat dipastikan, karena kebanyakan mereka tidak membacam, memahami, apalagi menghayati tuntunan Al-Qur’an. Terlebih lagi mengamalkan tuntunan Al-Qur’an yang seharusnya menjadi panduan dalam kehidupan kita yang menyatakan diri sebagai orang beriman. Membacanya saja belum tentu didawamkan, tidak dilakukan secara rutin.
Agar Mendapat Syafaat dengan Al-Qur’an, Bukan dari Koran atau Chatting
Dapat kita perhatikan, orang yang mengaku Muslim itu banyak yang lebih sering membuka dan membaca ayat-ayat WhatsApp, dari pada Ayat-ayat Suci Kalam Ilahi. Ada kawan bercerita, telepon genggamnya lowbet dan mati beberapa jam. Ketika dihidupkan lagi, ratusan ayat-ayat chatingan WhatsApp masuk, dan semuanya relatif dilahap habis. Sementara 24 jam hidupnya dilalui, agaknya belum tentu satu ayat Al-Qur’an pun dibacanya. Bahkan sampai berhari-hari hidupnya dibiarkan kosong dari lantunan ayat suci itu. Astaghfirullah al-‘Azhiim.
Memang sangat ironis. Banyak orang merasa kehilangan info kalau terlambat membaca koran, tetapi justru anteng saja meski tidak membaca Al-Qur’an, sampai berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan. Memang ada Mushaf Al-Qur’an di rumahnya. Tapi disimpan rapi di atas lemari, sampai kelabu ditutupi debu, karena sangat lama tidak ada yang menyentuhnya. Duhai, menyentuhnya pun tidak, apa lagi membuka lembaran-lembarannya yang suci mulia. Padahal Al-Qur’an itu memberi info maupun panduan yang hakiki tentang jalan keselamatan dunia hingga hari kemudian.
Bahkan amat sering orang bangun tidur langsung baca chatting (WhatsApp), sedangkan baca Al-Qur’an entah kapan, atau malah kapan-kapan, gak kepikiran. Sampai pada akhirnya badan dibungkus kain kafan, baru dibacakan Al-Qur’an padanya. Jika demikian, tentu itu sangat ketinggalan! Padahal jelas, orang yang tekun membaca, insya Allah akan mendapat syafaat di Hari Akhirat, sesaat lagi: “Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat nanti memberi syafaat bagi orang yang membacanya.” (HR. Muslim). Tentu bukan hanya sekedar membaca Al-Qur’an secara harfiyah, tetapi juga memahami dan mengamalkannya. Karena tanpa membaca Al-Qur’an, maka tak mungkin kita akan dapat memahaminya, apalagi mengamalkannya. Selain Rasulllah saw., tidak seorangpun yang mampu memberikan syafaat, pertolongan kepada seseorang pada Hari Akhirat nanti, kecuali Syafaat Al-Qur’an, bi-idznillah, yang dibaca selama ia hidup di dunia.
Sikap yang Harus Dikoreksi dan Diperbaiki
Maka perlu kita ingatkan bersama, tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan, membaca ayat-ayat chatting di WhatsApp, meski sampai ribuan chatingan sekalipun, bisa memperoleh syafaat di Akhirat yang pasti terjadi nanti. Yah, bisa dikata, mayoritas mengaku Muslim, tetapi tidak berpegang teguh dengan Al-Qur’an. Bahkan banyak yang mengabaikannya. Tentu itu menjadi tugas kita bersama untuk mengoreksi serta memperbaiki kekeliruan yang fatal ini.
Kita pahami bersama, sebagaimana telah dijelaskan, Al-Qur’an adalah petunjuk jalan bagi kehidupan kita. Nah, kalau orang tidak mau membacanya, dan dengan demikian tidak memahami kandungannya, lantas bagaimana ia bisa mengerti tentang petunjuk kehidupan yang telah diberikan di dalam Kitabullah itu. Oleh karenanya, sebagian ulama bahkan mewajibkan kita yang beriman untuk bersungguh-sungguh terus dan tekun membaca, memahami dan mengamalkan isi ajaran Al-Qur’an itu. Karena wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Rasulullah justru berupa kalimat perintah: Iqro’, “bacalah”. Banyak ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits juga memerintahkan kita agar selalu membaca Al-Qur’an. Diantaranya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al-‘Alaq, 96: 1-2). Perintah ini, bahkan diulang lagi pada ayat berikutnya: “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq, 96:3-5).
Membaca Al-Qur’an itu sangat mudah, kecuali bagi orang yang hatinya telah tertutup. Perhatikanlah betapa Allah mengingatkan kita tentang betapa mudahnya membaca Al-Qur’an itu, dalam ayat: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar, 54: 17). Allah mengulang-ulang kalimat tersebut sebanyak empat kali di dalam kitab-Nya yang mulia. Semuanya kita jumpai dalam surat Al-Qamar. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah benar-benar menjadikan Al-Qur’an itu mudah untuk dipelajari.
Dalam ayat yang lain dijelaskan pula, “…Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Muzzammil, 73: 20). Dari ayat itu dijelaskan, tidak ada alasan bagi orang beriman untuk tidak membaca Al-Qur’an. Dalam sakit, sibuk berusaha mencari rezeki yang halal, atau bahkan dalam kondisi perang jihad fi sabilillah yang sangat genting sekalipun, tetap jangan tinggalkan membaca Al-Qur’an.
Membaca Al-Qur’an Sampai Khatam
Oleh karenanya, para ulama selalu menganjurkan kepada umat Muslim, kita semua, agar memperbanyak membaca Al-Qur’an, sampai khatam (tamat secara berkesinambungan), dari awal sampai akhir. Begitu juga memperbanyak membaca dan mentadaburinya. Karena ia adalah Kalamullah, termasuk beribadah dalam membacanya. Dan Allah Azza Wa Jalla senang jika hamba-Nya beribadah kepada-Nya dengan cara tersebut.
Dahulu para ulama salaf memiliki semangat tinggi yang bervariasi. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan setiap hari sekali. Ada yang tiga hari, ada yang sepekan dan ada yang mengkhatamkan setiap bulan sekali. Bisa jadi mengkhatamkan sebulan sekali termasuk semangat yang paling rendah. Seyogyanya seorang muslim, kita semua, jangan berkurang darinya (khatam tilawah, membaca Al-Qur’an sebulan sekali, sebagai posisi nilai yang relatif paling rendah). Rasulullah saw. bersabda kepada Abdullah bin Amr bin Ash, “Bacalah Al-QUr’an pada setiap bulan.” (HR. Bukhari, dalam Bab Fi Kam Yaqraul Qur’an, berapa kali membaca Al-Qur’an, dan Muslim, hadits no. 1159).
Ibnu Hazm mengatakan, “Seorang muslim yang ingin selamat, hendaknya melakukan sesuatu yang diharapkan dapat mengalahkan dosa dan kesalahannya. Hendaknya dia membiasakan membacaan Al-Qur’an dan dapat mengkhatamkan setiap bulan sekali. Kalau dapat menghatamkan kurang dari itu, maka hal itu lebih bagus.” (Rasail Ibnu Hazm, 3/150). Bahkan para ahli fiqih Hanbali menegaskan “Makruh mengakhirkan khatam Al-Qur’an lebih dari empat puluh hari tanpa uzur. Imam Ahmad berkata, “Yang paling sering saya dengar, hendaknya seseorang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam empat puluh hari. Karena hal itu (tidak khatam lebih dari empat puluh hari) dapat melupakannya dan meremehkannya.” (Kasysyaful Qana, 1/430).
Syekh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Apakah diwajibkan bagi orang yang berpuasa untuk mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan?” Beliau pun menjawab, “Memang mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan bukan perkara wajib. Akan tetapi, selayaknya seorang beriman (harus) memperbanyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan, sebagaimana hal tersebut merupakan sunnah Rasulullah saw.. Dahulu beliau saw. selalu mengulang kembali bacaan Al-Qur’annya bersama malaikat Jibril di bulan Ramadan.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin)
Disebutkan dalam Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadlan ketika bertemu dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadlan untuk mudarosah (mempelajari) Al-Qur’an.” (HR. Al-Bukhari).
Rasulullah saw. demikian rupa belajar dan membaca Al-Qur’an. Bahkan dipantau langsung oleh Malaikat Jibril yang mulia. Maka seharusnya, teladan Beliau saw. itu memotivasi kita lebih kuat lagi agar selalu berusaha berinteraksi intensif dengan Al-Qur’an, dengan senantiasa membaca, mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkannya penuh kesungguhan. Hingga ketentuan Allah tiba, kita berada dalam keridhoaan-Nya, dan mendapat Syafaat Al-Qur’an di Hari Kemudian, bi-idznillah. Amin ya Allah. (USM)