Oleh: H. Abu Hurairah Abdul Salam, Lc., MA (Direktur Pengembangan dan Kerjasama Filantropi ZISQ Masjid Istiqlal, Jakarta)

Setiap manusia di dunia akan mencari rezeki yang sudah disediakan oleh Allah subhanahu wata’ala.

Kata rezeki ini yang sudah menjadi bahasa Indonesia adalah merupakan kata serapan dari al-Qur’an yang kita dapatkan salah satunya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 60, yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka memancarlah daripadanya dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).

“Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 60)

Bahkan Allah subhanahu wata’ala sesungguhnya sudah menjamin bahwa setiap makhluk yang bernyawa akan mendapatkan rezekinya. Rezeki dalam makna yang luas, tidak semata-mata berupa materi. Kesehatan, karir, jabatan, kesempatan untuk ibadah hingga memiliki keluarga yang sakinah, istri dan anak-anak yang shaleh dan shalehah, semuanya itu adalah termasuk rezeki.

Allah Swt. berfirman dalam QS. Hud [11]: 6, yang artinya: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud [11]: 6)

Sayangnya masih banyak manusia yang merasa gelisah, galau dan khawatir akan rezekinya. Sehingga tidak sedikit diantara mereka yang berlomba-lomba dalam mencari rezeki, bahkan sampai menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhanahu wata’ala.

Makna Rezeki

Rezeki itu sesungguhnya adalah apa yang kita usahakan dan kita peroleh, lalu kita mampu memanfaatkannya. Jika kita bekerja kemudian dari hasil bekerja itu kita mendapatkan uang, maka uang yang diperoleh itu belum bisa dikatakan rezeki, jika kita belum atau tidak mampu memanfaatkannya.

Maka seorang yang berusaha di masa mudanya sehingga berhasil menjadi seorang yang kaya raya kemudian dia meninggal, maka sebagian hasil usahanya itu tidak dinamai rezeki, karena apa yang diwariskannya itu bukan rezeki dia, tapi itu adalah rezeki orang lain.

Begitu pula dengan penjahat, atau perampok misalnya. Dari hasil perbuatannya dia mendapatkan banyak uang. Nah, apakah uang dari hasil merampok itu layak untuk disebut rezeki? Sebagian ulama berpendapat bahwa rezeki itu hanya yang halal saja, kalau hasil dari merampok jelas tidak halal.

Namun banyak juga ulama yang berpendapat bahwa rezeki itu ada yang halal ada juga yang tidak halal, selama kita dapat memanfaatkannya maka itu adalah “rezeki.”

Soal halal atau tidaknya tinggal dilihat bagaimana cara perolehannya. Dalam konteks ini sayyidina Ali karramallahu wajhahu dalam salah satu Qasidahnya pernah berkata, yang maknanya: Bahwa orang yang paling menyesal di hari kemudian nanti adalah katakanlah dengan istilah kita sekarang ini, yaitu para “koruptor”.

Karena semasa hidupnya dia berusaha untuk mendapatkan uang sekian banyak dengan cara menyuap, menipu dan menyogok sana sini. Melakukan berbagai macam cara untuk mencari kelemahan-kelemahan aturan hukum, menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan, menghalalkan segala cara.

Ketika dia meninggal, uangnya diwariskan kepada ahli warisnya. Sementara ahli warisnya tidak tahu menahu, lalu disodaqahkan, diwaqafkan, disumbangkan untuk fakir miskin yang membutuhkan dan sebagainya.

Maka di akhirat nanti dia berkata: itu adalah harta yang saya usahakan tapi kenapa saya dapat dosanya, sementara ahli waris dia tidak usahakan tapi dia dapat pahala. Begitulah kira-kira penyesalan para koruptor nanti saat dimintai pertanggungjawaban atas amalannya di dunia.

Banyak kekeliruan pemahaman tentang rezeki, yang mendominasi pemikiran banyak orang, bahwa rezeki itu identik dengan uang yang sifatnya materi. Padahal jika dikaji rezeki itu jauh lebih luas dibandingkan materi.

Di dalam Al-Qur’an kata rezeki dengan berbagai jenis variannya disebutkan dan diulang sebanyak 123 kali, dan ketika dikaji masing-masing, ternyata makna rezeki itu tidak hanya terbatas pada sesuatu yang sifatnya materi.

Misalnya, si Fulan rezekinya lagi lancar, maka yang terlintas di pikiran terlintas semua adalah materi, perusahaan, uang, rumah, kendaraan dan lain-lain.

Jarang sekali kita mendengar ada yang berkata bahwa si fulan rezekinya lancar buktinya dia rajin ke masjid, rajin ibadah, rajin menghadiri taklim, dan pengajian.

Sebagian kita malah mengatakan itu kan ibadah, bukan bagian dari rezeki, padahal sesungguhnya ini adalah rezeki juga. Ibadah itu rezeki yang sifatnya non materi.

Ada Dua Jenis Rezeki

Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan rezeki itu? Kata para ulama, rezeki itu adalah karunia dari Allah Swt. “Rezeki itu karunia dari Allah.” Pertanyaannya, apakah karunia Allah itu hanya berupa uang, jabatan, rumah, makanan dan minuman saja? Tentu tidak.

Justru makanan, minuman, harta, kendaraan, rumah dan lain-lain itu Allah berikan kepada siapa saja yang dicintainya dan yang tidak dicintainya, yang disayang Allah maupun yang tidak disayang, semuanya diberi. Muslim non-muslim, orang beriman, orang kafir, orang munafik semua dikasih. Ini kalau rezeki yang sifatnya materi.

Tapi rezeki yang sifatnya non-material seperti keimanan, amal sholeh, ilmu yang manfaat, kenyamanan dalam ibadah,yang dikasih oleh Allah hanya manusia-manusia spesial yang disayang Allah, yaitu hamba-hambanya yang dicintai dan dikasihi-Nya.

Nah, kenapa terjadi pergeseran pemahaman kalau rezeki itu hanya terbatas pada uang? Kenapa bisa pemahaman seperti itu tertanam kuat dalam benak kaum muslimin? Ternyata faktor pemicunya ada dua. Ada yang internal dan ada yang eksternal. Ada faktor dari dalam dan ada faktor dari luar.

Faktor dari dalam atau internal disebabkan karena kita tidak mau memperdalam ilmu, malas membaca dan mengkaji Al-Qur’an, malas menghadiri majelis ilmu. Kalau kajian dan pengajiannya itu tidak lucu maka peserta pengajiannya pun sedikit, akhirnya terjadilah persaingan antara ustadz dan pelawak.

Yang kedua faktor eksternal, faktor luar. Harus diakui bahwa memang ada kelompok orang-orang yang tidak suka dengan Islam dan kaum muslimin. Kemudian mereka memasukkan pemahaman materialistis, yaitu segala sesuatu diukur dengan materi. Coba kita perhatikan film, sinetron, telenovela dan lain-lain ketika menggambarkan sosok orang yang sukses.

Cara menggambarkannya identik dengan memiliki dan mengendarai mobil yang mewah, rumah megah, barang bermerek, perhiasan mahal, uang tidak berseri.

Ilmu yang kita milikilah yang diharapkan dapat memberi pemahaman yang benar tentang rezeki. Rezeki itu mencakup materi dan non-materi, mencakup yang sifatnya duniawi dan ukhrawi, yang akan membuat kita lebih ridha dengan karunia dari Allah subhanahu wata’ala, dan akan membuat kita lebih bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala.

Sedangkan orang yang tidak berilmu, akan memiliki pemahaman yang sempit tentang rezeki. Di kepala dan pikirannya rezeki itu hanya “uang, uang dan uang”. Akibatnya dia akan sulit bersyukur pada Allah, karena segala sesuatu diukur dengan uang.

Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib radhiallahu anhu berkata: “Ada dua jenis rezeki. Rezeki yang mencarimu dan rezeki yang kamu cari. Rezeki yang mencarimu akan datang padamu sekalipun kamu dalam keadaan tidak berdaya. Adapun rezeki yang kamu cari, maka tidak akan datang padamu kecuali dengan usahamu. Yang pertama itu anugerah dari Allah, sedangkan yang kedua adalah keadilan dari Allah.”

Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa memberikan kemudahan dan keberkahan atas rezeki yang kita ikhtiarkan. Karena itu, mari kita bersyukur sekecil apa pun bentuk rezeki yang dianugrahkan Allah pada kita. (***)

(Disarikan dari Khutbah Jumat spesial 17 Juni 2022 di Masjid Istiqlal, Jakarta).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.