Hari Raya Idul Fitri telah berlalu. Bagi sebagian masyarakat muslim, utamanya di Indonesia, hari raya ini sering dimanfaatkan sebagai ajang bersilaturahmi sekaligus untuk bermaaf-maafan. Baik di kalangan keluarga, sanak saudara, sahabat dan para kerabat.

Saling memaafkan pada Hari Raya Idul Fitri merupakan tradisi khas Indonesia setelah sebulan penuh umat Islam berpuasa Ramadan. Momentum Lebaran membawa setiap orang untuk saling bertemu dalam suasana hangat untuk meminta maaf atas kesalahan yang sengaja diperbuat maupun tidak sengaja, baik lisan maupun perbuatan, baik lahir maupun batin. Penerima maaf pun akan memberikan maaf dengan sukarela.

Karena itu, tidak berlebihan jika ada yang menyatakan, Idul Fitri merupakan rekonsiliasi masif dan massal yang menciptakan suasana tenteram dan akrab di masyarakat. Tradisi ini bukan hanya dapat dimaknai sebagai peristiwa teologis, tapi juga fenomena budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Tuntunan Islam untuk saling meminta dan memberi maaf terdapat di dalam Al-Qur’an. Misalnya Surat an-Nisa [4]: ayat 149. “Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Kuasa.”

Surat Al-A’raf [7]: ayat 199. “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

Surat Asy-Syura [42]: ayat 40. “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”

Surat Asy-Syura [42]: ayat 43. “Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” Juga Surat Ali Imran [3]: ayat 133-134. “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas angit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”

Manusia Tidak Lepas dari Dosa

Sudah menjadi kodrat sebagai manusia tidak terlepas dari kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam perbuatan. Namun demikian, manusia diciptakan juga dibekali dengan sifat-sifat untuk memperbaiki kesalahannya. Salah satu sifat yang dianjurkan untuk kita miliki adalah sifat pemaaf.

Sifat pemaaf merupakan sifat yang mulia, karena tidak semua manusia dapat berbesar hati dengan mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Mengapa kita mudah meminta maaf dan memberikan maaf saat Lebaran, tapi amat sulit melakukannya saat hari-hari biasa? Bagaimana ilmu perilaku menjelaskan momen meminta dan memberi maaf ini sebagai fenomena psikologis?

Sejumlah riset menunjukkan, hati yang bahagia dan adanya kesamaan identitas sosial antara peminta dan pemberi maaf mendorong hati seseorang lapang dada memaafkan kesalahan. Dalam ilmu psikologi sosial, seperti dilansir theconversation.com para ilmuwan percaya bahwa manusia adalah individu yang tidak hanya memiliki identitas personal, tapi juga identitas sosial. Identitas personal adalah struktur fisik dan fitur kepribadian yang kita miliki sebagai seorang individu.

Pengaruh Suasana Hati

Penjelasan tentang konsep identitas personal dan identitas sosial ini relevan untuk menjelaskan konteks permaafan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam peristiwa khusus seperti Idul Fitri. Dalam konteks sehari-hari, meminta maaf dan memberi maaf atas suatu kesalahan merupakan hal yang cenderung lebih sulit dilakukan karena ia merupakan hasil evaluasi atas reaksi psikologis atas yang ia rasakan dan berkaitan erat dengan harga diri.

Selanjutnya, kita masih akan perlu melewati berbagai evaluasi dan pengambilan keputusan untuk meminta atau memberi maaf kepada orang lain. Semuanya didasarkan

pada keputusan individual yang merupakan akumulasistruktur dan fitur identitas personal kita.

Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Feng Jiang dan tim peneliti dari Central University of Finance and Economics Beijing Cina, mereka meminta para partisipan penelitian untuk memikirkan kemungkinan memberikan maaf kepada pelaku kejahatan.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa tendensi untuk memaafkan lebih mudah dilakukan oleh para partisipan yang suasana hatinya sedang bahagia. Hal ini menunjukkan bahwa dalam situasi sehari-hari, keputusan untuk memberi maaf sangat tergantung dari disposisi individual, termasuk suasana hati yang sedang dirasakan.

Sedangkan fenomena permaafan dalam konteks hari raya merupakan permaafan yang melibatkan identitas sosial. Artinya, seseorang meminta dan memberi maaf sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab yang ia lakukan sebagai pemeluk agama yang ia anut.

Literatur-literatur tentang dinamika psikologis manusia dalam menjalankan ajaran agama menunjukkan bahwa agama juga berperan sebagai standar baku tentang perilaku ideal yang harus ditunjukkan pemeluk. Dengan memiliki identitas sosial yang kuat terhadap agama, maka seorang individu akan mengevaluasi semua sikap dan perilakunya selaras mungkin dengan apa yang diajarkan oleh agama, sekalipun itu bertentangan dengan sikap dan preferensi pribadinya.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chelsea L. Greer dan timnya dari Virginia Commonwealth University, mereka membuat sebuah eksperimen tentang sejauh mana para partisipan penelitian akan memaafkan orang yang membuat mereka tersinggung.

Dalam penelitian ini, Greer dan tim merancang sebuah kondisi yang menggambarkan orang yang membuat mereka tersinggung adalah anggota dari komunitas agama yang sama dengan para partisipan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kuat para partisipan memiliki keterikatan dengan agamanya, semakin kuat pula kemungkinan bahwa ia akan memberikan maaf kepada anggota komunitas yang membuatnya tersinggung.

Melalui konsep spiritualitas relasional (relational spirituality), Greer dan kolega percaya bahwa memaafkan pemeluk agama yang sama memiliki dimensi kesakralan. Hal ini membuat para pemeluk bereaksi dengan tidak ofensif ketika tersinggung dengan sesama rekan pemeluk dari komunitas agama yang sama. Anggota komunitas keagamaan yang membuat para partisipan tersinggung masih dipersepsikan sebagai saudara (in-group member) dan bukan musuh (out-group member).

Dari hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa memahami kesamaan identitas sosial dengan orangorang yang membuat kita tersinggung akan membantu kita meminta dan memberikan permaafan dan melakukan rekonsiliasi. Momen Idul Fitri membuat kita meminta dan memberi maaf kepada sesama umat Islam lainnya sebagai saudara seiman.

Tapi kita tidak boleh melupakan bahwa sebenarnya kita juga memiliki kesamaan identitas sosial dengan umat agama lain. Kita sama satu bangsa, bangsa Indonesia. Bahkan di atas semuanya itu, kita hakikatnya adalah insan yang sama-sama mendambakan perdamaian dan kebahagiaan untuk semua makhluk di bumi. Kesadaran ini mestinya bisa membawa kita untuk memiliki hati yang pemaaf dalam kehidupan keseharian.

Manusia sebagai makhluk sosial tentu saja banyak hal yang harus kita perhatikan dalam hubungan keseharian kita. Kita dituntut untuk selalu memperhatikan dan menjaga hubungan baik itu. Kadang karena kesibukan, kita jarang bertegur sapa sekadar menanyakan keadaan atau kabar orang-orang di sekeliling kita.

Tidak jarang kita hanya mementingkan kebutuhan dan kepentingan diri kita sendiri. Kita melakukan pemborosan dengan membeli barang-barang atau sesuatu yang sebenarnya kita tidak membutuhkannya tetapi hanya karena keinginan saja untuk memilikinya. Sementara ada orang lain atau tetangga kita yang lebih membutuhkan itu tetapi mereka tidak bisa mendapatkannya karena tidak memiliki uang untuk membelinya.

Di sisi lain, ada yang berfoya-foya menghambur hamburkan hartanya untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Atau kita menampakkan kesenangan kita secara berlebihan sementara ada orang lain di sekitar kita yang tanpa kita ketahui dan tanpa kita sadari ternyata sedang mengalami kesedihan.

Untuk itu, sikap peduli atau empati harus kita pupuk sedari sekarang agar menjadi kebiasaan yang baik bagi kehidupan kita sehari-harinya. Yang harus kita lakukan untuk memperbaiki diri agar lebih baik, seperti dilansir dppai.uii.ac.id adalah menyadari kesalahan dan bersegera meminta maaf.

Selain kita meminta maaf secara langsung, yang harus kita lakukan adalah memperbaiki diri untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di masa mendatang.

Kita juga harus menjalin silaturahmi dan komunikasi yang baik untuk menunjukkan bahwa kita serius dalam meminta maaf. Pemberian maaf dari orang yang kita sakiti sangatlah penting bagi kita, namun tentu saja tidak mudah bagi seseorang untuk memaafkan begitu saja atas apa yang dideritanya. Tetapi kita berkeyakinan kalau kita bersungguh sungguh pastilah hati orang yang kita sakiti akan luluh untuk memaafkan kita. (S. Rahmawati. Dirangkum dari berbagai sumber)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.