• Home
  • Berita
  • Viral tentang Natto, Bagaimana Titik Kritisnya?

Baru-baru ini jagat maya ramai perbincangkan salah satu jenis makanan tradisional asal Jepang, yaitu Natto. Umumnya, masyarakat Jepang mengonsumsi natto dengan nasi hangat dan campur kecap asin. Beberapa menu masakan Jepang juga mencampurkan natto sebagai pelengkap masakan.

Meski berbahan utama nabati yang termasuk dalam daftar tidak kritis, namun di Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim, tentu konsumsi natto masih menjadi pro dan kontra dari aspek kehalalannya. Apa saja yang menjadi titik kritisnya?

Mari kita lihat lebih dulu dari cara pembuatannya. Natto terbuat dari biji kedelai yang dimasak. Hal ini bertujuan untuk membuat spora bakteri mudah penetrasi biji kedelai. Kemudian, kedelai ini ditiriskan dan diberikan nattō-kin berisi bakteri yang didominasi Bacillus subtilis, lalu disimpan agar terjadi fermentasi. Setelah selesai, natto dikemas dan dapat dijual dengan berbagai macam bumbu, seperti kecap dan mustard.

Banyak yang menganggap proses fermentasi menjadi salah satu titik kritis kehalalan produk ini karena dianggap dapat menghasilkan produk samping berupa alkohol. Padahal, tidak semua fermentasi dapat menghasilkan produk samping berupa alkohol.

Selain itu, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol menyebutkan bahwa produk makanan hasil fermentasi yang mengandung alkohol/etanol hukumnya halal, selama dalam prosesnya tidak menggunakan bahan haram dan apabila secara medis tidak membahayakan.

Meski begitu, ternyata natto memiliki titik kritis kehalalan yang perlu diwaspadai. Manager Corporate Communication Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Raafqi Ranasasmita, M.Biomed, menyebutkan bahwa media untuk menumbuhkan bakteri Bacillus dalam proses pembuatan natto menjadi salah satunya.

“Secara tradisional, bakteri diambil dari sisa produksi sebelumnya. Namun, pembuatannya bisa saja menggunakan media mikorbiologi. Titik kritis media mikrobiologi terletak pada sumber nitrogen, yang bisa berasal dari ekstrak daging, pepton hidrolisis daging, dan bahan lainnya,” jelas Raafqi.

Asal daging inilah yang perlu ditelusur berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariah Islam. Titik kritis kehalalan berikutnya bisa dilihat dari bumbu pelengkap yang bisa saja mengandung bahan nonhalal, seperti minuman keras atau kaldu daging yang tidak jelas kehalalannya. Di Jepang, penggunaan khamr seperti sake dan mirin lumrah digunakan sebagai campuran masakan.

Oleh karena itu, penting bagi konsumen muslim untuk selalu memastikan kehalalan produk. Untuk memudahkan konsumen muslim, LPPOM MUI menyediakan fitur cek produk halal pada website www.halalmui.org dan aplikasi Halal MUI yang dapat diunduh di Playstore. (YN)

Foto : jurnalsoreang.pikiran-rakyat.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.