Minyak jelantah, atau minyak goreng bekas pakai yang sudah berwarna cokelat kehitaman, semestinya sudah tidak lagi digunakan untuk menggoreng makanan. Namun, dalam keseharian, penggunaan minyak jelantah ini masih sering ditemukan.
Demi menghemat pengeluaran, masih banyak masyarakat yang menggunakan minyak jelantah ini untuk memasak. Dengan alasan yang sama, para pedagang makanan, terutama gorengan yang dijajakan di jalanan, juga kerap menggunakan minyak jenis ini.
Padahal, menurut guru besar IPB University, Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr, yang juga auditor senior LPPOM MUI, konsumsi minyak jelantah berisiko terhadap kesehatan. Penggunaan minyak berulang kali dengan pemanasan akan menyebabkan sebagian besar kandungannya rusak, dan akan terbentuk senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik. Sebagai contoh, pemanasan minyak jelantah berulang kali pada suhu tinggi (lebih tinggi dari rentang 170oC – 200oC) akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi, sehingga kandungan lemak tidak jenuh struktur cis akan berubah menjadi struktur trans, dan juga terjadi pembentukan peroksida dan hidroperoksida yang merupakan radikal bebas.
Secara rinci dapat dijelaskan bahwa minyak jelantah dapat menjadi media penyerapan radikal bebas yang akan ikut terserap ke dalam makanan yang digoreng. Selanjutnya makanan masuk ke dalam tubuh, dan senyawa radikal bebas akan mengoksidasi sel-sel dalam organ tubuh secara perlahan. Zat tersebut akan menjadi karsinogen penyebab kanker. Oleh karena itu, minyak jelantah dapat menimbulkan penyakit kanker, pengendapan lemak pada pembuluh darah, dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan. Konsumsi produk pangan gorengan menggunakan minyak jelantah secara berlebihan dapat memicu kelebihan berat badan atau obesitas yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius, seperti penyakit diabetes dan penyakit jantung.
Minyak goreng yang sudah dipakai berkali-kali juga menjadi sarang perkembangbiakan berbagai jenis bakteri. Bakteri akan hidup dan berkembang dengan memakan remah-remah sisa gorengan yang mengendap dalam minyak jelantah atau menempel pada wajan penggorengan, sehingga dapat menjadi sumber penyakit akibat infeksi bakteri.
Menurut penelitian para ahli dari University of the Basque Country di Spanyol, minyak jelantah mengandung senyawa organik aldehid yang dapat berubah menjadi zat karsinogen dalam tubuh manusia dan pada gilirannya dapat memicu penyakit degeneratif, misalnya penyakit jantung, penyakit Alzheimer, dan penyakit Parkinson.
Cermati Kehalalannya
Minyak goreng yang menjadi kebutuhan pokok konsumsi masyarakat dapat berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan. Minyak goreng dari bahan nabati dapat berasal dari tanaman kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung dan kedelai. Umumnya, minyak goreng nabati mengandung asam lemak jenuh (diantaranya oktanoat, dekanoat, laurat, miristat, palmitat dan stearate), dan asam lemak tidak jenuh (seperti oleat, linoleate, dan linolenat).
Proses menggoreng dengan minyak dapat dikatakan lebih efisien dibandingkan proses pemanggangan dan perebusan. Selain itu, proses penggorengan dapat meningkatkan citarasa, kandungan gizi dan keawetan, serta menambah nilai kalori bahan pangan. Pada proses penggorengan, oksigen dapat mengoksidasi minyak dengan cepat. Kerusakan lemak selama proses penggorengan dapat disebabkan oleh kontak minyak dengan udara, pemanasan yang berlebihan, kontak minyak dengan bahan pangan, dan adanya partikel-partikel yang gosong. Kerusakan minyak akibat pemanasan dapat dilihat dari perubahan warna, kenaikan kekentalan, kenaikan kandungan asam lemak bebas, kenaikan peroksida dan penurunan bilangan iodium.
Kerusakan minyak akan memengaruhi mutu dan nilai gizi serta penampilan bahan pangan yang digoreng. Oleh karena itu, pemanfaatan minyak goreng bekas/jelantah yang sudah dimurnikan akan memberikan manfaat bagi industri yang menggunakan minyak goreng dalam proses produksinya. Proses pemurnian minyak jelantah dapat menggunakan bleaching earth, walaupun menghasilkan kualitas minyak yang rendah karena senyawa beta-karoten dan vitamin E ikut teradsorpsi, dan membutuhkan suhu yang relatif tinggi (100-120oC). Untuk menghindari hal tersebut, dapat digunakan adsorben bahan alami, seperti tumbuh-tumbuhan dan kayu. Umumnya adsorben bahan alami adalah sisa dari bahan (suatu proses) yang tidak memiliki harga ekonomis dan seringkali tidak dapat digunakan kembali untuk suatu proses.
Adsorben adalah zat padat yang dapat menyerap partikel fluida dalam suatu proses adsorpsi. Proses adsorpsi adalah fenomena fisik yang terjadi saat molekul-molekul gas atau cair dikontakkan dengan suatu permukaan padatan dan sebagian dari molekul mengembun pada permukaan padatan tersebut. Adsorben bersifat spesifik dan terbuat dari bahan-bahan yang berpori. Jenis adsorben yang banyak digunakan umumnya berasal dari limbah pertanian, yang diolah menjadi arang aktif dan diaplikasikan sebagai adsorben. Contohnya, ampas tebu, kulit kacang tanah, daun nenas, bonggol jagung, dan serbuk gergaji. Kandungan senyawa berkarbon, yaitu selulosa dan hemiselulosa yang terdapat pada jenis-jenis adsorben tersebut berperan sebagai penjernih minyak jelantah.
Pembuatan arang aktif dapat dilakukan secara sederhana, yaitu bahan limbah pertanian yang sudah dibakar, ditumbuk halus, disaring agar diperoleh ukuran serbuk/arang yang relatif kecil, kemudian dicampurkan dengan tepung kanji sebagai perekat/pengikat butiran halus arang agar tidak larut dalam minyak jelantah, lalu dioven hingga kering dan terasa ringan.
Minyak jelantah yang sudah dimurnikan relatif lebih baik mutunya, tetapi perlu diperhatikan aspek kehalalannya. Menurut Prof. Sedarnawati, saat ini memang telah banyak minyak goreng yang bersertifikat halal, tetapi jika minyak goreng tersebut digunakan untuk menggoreng makanan yang tidak halal, maka minyak jelantahnya menjadi haram. Risiko mengonsumsi minyak jelantah yang tidak halal menjadi lebih tinggi ketika masyarakat membeli gorengan dari para penjaja makanan yang belum bersertifikat halal. Para pedagang jenis ini umumnya menggunakan minyak jelantah yang dibeli dari restoran secara langsung, atau sedikit sekali yang melakukan pemurnian kembali, sebelum digunakan.
Berdasarkan pengamatan Prof. Sedarnawati pada beberapa penjual nasi goreng berkeliling, minyak jelantah yang digunakan beraroma wangi ayam goreng, diduga penjual mendapatkan minyak jelantah dari restoran ayam goreng. Untuk memastikan kehalalan minyak jelantah, perlu diketahui ayam yang digoreng apakah melalui proses penyembelihan halal, dan minyak goreng yang digunakan bersertifikat halal atau tidak. Selanjutnya pada proses pemurnian minyak jelantah perlu diperhatikan cara pemurnian dan jenis bahan adsorben yang digunakan.
Dengan memperhatikan aspek kesehatan dan kehalalan minyak jelantah, Prof. Sedarnawati mengingatkan agar masyarakat lebih bijak dalam memilih dan menggunakan minyak goreng.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, pastikan bahwa minyak goreng yang dibeli telah bersertifikat halal. Kedua, jangan gunakan minyak goreng tersebut untuk menggoreng secara berulang-ulang. Maksimal penggunaan cukup dua sampai tiga kali penggorengan sambil dicermati perubahan warnanya. Ketiga, hindari membeli minyak goreng jelantah yang tidak jelas sumbernya, karena potensi tercampur dengan bahan haram sangatlah tinggi. Keempat, jika ingin membeli gorengan, pastikan bahwa pedagangnya menggunakan minyak goreng yang sudah bersertifikat halal, bukan menggunakan minyak jelantah.
Beberapa tips mencermati tanda-tanda ca lain: a) tidak memiliki kebeningan yang baik; b) jika disaring masih ada sisa partikel/remah gorengan; c) tercium sisa aroma bahan yang digoreng; serta d) minyak mudah berasap saat dipakai. (FM)
* Hidayati, F.C., Masturi, Yulianti, I. 2016. Pemurnian Minyak Goreng Bekas Pakai (Jelantah) dengan Menggunakan Arang Bonggol Jagung Jurnal Ilmu Pendidikan Fisika, Vol. 1 No. 2 : 67-70